HPN Belum Konkretkan Model Pembangunan Media Nasional

  • Bagikan

Oleh : Awaluddin Awe)*

Salam Wartawan Indonesia

Saya kali ini tidak mengikuti proses sejak awal Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2021, salah satu sebabnya adalah karena faktor pandemi Covid -19 ini, yang benar membuat malas melakukan aktifitas, termasuk monitoring persiapan HPN 2021 ini.

Tetapi secara umum saya lihat pelaksanaan HPN sejak bertahun tahun terakhir, selalu saja penuh seremoni, kurang dalam bentuk kajian prospektif media nasional dan daerah pasca reformasi informasi yang membuka keran kebebasan menerbitkan media, terutama berbasis online, selebar lebarnya.

Padahal, menurut hemat saya, Dewan Pers sebagai sokoguru media nasional sudah saatnya muncul membawa blue print media nasional dan daerah baru sebagai jawaban atas krisis daya beli publik terhadap media cetak dan membeli murah paket iklan mediaonline.

Semua teman teman di media nasional dan daerah saat ini, pasti sepakat, bahwa perubahan iklim media saat ini, benar benar merontokan kewibawaan dunia media cetak nasional dan daerah.

Sejumlah media cetak yang sudah hadir sejak puluhan tahun, kini terkapar karena tidak mampu lagi membiayai produksi, bahkan sebagian besar diantaranya terpaksa gulung tikar alias menutup usahanya, seperti dialami terakhir oleh Harian Suara Pembaruan.

Media cetak yang masih eksis juga tidak bisa lagi mendulang oplah dan penjualan iklan manis seperti dulu. Saya melihat perjalanan bisnis media cetak sekarang ‘ibarat kerakap tumbuh dibatu, hidup ngilu mati tak mau’.

Menurut hemat saya, bisnis media cetak di Indonesia sedang menunggu waktu yang pas untuk berhenti terbit. Sebab semuanya sekarang sudah beralih ke media online.

Model Verifikasi Dewan Pers

Menarik untuk dicermati, upaya yang dilakukan oleh Dewan Pers menjaga lalulintas media online adalah dengan melakukan verifikasi dan membuat standard mati bahwa pimpinan redaksi media terverifikasi adalah setingkat Wartawan Utama.

Dalam uji kompetensi wartawan Indonesia saat ini dikenal dengan tiga strata wartawan yakni muda, madya dan utama. Yang berhak menjadi Pemimpin Redaksi adalah wartawan yang telah lulus sertifikasi wartawan utama.

Tetapi pola menempuh jalan verifikasi media online dengan basis Pimprednya adalah lulusan uji kompetensi wartawan utama yang dilakukan Dewan Pers bersama PWI seluruh Indonesia, tidak juga memberikan hasil memuaskan, malah ada kesan Dewan Pers dan PWI kecolongan, karena yang telah lulus uji kompetensi wartawan utama ternyata tak mengerti mengelola program berita media.

Kini, program uji kompetensi wartawan dilakukan Dewan Pers dan PWI adalah sesuai dengan tingkatan yang, bukan lagi menyiapkan dan memberikan peluang bagi calon pemimpin redaksi media online mendapatkan sertifikasi, tetapi harus lewat penjenjangan dari awal, dilihat dari status keanggotaan di PWI atau organisasi wartawan setingkatnya.

Model Bisnis Media

Sebagai pengelola media, saya melihat proses edukasi dan supporting Dewan Pers terhadap perkembangan media nasional perlu lebih dikembangkan ke dalam bentuk edukasi model bisnis media.

Dalam kerangka ini, program edukasi terhadap media bukan hanya menyiapkan editor tetapi juga model bisnis media yang bersangkutan, dalam pengertian diperlukan tata niaga media nasional dan daerah.

Saya mengambil ilustrasi seperti apa Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menyiapkan pengusaha dan bisnis prioritas dalam mempercepat pembangunan ekonomi nasional. Jika dilihat dari ilustrasi upaya Kadin ini, maka akan terlihat ada kebijakan dan political will pemerintah memberikan fasilitas bisnis kepada para pengusaha untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, sekaligus menyejahterakan pengusahanya juga.

SIMAK JUGA :  Nasib Kadin Sumbar, Menunggu Sentuhan Tangan Dingin Orang Kadin Indonesia

Saya sebagai salah satu Wakil Ketua Umum Kadinda Sumbar yang membawahi Informasi dan Komunikasi, juga berpikir, mengapa seting pembangunan media nasional dan daerah, tidak bisa dikelola seperti bagaimana mengembangkan sektor usaha ril.

Memang bisnis media memiliki kekhususan, jika dilihat dari aspek demokrasi yakni harus independen, tidak boleh berpihak, tetapi jangan lupa bahwa sebuah media itu, juga sebuah perusahaan yang membutuhkan enzim untuk menghidupi karyawannya.

Mencermati kondisi media pasca reformasi, saya pribadi mengatakan, tidak ada jalan keluar yang konstruktif diberikan oleh Dewan Pers. Seharusnya dalam situasi seperti ini Dewan Pers menyiapkan skenario perkuatan bisnis media nasional dengan daya dukung APBN dan APBD propinsi, kabupaten dan kota.

Mau tidak mau, suka atau tidak suka, pemerintah harus menyiapkan biaya belanja media yang lumayan gede untuk menghidupkan mesin bisnis media nasional. Bagaimana skemanya saya pikir kawan kawan di Dewan Pers dan SPS atau organisasi media online, sudah tau bagaimana cara membuat pola dukungan belanja media yang terstruktur.

EFEKTIFITAS VERIFIKASI

Inti dari pemikiran saya ini adalah, pada akhirnya proses verifikasi media yang dilakukan Dewan Pers benar benar bermanfaat bagi media yang bersangkutan karena harus melakukan restrukturisasi pola bisnis medianya dan harus membuat organisasi perusahaan yang kuat, jika tidak mau tergeser oleh media pesaing.

Pemikiran ini sekaligus menyaring mana media yang serius mengembangkan dirinya, mana yang hanya sekedar tampil, lalu tidak memberikan apa apa kepada pembacanya dan pelanggannya.

Tetapi kebijakan yang akan dilakukan Dewan Pers bukan juga akan menggergaji media bernyali kecil, tetapi sebaliknya menyiapkan model dan struktur media nasional yang kuat lagi, bukan seperti sekarang, harga pariwara hanya dinilai Rp1 juta dan itu pun dapatnya satu kali dalam satu bulan.

Jumlah media yang terlalu banyak saat ini sangat tidak menguntungkan untuk kewibawaan media itu sendiri. Dilihat dari sisi organisasi media, model media online saat ini seperti tukang serabutan. Semua dikerjakan sendiri mulai dari merencanakan berita sampai berita jadi. Artinya dia wartawan, marketing, pimpred dan pimpinan perusahaan bahkan juga pemimpin umum dan pemegang saham.

Kelucuan bermedia seperti ini harus diakhiri jika tidak ingin nasib wartawan dan kewibawaan wartawan menjadi hilang dan terpinggirkan.

Penerintah bersama Dewan Pers harus dengan cerdas melihat masa depan Pers Indonesia, bukan sebagai kekuatan demokrasi saja tetapi juga sebagai salah satu fungsi kontrol yang harus tetap dihidupkan.

Bagaimana negara ini membangun demokrasi melalui perkuatan partai dan parlemen, sejogianya seperti itu juga pemerintah melihat masa depan Pers nasional dan daerah.

Bahwa negara menyiapkan biaya belanja bagi parpol dan anggota parlemen, seharusnya seperti itu juga negara membangun harmonisasinya dengan media nasionalnya.

Sebab negara ini bukan milik satu kekuatan tetapi semua kekuatan, termasuk media. Untuk itu, media nasional perlu diselamatkan. Sebab membangun sebuah media bukan cuma sekedar menghabisi usia sebagai orang Pers tetapi harus juga menguntungkan dan membuat sejahtera pengelola dan karyawannya.

Dirgahayu Pers Indonesia
Selamat Hari Pers Nasional

)*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Harianindonesia.id dan Wapimpred Kabarpolisi.com

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *