OPINI  

Jeda Tarif Trump dan Jalan Tengah Indonesia

Oleh Syafruddin Karimi

Gelombang proteksionisme global, yang kembali bergema lewat kebijakan tarif tinggi Presiden Donald Trump, menimbulkan kegelisahan tidak hanya di Tiongkok, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Di tengah ketidakpastian ini, pemerintah Indonesia merespons dengan pendekatan diplomatik yang hati-hati: menawarkan konsesi terbatas, mendorong reformasi struktural, dan memanfaatkan jeda 90 hari sebagai ruang negosiasi.

Penting untuk diingat bahwa jeda ini sejatinya adalah sinyal politik, bukan tanda lunaknya ancaman. Trump tidak menghentikan ancaman tarifnya, ia hanya menundanya.

Dalam logika game theory, ini adalah “incredible threat” yang justru menunjukkan kekhawatiran AS bahwa tekanan tarif serempak terhadap banyak negara akan berbalik menyerang legitimasi dan daya tawarnya sendiri.

Indonesia dan negara-negara ASEAN harus membaca momen ini sebagai peluang untuk memperkuat posisi tawar secara kolektif, bukan malah melemahkan posisi dengan konsesi sepihak yang tidak menguntungkan.

Indonesia mesti membedakan antara diplomasi dan kompromi berlebihan.

Konsesi seperti penghapusan kuota impor dan relaksasi TKDN bisa merusak industri domestik jika tidak disertai kerangka evaluasi kinerja dan batas waktu yang jelas.

Mengandalkan APBN untuk subsidi dan bansos tanpa exit strategy juga berisiko membebani fiskal jangka panjang.

Sebaliknya, Indonesia perlu menyeimbangkan strategi taktis jangka pendek dengan agenda strategis jangka panjang: penguatan basis produksi, reformasi perpajakan, dan diversifikasi pasar ekspor.

Dalam kondisi geopolitik yang semakin kompetitif, kekompakan regional seperti yang ditunjukkan ASEAN melalui pernyataan bersama menolak retaliasi dan mengedepankan dialog adalah modal penting.

Bagaimanapun, ASEAN tidak boleh hanya menjadi forum basa-basi diplomatik.

Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di kawasan, harus tampil sebagai lokomotif reformasi dan solidaritas regional—baik dalam memperkuat negosiasi dagang maupun membangun daya saing industri kawasan.

SIMAK JUGA :  Sikapi Tarif Trump, Indonesia Kumpulkan Pengusaha, China Melawan dan Donald Didemo Warga AS

Intinya, menghadapi tekanan tarif dan perubahan tatanan global tidak cukup hanya dengan taktik jangka pendek.

Indonesia butuh keberanian untuk merumuskan ulang strategi pembangunan ekonominya: dari ekonomi konsumsi menjadi ekonomi produktif, dari pasar tergantung menjadi pusat inovasi dan kemandirian.

Trump boleh memaksa dunia berputar ke arah unilateral, tapi Indonesia harus menjawabnya dengan strategi nasional yang berpijak pada kepentingan jangka panjang rakyatnya. (*)

Penulis adalah*) Departemen Ekonomi Universitas Andalas