OBITUARI : Sjafrial Arifin dan Mata Elang

  • Bagikan

Oleh: Eko Yanche Edrie(*

Dalam dua hari ini berita duka kehilangan wartawan senior bertirit-tirit saja. Saya menulis obituari untuk almarhum Uda Zaili Asril dua hari lalu. Semalam saya harus tulis satu obituari lagi, kali ini untuk senior saya Uda Sjafrial Arifin atau kami di Singgalang memanggilnya Da Cap.

Kemarin petang sekitar setengah lima, Da Cap telah berpulang. Saya hanya mendapat kabar dari status di laman facebook Muhammad ‘Bram’ Ibrahim Ilyas sekitar pukul enam petang.

Tapi selepas Magrib, Syafruddin Al, Kepala Biro Metrans di Jakarta saya lihat di email mengirim berita berpulangnya Sjafrial Arifin.

Sulit bagi saya untuk menyusun obituari buat Da Cap, karena bagi saya Da Cap banyak memengaruhi saya dalam menulis dan membaca. Kalau saya tulis artikel atau feature, saya acap mencari celah untuk menyorongkan joke agak satu dua.

Terus terang saya amat dipengaruhi oleh tiga orang penulis hebat, pertama Bang Makmur Hendrik, kedua Emha Ainun Nadjib dan ketika adalah Sjafrial Arifin. Tak bisa saya menghindari keterpengaruhan dari ketiganya dalam penulisan saya.

Ketika masih jadi wartawan di Padang Panjang, saya suka membaca tulisan-tulisan Da Cap di halaman Singgalang edisi Minggu terutama pada halaman rantau.

Dari Hasril Chaniago yang ketika itu masih Redaktur Edisi Minggu saya dapat cerita bahwa Da Cap itu kalau menulis film dan musik itu adalah karena bidangnya. Ya, saya tahu kemudian kalau di Jakarta selain menjadi Wartawan Majalah Zaman di bawah lingkungan Tempo, Da Cap juga pemain film dan kritikus film.

Da Cap pernah bermain untuk beberapa film, antara lain yang pernah saya tonton adalah November 1828, kisah di seputar Perang Diponegoro. Film itu kemudian meraih Piala Citra pada FFI tahun 1979.

Lalu ketika sinetron Sitti Noerbaja dan Sengsara Membawa Nikmat, Uda Cap terlibat banyak dalam pembuatannya sekaligus bermain dalam sinetron yang diputar di TVRI itu.

Ketika Da Cap sudah bergabung dengan Singgalang di kantor Padang, satu hari saya dipanggil rapat ke Padang. Saya, Gusfen Khairul, Syafruddin Al, Tun Akhyar, Ben Tanur, Hardimen Koto dan Wardas Tanjung (?) dikumpulkan Da Cap di ruang rapat Rattan Room di lantai III gedung Singgalang.

Kata Da Cap, ia akan membentuk news hunter. Binatang apa pula itu? Entah maksudnya berkeren-keren atau memang serius hendak membentuk tim yang siap 24 jam mengejar berita apa saja yang sudah direncanakan, akhirnya tim itu dibentuk.

Empat bulan memang tim itu berjalan. Tiap pekan selalu ada laporan utama yang dibuat dan diliput oleh tim secara tematik. Bagi saya itu menyenang, tapi lama-lama tanpa peluru yang cukup ternyata melelahkan juga. Akhirnya tema laporan tidak lagi direncanakan matang.

Malah kemudian angin-anginan, kadang bagus, kadang asal ada saja.

“Kalian harus pikirkan sendiri, jangan Redpel terus,” kata Da Cap ketika rapat evaluasi. Wal hasil kemudian tim itu bubar tapi liputan bersama tetap menjadi ‘adat istiadat’ bagi Harian Singgalang, tiap pekan mesti tersaji. Kami akhirnya sepakat menunjuk project officer setiap tema liputan.

Sedang Da Cap menuliskan main story nya di bagian kaki halaman depan.
Satuhal yang saya ingat, ia amat sayang dengan saya dan Ben Tanur. Sehingga kalau saya dan Ben yang minta duit kepadanya, tak ada kata menggeleng dari Da Cap, paling-paling dia bercarut kepada kami.

“Mande ang…” katanya seraya melemparkan selembar uang Rp1.000 agak dua lembar. Atau tempo-tempo ia menginterogasi kami yang muda-muda ini untuk peristilahan anak muda yang hanya kami tahu.

Misalnya, ketika ada liputan tren naik gunung di akhir tahun di Sumatera Barat ketika itu, ia sengaja panggil saya ke Padang dari Padang Panjang hanya untuk menanyakan apa saja istilah anak-anak muda yang mendaki gunung itu.

SIMAK JUGA :  Mengapa Bendera Hitam Bertuliskan Kalimat Tauhid di Saudi Dianggap Musuh Pemerintah?

Kemudian dia gunakan untuk memperkaya main story liputan tren mendaki gunung itu.
Da Cap, matanya seperti elang. Jarang saya lihat matanya terpicing lama. Artinya malam-malam ia bertanggang, mendatangi berbagai narasumber, ke Taman Budaya untuk berdiskusi atau ikut kegiatan berkesenian. Atau menulis buku.

Atau membaca novel tebal-tebal. Ia tidur di kantor saja. Pukul 3 pagi baru ia balik ke kantor, bikin kopi, merokok lalu tidur. Pukul 7 ia sudah berteriak memanggil siapa saja yang duluan ke lantai III Singgalang untuk minta tolong pesankan lontong dan kopi plus rokok.

Kemudian tak tik tak tik…..mesin ketiknya pun bergeruntang puntang menyiapkan bahan-bahan untuk Singgalang edisi besoknya.
Ia tahu saya juga seorang penyiar radio di Padang Panjang. Menjelang tutup tahun 1987 Da Cap dapat proyek dari Hotel Muara Padang untuk menggelar malam tahun baru dengan berbagai kesenian.

“Ang bisa mancari musik-musik klasik untuak background opperet?” katanya saat saya bertemu di Padang.

“Lai Da, baa tu?”

Da Cap kemudian menyebutkan ada proyek untuk saya. Saya diminta menjadi music director. Ha ha ha, saya ketawa saja mendengar jabatan itu. Music director tapi disuruh menyiapkan kaset-kaset.

Saya diminta menyiapkan banyak instrumentalia lagu klasik. Kami akan membuat pertunjukan bertajuk La Cumparsita Night. Saya tak banyak tanya apa arti La Cumparsita itu.

Saya siap, bahkan kemudian saya diminta pula membawa grup breakdance yang saya bina di Padang Panjang, namanya Bahana Electric Crew dengan enam anak muda penari patah-patah yang sedang in saat itu.

“Iko ndak pakai latihan, indak pakai general repetisi bagai, ang tampil se sasuko hati ang, musik tu ang puta salamak paruik ang untuak mairingan operete,” kata Da Cap. Ondeh, batele mah, kata saya dalam hati. Tapi karena ingin dapat honornya, saya dengan teman saya Yul Sikumbang menyiapkan diri.

Tahu tidak? La Cumparsita Night itu benar-benar operet yang yang salamak paruik seperti yang disebut Da Cap pada saya. Entah bagaimana ia bisa meyakinkan grup hotel Muara sehingga proyek itu jalan. “Hanok se lah waang” katanya ketika saya tanya.

Ia amat percaya diri. Nyatanya acara itu memang asyik juga ditonton walau tanpa script. Artis Ellya Khadam yang juga dihadirkan, saya lihat sampai mencium pipi Da Cap.

Begitulah Da Cap, tiap kali saya berkunjung ke kantor pusat di Padang –setelah saya kemudian dia pindahkan ke Solok—saya tidak akan bisa tidur sepanjang malam karena dibawa ke mana-mana oleh Da Cap.

Pernah dia tega membiarkan saya tidur dikursi sementara dia menghota berdua sampai pukul 7 pagi dengan Papi Rustam Anwar di hotel Jl Diponegoro.

Tahun 1991 saya pindah ke Padang. Sekali dua saja saya bertemu Da Cap, karena rupanya dia sudah resign dari Singgalang. “Baa kok mundur Da?” tanya saya.

“Jan ang tanyo juo, den ka pai marantau baliak,” katanya. Dan tak lama memang terkabar Da Cap kembali ke Jakarta dengan proyek-proyek sinetronnya. Saya kehilangan mata elang, peraih anugerah Adinegoro itu.
Sejak kemarin, mata elang itu tidak ada lagi. Saya menyesali Uda Alwi Karmena yang ke Jakarta tiga pekan lalu tapi tak jadi menjenguk Da Cap di Depok.

Tapi sudahlah, janjian memang sudah sampai. Da Cap kini pulang, pulang ke tempat kami semua para yunior Da Cap akan menyusul jua. Selamat pulang senior bermata elang.***

*) Penulis Wartawan senior di Sumbar

(Harian Metro Andalas edisi 15 Januari 2016)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *