Tan Malaka, Merdeka 100 Persen dan 76 Tahun Indonesia Merdeka

  • Bagikan

Oleh : Ben Ibratama Tanur (*

Esok adalah hari di mana aku akan menjelma menjadi musuh kalian, karena aku akan tetap berjuang untuk merdeka 100 persen

Tan Malaka

***

Merdeka 100 Persen.

Itu gagasan Tan Malaka untuk sebuah negara bernama Tepublik Indonesia.

Negara yang berbentuk Republik itu dicita-citakannya sejak tahun 1925 (dua puluh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan Soekarno) lewat bukunya ; Naar de Republiek Indonesia atau Menuju Republik Indonesia yang ditulis di Canton, Cina, April 1925.

Buku inilah yang menginspirasi kaum pergerakan Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan lain-lain untuk mendirikan sebuah negara bernama ; Republik Indonesia.

Lahirlah kemudian sumpah pemuda 28 Oktober 1928, lagu Indonesia raya dan berbagai organisasi pergerakan di Indonesia untuk menuju Indonesia merdeka.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 ada sua jalan yang ditempuh para pendiri Republik ketika Pasukan Sekutu mau masuk dan Belanda ikutan dibelakang Sekutu yang ingin meluk cuti balatentara Jepang di Indonesia — yang kalah perang.

Syahrir dan Hatta memilih jalan berunding dengan Belanda. Tan Malaka dan Jenderal Sudirman menolak cara itu. Berunding boleh tapi ada syaratnya.

Sebelum proklamasi Tan Malaka dan para pengikutnya menolak Proklamasi berbau Jepang. Alasannya Sekutu akan membatalkan proklamasi itu dan yang terlibat di dalamnya akan dicap penjahat perang karena pernah bekerja sama dengan Jepang.

Akhirnya timbul dua pemikiran oleh para pendiri Republik. Syahrir dan Hatta ingin berunding dengan Belanda.

Namun Tan Malaka dan Panglima Besar Jenderal Sudirman menolak cara itu. Karena berunding akan melemahkan semangat rakyat. Berunding akan merugikan posisi Indonesia baik secara politik dan ekonomi.

Akhirnya pemerintah Soekarno dengan Perdana Menteri Sutan Syahrir melakukan perundingan dengan Belanda. Linggajati, Renville dan KMB bukan hanya menggerus teritorial Indonesia namun juga merugikan Indonesia secara politik dan ekonomi.

Tan Malaka tidak anti perundingan. Namun syaratnya ; akui dulu kemerdekaan Indonesia. Tinggalkan pantai dan laut Indonesia. Serahkan dulu kebon dan pabrik kepada rakyat Indonesia.

Sampai Tan Malaka berkata : Kami bangsa Indonesia tidak akan berunding dengan maling di atas rumah kami sendiri.

Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman saat menolak hasil perundingan Linggarjati 1947 dan Renville 1948 yang menggerus teritorial Negara Republik Indonesia.

Maka Jenderal Soedirman secara militer terus bergerilya di perbukitan kartz sejak Gunungkidul hingga Pacitan.
Tan Malaka terus berjuang membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi sebelum akhirnya ditangkap oleh Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya di bawah Komandan Letda Soekotjo dan dieksekusi di desa Selopanggung, Kediri, 21 Februari 1949.

Perang gerilya yang digagas Tan Malaka dan Sudirman untuk menunjukkan kepada dunia internasional Indonesia masih ada saat Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim ditangkap ditahan Belanda dan disaingkan ke Berastagi.

Makanya waktu Kongres Persatuan Perjuangan
yang digagas Tan Malaka Januari 1946 di Purwokerto, Panglima Besar Jenderal Soedirman berpidato : “Lebih baik di bom atom jika merdeka kurang dari 100 persen.”

Menolak perundingan inilah yang kemudian menyebabkan Tan Malaka ditangkap, ditembak dibunuh waktu memimpin perang gerilya di sebuah Desa yang bernama Selopanggung Kediri.

Atas perundingan ini Tan Malaka berkata ; Tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun Belanda bisa menguasai lebih 80 persen teritorial Indonesia yang telah direbut dan dikuasai rakyat Indonesia dari tangan Jepang.

***

Memang, perjalanan bangsa Indonesia sejak kemerdekaan diproklamirkan 17 Agustus 1945 silam, masih belum dirasakan secara penuh hingga kini.

Kolonialisme gaya baru mengikuti tren global menjadikan negeri ini belum merasakan 100 persen merdeka, kondisi yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh Tan Malaka.

Tarik menarik kepentingan asing seakan menghilangkan modal besar negara yang membentang dari Sabang sampai Merauke berupa kekayaan alam melimpah dan ratusan juta rakyatnya.

Yang terjadi, jurang kesejahteraan melebar dan penguasaan ekonomi oleh hanya segelintir orang. Pemahaman itu bahkan membuatnya tak hanya dimusuhi kaum kolonialis namun juga bangsanya sendiri.

Bagi kalangan pergerakan mahasiswa, prinsip dan ideologi Tan Malaka jadi kajian mendalam. Sebab selain menawarkan mimpi idealisme, jalan pemikirannya dianggap masih relevan hingga kini untuk melepaskan bangsa Indonesia dari bentuk-bentuk penjajahan baru. Suara kritis yang terus dikeluarkan demi kemerdekaan total hingga akhir hayatnya.

Pemikiran Tan Malaka masih relevan hingga kini. Terutama tentang konsep ketahanan ekonomi di tengah arus globalisasi. Relevansi ini bahkan mendapat tempat karena negara biang globalisasi seperti Amerika Serikat, Cina, Inggris dan banyak lagi, kini justru kembali mengarah ke deglobalisasi dengan menguatnya paham populisme.

SIMAK JUGA :  HPN Belum Konkretkan Model Pembangunan Media Nasional

Kendati tidak sama persis, perubahan ini sudah diprediksi Tan Malaka ketika menyuarakan Indonesia Merdeka 100 Persen.

Bahkan ada benang merah dari puluhan tulisan Tan Malaka yang mendasari rajutan gagasan dan konsep mengenai suatu negara merdeka. Yakni kemandirian dalam mencapai kemerdekaan 100 persen serta keberpihakan terhadap rakyat jelata.

Gagasan dan konsep rakyat tersebut secara konsisten dipegang oleh Tan Malaka melampaui batas-batas zaman pra-proklamasi sampai dengan pasca-proklamasi.

Ketiadaan perubahan dan kesinambungan pemikiran dan perjuangan Tan Malaka melintasi perubahan zaman pada tahun 1945 dalam pemikiran perjuangan Tan Malaka

Tan bahkan menganggap proklamasi 17 Agustus 1945, masih ada masalah-masalah baru ataupun masalah yang belum tuntas yaitu menghadirkan kemerdekaan sampai ke akar-akar bangsa.

Prinsip yang membuat dirinya menerjang gelombang sebagai oposan di kala nama Soekarno sangat populis di benak bangsa Indonesia.

Sayang kedekatannya dengan sosialisme, menjadi senjata bagi pihak yang tidak setuju dengan prinsip dan pemikirannya.

Padahal Tan Malaka dengan tegas menyatakan masih sebagai muslim taat berbekal kemampuan menghafal Al Quran yang didapat di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, tempat lahirnya yang masih berbalut ajaran Islam kental.

Ketegasan itu juga ditunjukkan ketika dia memiliki keyakinan bahwa Islam adalah potensi besar untuk membawa kaum bumiputra menuju kemerdekaan.

Karena pemikirannya ini, dan juga ketidak sepahamannya untuk melakukan revolusi PKI tahun 1926, menyebabkannya Tan Malaka didepak dari dan cap sebagai Trostky (pengkhianat) komunisme melekat pada dirinya.

Penggalan pidato Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional keempat 12 November 1922 dapat menjelaskan bagaimana sikapnya terhadap Islam.

Pada pidato tersebut, ia menentang thesis Lenin yang diadopsi pada kongres kedua, yang menekankan perlunya sebuah “Perjuangan Melawan Pan Islamisme”.

Di lain kesempatan ketika terjadi konflik dalam tubuh serekat Islam, seorang bertanya pada Tan Malaka, apakah dia seorang komunis yang anti agama (atheis)?

Tan Malaka menjawab dengan bahasa Belanda :

”Als ik voor God sta, ben ik Moslim, maar als ik voor de mensen sta, ben ik geenn moelim, omdat heeft gezegd date er onder de mensen vele duivels zijn” (jika saya berdiri dihadapan Tuhan, saya adalah seorang muslim, tetapi jika saya berhadapan di depan manusia, saya bukan muslim sebab bukankah Tuhan pernah mengatakan bahwa diantara manusia itu banyak setannya).

Kemerdekaan menurut pandangan Tan Malaka, harus dirasakan dan didapat oleh kaum proletar (bagian terbesar rakyat Indonesia) dengan jalan revolusi total dalam arti sesungguhnya.

Konsep itu dirasa bisa berjalan kalau kaum menengah dan bawah yang masih mendominasi demografi Indonesia hingga kini, melek politik dan sejarah, Pendidikan akhirnya jadi salah satu sarana perjuangan Tan Malaka dengan istilah Murba.

Pendidikan kemurbaan haruslah didasarkan atas kemauan mengadakan kemakmuran bersama oleh kerjasama, bukan kemakmuran buat perseorangan (individu). Kemakmuran bersama ialah kemakmuran buat tiap-tiap anggota yang suka bekerja untuk masyarakat itu (sosialisme).

Kemakmuran yang setinggi-tingginya dapat diperoleh cuma dengan jalan mekanisasi (pemakaian mesin semodern-modernnya). Pemakaian mesin yang paling efisien cuma dapat diperoleh dengan kerja gotong-royong yang teratur rapi (kolektifisasi)

Arah pendidikan adalah membangun kemandirian rakyat hingga mendapatkan kehidupan lebih baik. Hasil pendidikan adalah masyarakat tanpa kelas.

Artinya masyarakat yang tidak dibedakan atas kelompok penindas dan tertindas. Dalam usaha tersebut akan tercapai masyarakat sosialis, egaliter dan merdeka.

Sebagai sosok yang terlibat dalam arus pergerakan nasional patut ditempatkan pada posisi yang terhormat dalam memori kolektif masyarakat Indonesia.

Keteguhan dan konsistensi Tan Malaka berpihak pada kaum proletar, rakyat jelata dan kromo di Indonesia dalam menghadapi kapitalisme-imperialisme Belanda patut kita adopsi dalam membangun pemikiran merdeka dan mandiri kita.

Akhir kata, sikap kritis dalam merefleksikan sejarah hidup, pemikiran dan konsep Tan Malaka diperlukan untuk mengaktualisasikan isu dan tema yang dikemukakan dan masih relevan hingga kini.

Banyak hal dijabarkan Tan Malaka dalam konsep ‘Merdeka 100 Persen’. Salah satu yang menarik adalah bahwa haruslah 100 persen tak bisa ditawar-tawar. Sebuah negara mandiri yang mandiri dan mengelola negerinya tanpa ada intervensi asing

Konsep ‘Merdeka 100 Persen’ soal kedaulatan 100 persen itu kita menentukan nasib kita sendiri, kita menentukan perjalanan kita sendiri, kita menentukan mau ke mana arah Indonesia itu sendiri ***

*) Penulis Wartawan Senior, Pendiri Tan Malaka Institute, CEO Kabarpolisi Media Group

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *