Imbas Trump Impack Emiten S&P Merugi Rp82.000 Triliun!, Awas PHK Besar besaran Sektor Tekstil

Oplus_131072

JAKARTA – Dampak pemberlakuan tarif dagang Presiden Donald Trump benar benar membuat situasi panik luar biasa, termasuk di Pasar Modal. Emiten S$P sampai merugi Rp82.000 triliun akibat kebijakan tarif dagang Trump.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) kembali mengalami tekanan hebat pada Jumat waktu AS (4/4/2025) atau Sabtu dini hari waktu Indonesia (5/4/2025).

Bursa saham tertekan akibat kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump serta balasan China atas tarif tersebut. Hal ini bisa memicu perang dagang global yang bisa mengarah pada resesi.

Bursa jatuh setelah Kementerian Perdagangan China menyatakan pada Jumat (4/4/2025) bahwa mereka akan memberlakukan tarif sebesar 34% pada semua produk AS.

Pernyataan ini mengecewakan para investor yang sebelumnya berharap kedua negara akan berunding terlebih dahulu sebelum mengambil langkah balasan.

Indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 2.231,07 poin, atau 5,5%, ke level 38.314,86. Ini adalah penurunan terbesar sejak Juni 2020 selama masa pandemi.

Koreksi ini juga memperpanjang tren negatif Dow Jones yang sudah anjlok 1.679 poin pada Kamis. Penurunan ini menjadi sejarah karena untuk pertama kalinya Dow Jones kehilangan lebih dari 1.500 poin dalam dua hari berturut-turut.

Indeks S&P 500 anjlok 5,97% ke level 5.074,08 yang menjadi penurunan terbesar sejak Maret 2020. Indeks acuan ini juga turun 4,84% pada Kamis dan kini telah turun lebih dari 17% dari titik tertingginya.

Indeks Nasdaq Composite, yang menaungi banyak perusahaan teknologi yang menjual dan memproduksi produknya di China, merosot 5,8% ke angka 15.587,79.

Penurunan ini memperpanjang tren negatifnya dii mana indeks juga anjlok hampir 6% pada Kamis. Nasdaq sudah jatuh 22% dari rekor tertingginya di Desember 2024.

Aksi jual besar-besaran terjadi di indeks S&P di mana hanya ada 14 saham anggota S&P 500 yang menguat kemarin. Indeks-indeks utama ditutup pada posisi terendahnya.

Indeks-indeks utama mencatat penurunan mingguan terbesar mereka sejak awal pandemi Covid pada Maret 2020. Indeks S&P 500 dan Nasdaq masing-masing turun lebih dari 9% dalam sepekan terakhir.

Indeks Nasdaq, yang didominasi saham-saham teknologi, telah turun 22,7% dari rekor penutupan tertingginya pada 16 Desember, karena investor mulai menjauh dari aset-aset berisiko akibat kekhawatiran terhadap tarif perdagangan.

Hitungan Reuters menunjukkan indeks S&P mencatat kerugian sebesar US$5 triliun atau sekitar Rp 82.775 triliun (US$1= Rp 16.555) akibat menguapnya kapitalisasi pasar atau market cap.

Jumlah tersebut menjadi rekor penurunan dua hari terbesar sepanjang sejarah untuk indeks acuan S&P 500, melampaui kerugian dua hari sebesar US$3,3 triliun pada Maret 2020 saat pandemi melanda pasar global.

Saham Teknologi Hancur-hancuran

Sementara itu, Saham teknologi memicu penurunan tajam pada perdagangan Jumat.

Saham produsen iPhone Apple turun 7,3%, sehingga total penurunannya selama seminggu menjadi 13%.

Saham Nvidia jatuh 7,4% Sementara Tesla ambruk 10,4%. Saham Google jeblok 3,4% dan saham Meta jatuh 5,06%.

Ketiga perusahaan ini memiliki eksposur besar terhadap pasar China dan menjadi yang paling terpukul akibat kebijakan tarif balasan dari Beijing.

Di luar sektor teknologi, perusahaan besar lainnya seperti Boeing yang ambles 9% dan Caterpillar turun hampir 6%.

Keduanya merupakan eksportir besar ke China dan turut menyeret Dow Jones turun lebih dalam.

“Pasar bull sudah mati, dan itu dihancurkan oleh para ideologi dan luka yang dibuat sendiri,” kata Emily Bowersock Hill, CEO dan mitra pendiri di Bowersock Capital Partners kepada CNBC International.

Sebagai catatan, Bullish market (atau pasar bull) adalah istilah dalam dunia keuangan yang menggambarkan kondisi pasar yang sedang naik – yaitu ketika harga-harga saham (atau aset lainnya seperti kripto, properti, dll.) cenderung naik secara berkelanjutan dalam jangka waktu tertentu.

“Meskipun pasar mungkin mendekati titik terendah dalam jangka pendek, kami khawatir tentang dampak perang dagang global terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang.” Imbuhnya.

Upaya China dalam merespons tarif Trump meluas lebih dari sekadar tarif balasan. Beijing menambahkan beberapa perusahaan ke dalam daftar entitas yang tidak dapat dipercaya (“unreliable entities list”), yang menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut telah melanggar aturan pasar atau komitmen kontrak.

Selain itu, China membuka penyelidikan antitrust terhadap DuPont pada Jumat, yang menyebabkan saham perusahaan tersebut anjlok hampir 13%.

Bila saham jeblok tidak demikian dengan obligasi. Imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun turun kembali ke bawah 4% pada Jumat karena investor berbondong-bondong masuk ke pasar obligasi untuk mencari keamanan.

Imbal hasil berbanding terbalik dengan harga. Imbal hasil yang rendah menandai obligasi tersebut harganya tengah naik karena diburu investor.

Indeks Volatilitas CBOE (VIX), yang dikenal sebagai pengukur ketakutan Wall Street, melonjak ke atas angka 40, level ekstrem yang biasanya hanya terlihat saat penurunan pasar yang sangat cepat.

Ketakutan investor ini terkait erat dengan kebijakan Trump.

Trump tampaknya tetap bersikukuh di tengah reaksi negatif pasar terhadap gelombang tarifnya yang diumumkan pada Rabu kemarin. Di Truth Social pada hari Jumat, ia menulis bahwa “kebijakan saya tidak akan pernah berubah.”

“Ketakutannya sekarang menjelang akhir pekan adalah bahwa perang dagang akan terus meningkat, dan AS tidak akan mundur,” kata Jay Woods, kepala strategi global di Freedom Capital Markets, kepada CNBC Intertaional.

Potensi resesi bukanlah hal yang paling dikhawatirkan oleh Jurrien Timmer dari Fidelity, dibandingkan dengan konsekuensi dari rotasi besar-besaran keluar dari saham teknologi raksasa ‘Magnificent Seven’.

SIMAK JUGA :  KADIN Tawarkan Solusi Holistik Kenaikan Upah : Tingkatkan Daya Beli tapi tak Berakibat PHK

“Pasar saat ini sangat berat di atas, sehingga jika kita mulai melihat rotasi sekuler dari Mag 7 ke segmen lain (terutama saham di luar AS), maka dampaknya bisa jauh lebih dalam dibandingkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri,” tulis Timmer, Direktur Global Macro di Fidelity, dalam sebuah unggahan di platform X pada Jumat.

“Lanskap risiko/imbal hasil saat ini sangat timpang dan condong ke saham mega-grower (perusahaan dengan pertumbuhan besar), hingga bisa menjadi peristiwa sistemik bagi pasar. Akan ada banyak hal yang harus dikejar jika Mag 7 kembali sejajar dengan ACWI ex-US,” tambahnya.

Saham teknologi anjlok pada Kamis setelah Presiden Donald Trump mengumumkan serangkaian tarif global, dan saham-saham ‘Magnificent Seven’ kehilangan lebih dari $1 triliun dalam kapitalisasi pasar secara kolektif pada hari itu. Kelompok ini melanjutkan penurunannya dalam aksi jual hari Jumat.

Sebagai catatan, kelompok Magnificent 7 atau Mag 7 adalah saham-saham blue chips dengan kapitalisiasi raksasa.

Istilah “Magnificent Seven” merujuk pada tujuh saham teknologi raksasa AS yang menjadi penggerak utama pasar saham dalam beberapa tahun terakhir karena kapitalisasi pasar mereka yang sangat besar dan pertumbuhan luar biasa. Berikut adalah daftar saham Magnificent 7:

Apple (AAPL)
Microsoft (MSFT)
Alphabet (GOOGL) – Induk perusahaan Google
Amazon (AMZN)
Nvidia (NVDA)
Meta Platforms (META) – Dulu dikenal sebagai Facebook
Tesla (TSLA)

Ketujuh perusahaan ini mendominasi indeks-indeks besar seperti S&P 500 dan Nasdaq, dan mereka sering kali menjadi tolok ukur sentimen pasar secara keseluruhan.

Karena bobot mereka yang besar, pergerakan harga saham-saham ini bisa sangat memengaruhi keseluruhan pasar.

Picu PHK Sektor Tekstil

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengkhawatirkan terjadinya gelombang PHK di masa mendatang imbas dari kebijakan tarif baru Presiden AS Donald Trump.

Ketua APINDO Shinta Kamdani mengatakan pihaknya cemas kebijakan tersebut akan memicu gelombang PHK di sektor padat karya, seperti tekstil, karena selama ini sudah memiliki tantangan tersendiri.

Diketahui, Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena tarif baru Trump sebesar 32 persen.

“Kekhawatiran kami yang terbesar adalah tekanan layoff (PHK) yang lebih besar di sektor padat karya (garment terutama) pasca kebijakan ini. Karena industrinya sendiri sudah lama struggling,” kata Shinta seperti dilansir Detik.

Shinta menilai ada sejumlah sektor yang paling berdampak karena pasar ekspor lebih besar ke AS, seperti garmen, alas kaki, furniture, dan perikanan.

Dalam hal kebijakan Trump, RI tak luput jadi negara yang terdampak dari kebijakan Trump tersebut. Tarif baru impor yang dikenakan ke Indonesia sebesar 32 persen.

Angka itu menempatkan Indonesia di posisi ke-6 di kawasan ASEAN. Sementara negara di ASEAN yang dikenakan tarif baru tertinggi adalah Kamboja dengan tarif 49 persen.

Industri Mebel dan Kerajinan

Sementara, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan kebijakan tarif timbal balik yang ditetapkan Presiden AS Donald Trump akan berdampak pada industri industri mebel dan kerajinan.

Dalam daftar yang dirilis pemerintah AS, produk ekspor Indonesia ke AS dikenakan tarif timbal balik dengan angka senilai 32 persen.

Abdul menjelaskan selama ini 53 persen ekspor produk mebel dan kerajinan Indonesia ke Amerika Serikat.

Ia mengatakan dampak yang paling terasa dalam waktu dekat adalah barang-barang mebel dan kerajinan yang sedang dikirim ke AS sampai pada 9 April dan setelahnya kemungkinan akan tertahan di pelabuhan.

“53 persen ekspor kami kan ke Amerika Serikat, ya selebihnya ke Eropa dan ke negara-negara di kawasan Asia. Jadi tentu saja perjalanan barang yang sedang di laut, yang baru berangkat, kontainer, itu akan terkena dampak. Karena kan perjalanan ini kan satu bulan, di lapangannya, di laut. Begitu sampai ke sana itu kan harga sudah berubah,” kata Abdul seperti dikutip dari Detikproperti, Jumat (4/4).

Menurutnya, barang-barang yang dikirim itu baru bisa dipasarkan dan sampai ke tangan pembeli apabila pajak terbaru dibayarkan.

Beberapa pesanan telah dikirim sebelum kebijakan kenaikan pajak disahkan dan belum ada perubahan harga.

“Jadi mau enggak mau kan, dia harus spending untuk membayar itu (pajak). Atau barang tidak akan bisa masuk ke Amerika, tertahan di pelabuhan,” ujarnya.

Dampak lain dari kenaikan tarif adalah terjadi penurunan ekspor mebel dan barang kerajinan dari RI ke AS.

Pasar AS akan beralih ke negara-negara yang menjual barang serupa dengan harga yang lebih rendah atau murah.

“Produk hasil hutan dan produk mebel Indonesia yang diekspor ke AS akan terkena beban biaya lebih tinggi. Ini signifikan tentunya bisa mengurangi daya saing produk mebel Indonesia di pasar AS,” ujarnya.

Berdasar data HIMKI beberapa tahun terakhir, ekspor mebel dan barang kerajinan RI ke Amerika dari 2022 ke 2024 mengalami penurunan.

Nilai ekspor tertinggi terjadi pada 2022 lalu sebesar 1,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp31 triliun (Kurs Rp16.756). Lalu nilai ekspor pada 2024 hanya menyentuh 1,3 miliar dolar AS atau Rp21 triliun.

Barang-barang mebel yang paling banyak dikirim RI ke AS sebagian besar terbuat dari kayu sekitar 65 persen, kemudian ada yang dari bahan rotan sekitar 13 persen, dan sisanya berasal dari bahan plastik dan synthetic wicker.

“Terjadi penurunan karena memang ada tren penurunan ke Amerika itu. Plus sekarang tahun 2025 kena dampak tarif, pasti lebih turun lagi,” kata Abdul. (*)

Dari berbagai sumber

Awaluddin Awe
awal.batam@gmail.com