Demi Melawan Belanda, Jenderal Soedirman Serukan Persatuan PKI dan Masjumi

  • Bagikan

Harianindonesia.id ,- Pasca Insiden Madiun 1948, gontok-gontokan terjadi antara kelompok islamis dan kelompok komunis. Panglima Besar Soedirman serukan kedua golongan bersatu dalam satu komando.

Hawa permusuhan masih terasa usai PKI (Partai Komunis Indonesia) melakukan aksinya di Madiun pada 18 September 1948. Hingga bulan Mei 1949, gontok-gontokan antara kaum komunis dan kelompok islamis yang dipelopori Masjumi (Majelis Sjura Muslimin Indonesia) terus berlangsung, terutama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Menurut sejarawan Harry A. Poeze, banyak para pengikut FDR/PKI yang lolos dari operasi penumpasan tentara pemerintah meneruskan perjuangan mereka dengan bergerilya di hutan-hutan. Selain menghadapi militer Belanda, kekuatan-kekuatan bersenjata itu juga tetap mempertahankan pertikaian mereka dengan militer Indonesia dan unsur-unsur anti komunis lainnya.

“Yang sudah (pasti) terjadi justru saling bentrok. Pasukan-pasukan FDR dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) berhadapan dengan kesatuan-kesatuan Hizbullah (Masjumi),” ungkap Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak.

 

Surat Rahasia dari Soedirman

Di Jawa Timur, Ponorogo menjadi salah satu arena pertikaian kedua kelompok tersebut . Di kedua tempat itu, kendati FDR PKI sukses ditumpas, namun aksi saling serang tetap berlangsung.

Sebagai catatan, pada awal terjadi Insiden Madiun 1948, Ponorogo dan Sumoroto memang menjadi basis perlawanan paling kuat dari FDR/PKI. Disebutkan oleh Poeze, ketika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh TNI terhadap kedudukan kaum komunis pada 4 Oktober 1948, sekira 2000 penduduk sipil Ponorogo dijadikan tameng hidup dan sekira 500 diantaranya telah tewas.

Wajar saja jika ‘latarbelakang berdarah-darah’ itu menyebabkan pertikaian terus memanjang di kedua tempat tersebut. Mereka yang berkonflik seolah tak peduli Belanda telah menyerang kedudukan RI di Yogyakarta dan menguasai wilayah-wilayah RI pada 19 Desember 1948.

Soal itu ternyata menjadi masalah bagi rencana Letnan Jenderal Soedirman untuk menghadapi Belanda secara fokus. Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia tersebut merasa ‘galau’ saat dilapori jika masih ada kelompok-kelompok bangsa sendiri yang masih adu nyawa.

SIMAK JUGA :  Omset Pasar Menurun, Komisi B Dorong Pemko Cairkan Bantuan Agar Daya Beli Meningkat

Sebagai petinggi militer Indonesia yang sejak awal “kurang setuju” dengan tindakan keras terhadap Insiden Madiun 1948, dia masih mengharapkan agar kedua pihak yang bertikai di Ponorogo segera berdamai dan selekasnya fokus menghadapi aksi militer Belanda.

Karena alasan itu pula maka pada 9 Mei 1949, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan surat bernota rahasia kepada komandan Batalyon TNI di Ponorogo (Mayor Soeprapto Soekawati), Pemimpin PKI/FDR di Ponorogo/Sumoroto dan Pimpinan Masjumi di Ponorogo.Sumoroto. Isinya: imbauan agar seluruh golongan bersatu dan menghentikan pertempuran.

“Kejadian-kejadian masa lampau harus sama sekali dilupakan supaya kekuatan kita benar-benar dapat bulat dan utuh satu, sehingga rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya merupakan satu benteng yang kokoh dan sanggup menghadapi siapapun juga…” ungkap Soedirman seperti termaktub dalam buku Djenderal Soedirman: Pahlawan Sedjati yang ditulis dan diterbitkan oleh Kementerian Penerangan RI pada 1950.

 

 

Soedirman: Kita Ingin Menang

 

Soedirman juga menegaskan, jika perang total menghadapi Belanda mutlak harus dilakukan di bawah satu komando yang membawahi semua golongan, baik kanan maupun kiri. Dia meyakini jika Belanda bisa menguasai kembali Indonesia maka yang terjadi adalah kesengsaraan yang akan meliputi semua golongan dengan tidak memandandang ideologinya.

“Kalau kita ingin menang dalam perjuangan suci ini, kita harus kuat; untuk dapat kuat, segala perselisihan harus diberantas dan semua golongan dari macam-macam ideologi harus bersatu dalam sikap dan tindakannya,” demikian lanjut Soedirman.

Dalam kata-kata terakhirnya di surat tersebut, Soedirman mengharapkan agar semua pihak yang tengah bertikai di Ponorogo dan Sumoroto mendengarkan seruannya. Namun yang terpenting, kata Soedirman, mereka yang tengah bertikai memiliki niat secara ikhlas untuk mengakhiri semua konflik dan fokus menghadapi Belanda saja.

 

 

Source : Merdeka

 

Editor : Abil Muhari

 

 

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *