Aidit Cuma Anak Bawang, Ini PKI Sebenarnya, Dipercaya Moskow

  • Bagikan

Tokoh paling lekat dengan Partai Komunias Indonesia (PKI) selalu dikaitkan dengan Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit.

Tapi sosok sesungguhnya di balik PKI bukanlan DN Aidit.

DN Aidit hanyalah anak bawang, generasi baru PKI.

Pentolan sesungguhnya PKI dan pernah bertemu dengan pimpinan tertinggi PKI di Moskow bukanlah DN Aidit.

Mereka adalah Muso Manowar atau Munawar Muso alias Musso dan Alimin bin Prawirodirdjo.

25 Desember 1925, para pemimpin PKI mengadakan pertemuan kilat di daerah Prambanan, Klaten, Jawa Tengah.

Dalam pertemuan itu mereka membahas aksi berupa pemogokan hingga angkat senjata yang bakal dilakukan oleh kaum tani serta buruh.

Tujuannya ialah melancarkan aksi pemberontakan di seluruh nusantara kepada pendudukan Belanda.

Rencana itu lantas harus disampaikan kepada wakil Komunis Internasional (Komintern) yang berada di Singapura.

PKI lantas mengirim Alimin dan Musso ke Singapura.

Komintern di Singapura menindaklanjuti rencana pemberontakan tersebut dengan memberangkatkan keduanya ke Moskow, Uni Soviet.

Rupanya Musso dan Alimin langsung dihadapkan kepada pemimpin besar Komunis, yakni Stalin ketika di Moskow.

Mereka berdua menerima mandat dari Stalin agar rencana pemberontakan dibatalkan dulu saja serta mengubah cara kerja PKI menjadi bawah tanah dengan menyebarkan propaganda kepada Belanda.

Tapi Musso nekat, sekembalinya ke tanah air ia melancarkan pemberontakan kepada Belanda di Batavia dan Sumatera Barat.

Karena persiapan kurang matang, pemberontakan tersebut langsung ditumpas dan Belanda melarang adanya PKI lagi di Nusantara.

Musso dan Alimin ditangkap Belanda dan dipenjara.

Setelah keluar penjara Musso pergi ke Moskow tahun 1935 walaupun sempat kembali ke tanah air tapi diusir dan balik lagi ke Uni Soviet tahun 1936.

Hingga tanggal 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia lewat Yogyakarta.

Dasar bebal memang, Musso kembali ke tanah air untuk melakukan pemberontakan lagi dengan para militan PKI di Madiun pada 18 September 1948.

Sontak saja aksinya yang menginginkan terbentuknya Republik Soviet Indonesia dari pemberontakan PKI Madiun langsung mendapat respon keras dari militer.

Divisi Siliwangi TNI tanpa menunggu waktu lama segera memberangus pemberontakan tersebut.

Nasib Musso pun tak jauh-jauh dari apes setelah pemberontakan keduanya gagal.

Ia dikepung oleh satu peleton tentara Siliwangi di Pacitan hingga ajal menjemputnya setelah dihadiahi timah panas oleh TNI saat Musso bersembunyi di kamar mandi pemandian umum.

Usai tewas ditembak mayat Musso dibawa ke RS Ponorogo untuk diawetkan hingga akhirnya dibakar secara diam-diam.

Sosok DN Aidit

DN Aidit adalah ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merupakan tokoh penting dan dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September (G30S).

Tentang sosoknya, DN Aidit disebut sebagai orang yang gemar mengaji dan bahkan tamat atau khatam Al Quran berkali-kali.

Berikut lengkapnya dilansir dari Tribun Wiki dalam artikel ‘TERUNGKAP DN Aidit Tokoh G30S Ternyata Suka Baca Al Quran & Sering Khatam: Kesaksian Prof Salim Said’.

Fakta terkait sosok DN Aidit tersebut disampaikan oleh Prof Salim Said dalam bukunya yang berjudul Gestapu 65: PKI.

Terdapat satu bab yang dituliskan oleh Prof Salim Said membahas tentang keseharian DN Aidit yang gemar membaca Al Quran.

Prof Salim Said sendiri merupakan sosok jurnalis senior yang sudah bekerja sejak tahun 1960-an.

Namanya dikenal luas di kalangan jurnalis, militer, pengamat militer, hingga akademisi.

Tak hanya itu, Prof Salim Said juga merupakan saksi mata sejumlah peristiwa dalam sejarah Indonesia setelah peristiwa G30S.

Di dalam buku Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto, Prof Salim Said menuangkan pengalamannya saat mend

ampingi Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dalam operasi pemberantasan sisa-sisa G30S.

Ketika itu, Salim Said sudah melek politik karena seorang aktivis mahasiswa Universitas Indonesia (UI) di samping menyambi sebagai wartawan.

Menilik latar belakang penulisnya, buku ini bersifat semiautobiografi yang dituturkan dengan gaya tutur reportase naratif.

Dalam pengantarnya, Salim mengatakan bahwa buku itu diterbitkan bertepatan dengan peringatan 50 tahun Gestapu (Gerakan 30 September 1965) dan percobaan kaum komunis menguasai Indonesia.

Melalui buku itu, Salim juga ingin mengenang korban-korban yang tewas, terpenjara, atau terbuang akibat aksi kaum komunis.

Singkat kata, buku terebut dipersembahkan Salim kepada publik untuk memperingati kegagalan PKI.

“Mestinya kan mereka baca dulu. Atas dasar baca itu baru mereka bertindak. Bahwa ini ada kekeliruan karena mereka tidak baca,” kata Salim Said dikutip dari Historia.

Hingga kini, Salim Said menjadi guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan yang menjadi tempat bagi para perwira TNI menimba ilmu akademiknya.

SIMAK JUGA :  Kisah Tan Malaka dan Jenderal Sudirman Rapat di Purwokerto Merancang Merdeka 100 Persen

Dia juga tercatat sebagai penasihat politik Kapolri, pengajar di Sekolah Staf dan Komando TNI AD, AL, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Dalam arus publisitas, nama Salim Said kondang sebagai pengamat politik dan militer.

Berikuti kutipan lengkap Bab Pembaca Al-Quran yang Fasih dalam buku Salim Said, Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto:

Pembaca Al-Quran yang Fasih

Saya meninggalkan rumah dinas pemimpin tertinggi Komunis Indonesia dengan mengantongi satu rol kecil pita rekaman.

Saya menduga rekaman itu dokumen politik penting.

Ketika pita rekaman itu kami putar ternyata isinya pengajian Islam yang dimulai dengan pembacaan ayat-ayat suci Al- Quran.

Di kemudian hari, saya baru mendapatkan informasi, pada masa kecil di kampungnya, DN Aidit bukan saja belajar mengaji Al Quran, bahkan beberapa kali menamatkan Al Quran.

Pada masa kecilnya, DN Aidit konon juga dikenal di lingkungan dekatnya sebagai pembaca Al Quran yang fasih.

Sekitar sebulan setelah meletusnya Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), sebagai reporter muda, pada awal November saya mendapat penugasan di Jawa Tengah.

Pada penugasan pertama di luar kota tersebut, saya harus meliput operasi RPKAD membersihkan Gestapu dalam tubuh Kodam Diponegoro.

Beratnya tugas Sarwo Edhie sebagai Komando Operasi akan mudah disadari kalau kita tahu bahwa dari tujuh Batalion Diponegoro yang waktu itu berada di Jawa Tengah, lima sudah dikuasai para perwira beraliran kiri.

Juga dari tiga Komando Resort Militer (Korem) telah pula mereka pengaruhi.

Komandan Korem Yogyakarta, Kolonel Katamso, dan wakilnya, Letnan Kolonel Sugiono, malah diculik, dan dengan sadis dibantai sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam lubang yang dangkal.

Aneh memang, pasukan-pasukan yang tidak berkecenderungan kiri waktu itu justru sedang ditugaskan di Kalimantan Utara dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia.

Dibekali dengan surat pribadi Jenderal Soegandhi kepada Kolonel Sarwo, saya berangkat ke Solo dengan kereta api.

Kolonel Sarwo Edhie sudah berada di Solo waktu itu setelah menyelesaikan tugas di Semarang.

Apa isi surat, saya tidak pernah tahu.

Tapi, sejak itu, saya selalu diminta berada dekat dengan Komandan, dalam perjalanan darat maupun penerbangan dengan helikopter, ke berbagai kota di wilayah Jawa Tengah.

Kesempatan ini memberi peluang kepada saya menjadi akrab dengan Kolonel Sarwo dan sekaligus mengikuti jalannya operasi dari pusat komando.

Persahabatan saya dengan Pak Sarwo Edhie itu berlangsung terus hingga beliau jatuh sakit sebelum akhirnya meninggal pada 1989.

DN Aidit.

Kedekatan saya dengan Komandan RPKAD itu tampaknya menimbulkan perasaan tidak senang seorang asistennya.

Mayor Gunawan Wibisono, Asisten Operasi Komandan RPKAD dan teman sependidikan LB Moerdani di Bandung, pernah memperingatkan saya agar menjaga jarak dengan komandannya.

“Eh, wartawan, itu Kolonel, kamu harus tahu,” katanya dengan kasar setengah membentak ketika kita berada di Purworejo.

Tapi, kalau saya menjauh, Kolonel Sarwo selalu mencari saya.

Akibatnya, Mayor Gunawan selalu memandang saya dengan muka kecut.

Pengalaman dengan Mayor itu kemudian mengajarkan kepada saya, pada umumnya tentara itu memang mengharapkan kita, orang sipil, menghormati Komandannya, sebagaimana dia sendiri menghormati atasannya.

Mayor Gunawan tidak sanggup menyadari, saya bukan anak buah Komandannya, seperti dirinya.

Tapi karena untuk waktu lama militer menguasai lama Indonesia, pengalaman kurang menyenangkan dengan Mayor Gunawan selalu menjadi pegangan diri sendiri dalam berhubungan dengan para pemimpin tentara, terutama di hadapan para anak buahnya.

Bersama pasukan RPKAD, kepada pimpinan Operasi diperbantukan satu kompi Polisi Militer Angkatan Darat yang berkualifikasi para (Yon Pomad Para).

Tugas polisi militer ini memproses anggota tentara yang ditahan karena dicurigai terlibat Gestapu.

Di berbagai kota yang kami kunjungi dalam rangka operasi itu, saya menyaksikan anggota-anggota Yon Pomad Para ini selalu sibuk memeriksa tentara-tentara yang ditahan.

Ternyata Biro Khusus PKI cukup sukses dalam membina tentara.

Seingat saya kebanyakan yang ditahan adalah perwira yang mengurusi intelijen, teritorial, dan personalia.

Tiga pos sensitif dalam organisasi militer.

Tentang tentara binaan Biro Khusus PKI, Dr Harold Crouch dalam bukunya Militer dan Politik Indonesia (1986), mengungkapkan, Biro Khusus PKI berhasil membina sejumlah perwira di beberapa wilayah Indonesia.

Temuan Crouch yang sudah dibina, 250 perwira di Jawa Tengah, 200 di Jawa Timur, hampir 100 di Jawa Barat, sekitar 50 di Jakarta, hampir 40 di Sumatera Utara, 30 di Sumatera Barat, dan 30 di Bali.

Menurut Grouch, perwira binaan PKI tersebut dipersiapkan memegang peranan setelah Gestapu berhasil di Jakarta.

Tribun Cirebon

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *