Dua Tahun Lebaran tanpa Keluarga, Jalani Hidup Berdampingan dengan Covid-19

  • Bagikan

Oleh : *Awaluddin Awe

Semakin nyata bahwa keberlangsungan virus Corona tidak bisa lagi ditahan. Padahal pemerintah sudah melakukan vaksinasi. Statemen yang keluar, vaksin bukan menghentikan Covid-19 tetapi hanya untuk memberi kekebalan dan imunitas tubuh supaya tidak gampang kena Covid-19.

Apapun alasannya, pengaruh Covid-19 sangat terasa dalam kehidupan sehari kita warga Indonesia dan masyarakat global.

Pengaruh itu juga sudah merambat kekehidupan beragama. Dalil sholat berjemah dan shaf tidak boleh berjarak, kini terbantahkan oleh Covid-19, meskipun alasannya karena wabah Covid saja.

Kini, kita sudah memasuki Hari Raya kedua yang tidak bisa menyelenggarakan lebaran bersama keluarga.

Pemerintah sudah secara resmi melarang perantau mudik karena kuatir terjadinya penyebaran virus Covid 19.

Apa yang terjadi kampung sendiri?

Mudik dilarang, tetapi apa yang terjadi di kampung sendiri? Ternyata proses kerumunan menjelang lebaran tetap saja terjadi.

Itu bisa dilihat di tempat pusat perbelajaan di pasar, mal dan supermarket besar dan kecil.

Bahkan di pasar kaget ramadhan setiap sore warga menumpuk guna membeli panganan berbuka puasa.

Pemandangan itu amat berbeda jika dibandingkan satu tahun lalu, dimana masyarakat takut keluar rumah. Sebab takut tertular Covid.

Lalu apa yang menyebabkan kerumunan di kampung begitu bebas?

Pertama, mereka sudah kadung jenuh, bosan dan gerah dengan semboyan jaga jarak, terutama yang berkaitan dengan nilai nilai beragama, seperti sholat berjemaah dan shaft terputus.

Sebabnya apa. Tidak ada juga klaster mesjid yang terbentuk karena sholat berjemaah. Jika pun ada, kasusnya juga tidak mematikan. Hanya positif Covid dan diisolasi di rumah.

Kedua, masyarakat tertekan oleh sikap berlebihan menghadapi Covid dan mereka tidak bisa berusaha, berdagang dan bekerja.

SIMAK JUGA :  Persaingan Prabowo, Ganjar, dan Anies Jadi Bahan Kuliah di Kelas

Pendapatan masyarakat anjlok jauh setelah masa pandemi Covid ini.

Ketiga, fakta ini menunjukan bahwa Covid bisa dihadapi dengan cara berkawan, yakni jalani hidup normal kembali tetapi dengan menerapkan prokes rutin.

Keluar cuci tangan dulu, pakai masker dan selalu jaga jarak.

Herd Imunity

Konsep hidup berdampingan dengan Covid 19 ini, termasuk bagian dari skema solusi menghadapi Covid 19.

Jika Vaksin Covid 19 tidak ditemukan, maka jalan tengah yang harus ditempuh adalah, masyarakat beradaptasi langsung dengan Covid, tetapi imunitas tubuhnya diperkuat.

Dengan cara ini, masyarakat bisa merasakan bahwa Covid sebagai penyakit virus bisa dihadapi dengan cara menerapkan prokes.

Jika pun kemudian ada yang terkena gejala positif tetapi populasinya tidak banyak lagi, sebab dengan cara menerapkan prokes, kekebalan tubuh kita akan meningkat.

Tetapi proses membentuk kekebalan tubuh melalui prokes ini tidak gampang juga. Sebab sebagian masyarakat tidak patuh terhadap prokes.

Untuk itu, cara paling efektif adalah masyarakat terus diedukasi melalui media dan pengawasan tim yustisia di daerah, tentang pemberlakuan prokes Covid setiap hari.

Saya yakin masyarakat akan terbiasa dan bisa hidup berdampingan dengan Covid 19.

Namun satu hal perlu dipertimbangkan pemerintah. Subsidi untuk masker harus dilakukan. Sebab ada kecenderungan malas memakai masker, karena memang tidak ada uang untuk membeli masker.

Penyebabnya harga masker sangat mahal di pasaran!

)*Penulis wartawan dan Pemimpin Redaksi Harianindonesia.id, tinggal di Padang Panjang

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *