Oleh*) Prof. Rumainur, S.H., M.H., Ph.D.
I. Tinjauan Umum
Sejak pertama kali disusun RUU Perampasan Aset Tindak Pidana pada tahun 2008, hingga hari ini masyarakat Indonesia berharap agar RUU ini dapat segera disahkan dan direalisasikan.
Perampasan Aset Tindak Pidana yang dimaksud dalam hal ini
adalah tindakan hukum dimana negara bertindak dengan upaya paksa mengambil alih asset yang diperoleh atau digunakan oleh seseorang atau badan hukum dalam tindak pidana, yang mana asset tersebut dapat disita oleh negara sebagai konsekuensi tindak pidana yang dilakukan orang atau badan hukum tersebut.
Selanjutnya tujuan dari diwacanakannya regulasi Perampasan Aset Tindak Pidana
berorientasi pada pencegahan hingga pemberantasan korupsi, mencegah praktik
pencucian uang, hingga, pemanfaatan asset untuk kepentingan pendanaan
terorisme. Hal-hal tersebut merupakan pilar-pilar utama alasan terbitnya wacana dari regulasi tersebut.
Terkait dengan sejarah wacana pembentukan UU Perampasan Aset Tindak Pidana di atas secara luas mencakupi hal-hal seperti
pemulihan kerugian negara, efektifitas penegakan hukum, komitmen international, menutup potensi celah hukum, hingga pencegahan kejahatan.
II. Tinjauan Perbandingan Negara negara yang Telah Menerapkan Regulasi Perampasan Aset Tindak Pidana
A. Australia
Bahwa membahas tentang perbandingan serta tinjauan negara-negara yang
telah lebih dulu menerapkan regulasi ini, penulis akan menguraikan secara
sederhana bagaimana negara Australia mengelola serta menerapkan aturan
tersebut, sebagaimana berikut:
Australia menganut sistem perampasan aset tanpa memerlukan putusan pidana
terlebih dahulu (non-conviction based asset forfeiture).
Mekanisme ini memungkinkan pemerintah Australia bertindak cepat dalam merespons berbagai kejahatan serius seperti narkotika, korupsi, dan pencucian uang,
khususnya yang melibatkan jaringan lintas negara.
Pada 1980-an, pendekatan
conviction-based masih mendominasi, namun dinilai tidak cukup efektif untuk mengejar asset yang telah dialihkan ke pihak ketiga atau luar negeri.
Dorongan untuk membentuk system yang lebih fleksibel akhirnya melahirkan
Proseeds of Crime Act 2002 (Cth) di tingkat federal, yang menggabungkan mekanisme perampasan pidana dan non-pidana dalam satu kerangka hukum.
Undang-undang tersebut memungkinkan penyitaan asset sebelum pelaku terbukti bersalah secara pidana, dengan syarat pembuktian bahwa asset tersebut
“kemungkinan besar” berasal dari kejahatan
Selain itu, pengadilan juga diberikan wewenang untuk membalikkan beban pembuktian: pemilik asset harus membuktikan bahwa kekayaannya berasal dari sumber yang sah
Sistem di Australia menerangkan walaupun perampasan asset tidak didahului dan atau tanpa putusan inkracht pidana sebelumnya, hal tersebut tetap dapat diterapkan dengan efektif serta efisien dalam pemulihan kerugian negara.
Namun keberhasilan itu menuntut sistem pengawasan yang kuat, pengadilan yang independent, dan jaminan hak-hak individu yang seimbang.
B. Inggris
Inggris merupakan salah satu negara yang memiliki kerangka hukum yang cukup komprehensif terkait perampasan aset, baik dalam konteks pidana maupun non-pidana.
Instrumen hukum utama yang mengatur hal ini adalah Proceeds of Crime Act 2002 (POCA 2002), yang diberlakukan untuk memperkuat kemampuan negara dalam menindak hasil kejahatan dan mencegah pelaku memperoleh keuntungan dari aktivitas ilegal.
Selanjutnya Proceeds of Crime Act 2002 (POCA 2002) sendiri mengatur tiga mekanisme utama perampasan asset yakni:
– Criminal confiscation: dilakukan setelah terdakwa dinyatakan bersalah, dimana pengadilan dapat memerintahkan penyitaan asset yang dianggap
sebagai hasil tindak pidana.
– Civil revovery: memungkinkan pemerintah (melalui National Crime Agency atau NCA) untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Tinggi agar menyita asset tanpa perlu pembuktian tindak pidana, cukup dengan standar pembuktian perdata (balance of probabilities)
– Cash forfeiture dan account freezing: memungkinkan penyitaan uang tunai atau
pembekuan rekening bank yang dicurigai berasal dari tindak pidana, meskipun belum ada dakwaan.
Menyoal tentang pembalikan beban pembuktian POCA juga mengatur hal tersebut terkhusus dalam mekanisme civil recovery.
Dalam arti lain, individu
yang memiliki asset harus membuktikan bahwa kekayaan tersebut bukan hasil
kejahatan.
Pendekatan ini dianggap efektif dalam menargetkan asset-aset yang berasal dari kejahatan terorganisir atau korupsi international, termasuk dari negara-negara berkembang.
Kemudian Proses perampasan non-pidana di Inggris bersifat independen dari proses pidana, yang berarti otoritas penegak hukum tetap dapat mengajukan
perampasan aset meskipun tidak ada dakwaan atau putusan bersalah.
Hal ini memberi fleksibilitas besar dalam upaya pemulihan aset, terutama dalam kasuskasus dengan hambatan yurisdiksi atau keterbatasan bukti pidana.
Terakhir Meskipun POCA dinilai efektif, terdapat kritik terhadap potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas kepemilikan dan prinsip praduga tak bersalah.
Oleh karena itu, pengadilan di Inggris menerapkan pengawasan yudisial yang ketat terhadap proses civil recovery dan account
freezing, serta mensyaratkan proporsionalitas tindakan penyitaan.
III. Urgensi Undang undang Perampasan Aset di Indonesia
Upaya pemberantasan korupsi dan kejahatan terorganisir di Indonesia selama ini dihadapkan pada tantangan besar, salah satunya adalah belum optimalnya
proses pemulihan aset negara yang hilang akibat tindak pidana.
Saat ini, pemulihan asset hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Hal ini membuat negara sering kali kehilangan kesempatan untuk merebut kembali hasil kejahatan karena pelaku melarikan diri atau menghilangkan jejak hartanya
a. Kekosongan Hukum dan Keterbatasan KUHAP
Dalam konteks ini, bukanlah hal yang keliru jika Indonesia mulai mengadopsi prinsip-prinsip perampasan aset tanpa harus menunggu putusan hukum yang
berkekuatan tetap (inkracht), mengingat pendekatan semacam ini terbukti dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam upaya penyelamatan kekayaan
negara.
Kendalanya saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengenal mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yaitu penyitaan
dan perampasan aset tanpa memerlukan putusan bersalah terlebih dahulu.
Padahal, model ini sudah lazim digunakan di banyak negara sebagai instrumen penting dalam menindak kejahatan yang kompleks, seperti korupsi lintas
negara dan pencucian uang.
Ke depan, besar harapan agar pembaruan KUHAP mampu mengakomodir mekanisme tersebut, guna memperkuat sistem pemulihan aset negara dan menjawab tantangan hukum modern yang semakin
rumit.
b. Lemahnya Daya Pulih Aset Negara
Laporan KPK tahun 2022 menunjukkan bahwa nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang berhasil dipulihkan melalui proses pidana masih
sangat kecil dibandingkan potensi kerugian sebenarnya.
Tanpa adanya instrumen hukum yang memungkinkan perampasan aset dilakukan dengan cara yang lebih luwes dan proaktif, para pelaku kejahatan masih memiliki
peluang untuk mempertahankan dan menikmati hasil kejahatannya, bahkan setelah mereka menyelesaikan masa hukuman penjara.
c. Pengalaman Negara Lain dan Urgensi Harmonisasi
Banyak negara telah mengadopsi rezim civil recovery, seperti Inggris, Swiss, dan Kanada, yang memungkinkan negara menyita aset dengan standar pembuktian
yang lebih rendah, yaitu balance of probabilities alih-alih beyond reasonable doubt.
Tanpa mengikuti perkembangan ini, Indonesia akan terus menjadi surga aman bagi pelarian aset korupsi dari dalam maupun luar negeri.
Uraian di atas kiranya cukup menggambarkan betapa mendesaknya kebutuhan
Indonesia untuk memiliki Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana.
Sebab, tak dapat disangkal bahwa aset hasil tindak pidana korupsi, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, berpotensi besar untuk disembunyikan dan disimpan dengan aman di Indonesia.
Karena itu, keberadaan regulasi ini
menjadi sangat penting untuk segera diterapkan demi menjaga integritas dan kepentingan negara.
IV. Stabilitas Politik, Hukum dan Ekonomi dalam Konteks Penerapan UU Perampasan Aset Tindak Pidana di Republik Indonesia
Absennya Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana di Indonesia bukan sekadar masalah teknis dalam penegakan hukum pidana, melainkan turut
menyentuh aspek fundamental seperti stabilitas politik, tegaknya supremasi hukum, dan ketahanan ekonomi nasional.
Mekanisme perampasan aset yang berjalan efektif berkontribusi besar dalam membangun kepercayaan masyarakat,
memperkuat kredibilitas institusi negara, serta menciptakan lingkungan investasi
yang lebih kondusif dan berkelanjutan.
a. Stabilitas Politik: Menekan Siklus Korupsi Kekuasaan
Korupsi politik di Indonesia kerap melibatkan penyalahgunaan jabatan untuk akumulasi kekayaan ilegal, yang kemudian digunakan kembali untuk mendanai
pencalonan politik atau membeli pengaruh kekuasaan.
Tanpa instrumen hukum yang dapat memutus siklus aset ilegal ini, korupsi menjadi sistemik dan
berulang. RUU Perampasan Aset berpotensi memutus rantai tersebut dengan cara menargetkan hasil kejahatan, bukan hanya pelakunya.
Lebih dari itu, perampasan aset menjadi simbol nyata dari political will pemerintah dalam memberantas korupsi. Ini penting dalam mengembalikan
kepercayaan publik terhadap sistem politik dan memperkuat legitimasi demokrasi
b. Stabilitas Hukum: Menutup Celah Impunitas
Kelemahan sistem hukum Indonesia saat ini adalah terlalu bergantung pada pembuktian pidana untuk dapat melakukan penyitaan aset. Hal ini
menyebabkan pelaku korupsi kelas kakap dapat lolos dari jerat hukum dengan berbagai taktik penghindaran seperti penghilangan barang bukti, melarikan diri, atau memanfaatkan celah prosedural.
Ketika sistem hukum gagal
menjangkau kekayaan hasil kejahatan, maka yang tercipta adalah rasa ketidakadilan dan delegitimasi hukum di mata publik.
Dengan UU Perampasan Aset Tindak Pidana, negara seyogyanya memiliki legal
standing untuk mengejar aset tanpa harus membuktikan secara pidana siapa pelakunya, selama dapat ditunjukkan bahwa aset tersebut adalah hasil kejahatan.
Ini akan memperkuat prinsip rule of law dan menunjukkan bahwa
hukum tidak berhenti pada orang, tetapi juga menyasar hasil kejahatannya.
c. Stabilitas Ekonomi: Menjaga Ekosistem Investasi dan Keuangan
Korupsi dan pencucian uang berdampak langsung terhadap kesehatan sistem ekonomi. Uang hasil korupsi biasanya tidak diinvestasikan secara produktif,
tetapi disimpan dalam bentuk aset mati seperti properti mewah, rekening luar negeri, atau kendaraan finansial gelap. Hal ini merusak efisiensi pasar dan
menciptakan ekonomi semu yang rapuh.
UU Perampasan Aset Tindak Pidana dapat membantu mengalirkan kembali aset
ilegal ke dalam sistem resmi melalui mekanisme asset recovery, baik untuk menutup kerugian negara maupun untuk pembiayaan publik seperti
pendidikan, kesehatan, dan pembangunan daerah.
Lebih jauh lagi, keberadaan UU ini akan meningkatkan citra Indonesia di mata investor asing dan lembaga keuangan global, karena menunjukkan keseriusan dalam tata kelola keuangan
dan perlindungan terhadap sistem dari penyalahgunaan.
V. Penutup dan Rekomendasi
Melihat kompleksitas kejahatan ekonomi modern dan keterbatasan instrumen
hukum nasional dalam menjangkaunya, kebutuhan akan Undang-Undang KPK, Kajian Kelembagaan dan Regulasi Pemulihan Aset, 2021.
Perampasan Aset Tindak Pidana bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak. Tanpa regulasi yang mampu bergerak cepat dan fleksibel
dalam menyasar hasil tindak pidana, Indonesia akan terus menjadi arena subur bagi praktik korupsi, pencucian uang, dan pelarian aset lintas yurisdiksi.
Penerapan model non-conviction based asset forfeiture yang telah terbukti efektif di berbagai negara seharusnya dijadikan referensi adaptif, bukan sebagai peniruan
buta, tetapi sebagai inspirasi pembaruan hukum yang kontekstual dengan
kebutuhan Indonesia.
Apalagi, perampasan aset bukan hanya tentang hukuman, melainkan tentang pemulihan kerugian negara dan pemutusan siklus ekonomi gelap yang melemahkan fondasi hukum dan politik.
Sebagai rekomendasi praktis, setidaknya terdapat lima langkah yang perlu dipertimbangkan:
1. Pemerintah dan Legislatif mesti segera serius dalam pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dengan memuat mekanisme perampasan nonpidana yang tunduk pada asas due process of law dan proporsionalitas;
2. Membangun satuan kerja lintas lembaga dengan otoritas khusus dan kompetensi teknis tinggi di bidang asset tracing, pembuktian keuangan, dan kerja sama internasional;
3. Mereformasi sistem pembuktian dengan membuka ruang untuk pembalikan
beban pembuktian secara terbatas dan terkendali, khusus dalam perkara korupsi atau kejahatan keuangan;
4.Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset hasil rampasan, agar manfaatnya dirasakan publik dan tidak menimbulkan korupsi
baru;
5. Melibatkan masyarakat sipil dan akademisi dalam proses pengawasan, evaluasi kebijakan, dan pendidikan publik agar lahir kesadaran kolektif bahwa
hukum bukan hanya alat menghukum, tapi juga memulihkan.
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita meninggalkan pendekatan penegakan hukum yang konvensional yang semata-mata fokus pada pelaku, dan beralih ke strategi yang lebih progresif yaitu memburu hasil dari kejahatan itu sendiri.
Pasalnya, akar dari terus bertahannya praktik korupsi dan kejahatan ekonomi di Indonesia
terletak pada satu fakta penting yakni aset hasil kejahatan tetap aman dan tidak terjamah. Para pelaku mungkin selesai menjalani masa hukuman, tetapi kekayaannya tetap tersimpan rapi dan utuh.
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana sebenarnya bukanlah gagasan yang baru muncul. Namun, hingga kini pembahasannya kerap
terhambat di ranah politik, seolah ada keraguan untuk sungguh-sungguh
menindak kekayaan hasil kejahatan.
Padahal, seperti telah diuraikan sebelumnya, berbagai negara telah membuktikan bahwa menargetkan aset secara langsung jauh lebih efektif dibandingkan menunggu proses pidana yang panjang, rumit,
dan rentan dimanipulasi.
Jika negara benar-benar ingin membuktikan keseriusannya dalam membangun kepercayaan publik dan melindungi keuangan negara, maka pengesahan RUU
ini menjadi langkah yang tak bisa ditunda. Namun, pengesahan saja tidak cukup.
Kita juga membutuhkan sistem pengawasan yang transparan, aparat penegak hukum yang kompeten dalam pelacakan aset, serta skema pengelolaan yang
memastikan hasil perampasan benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan publik, bukan justru jatuh ke tangan pihak yang tak akuntabel. Yang tak kalah krusial adalah perubahan cara pandang.
Keadilan semestinya tidak berhenti pada menjatuhkan hukuman kepada pelaku, tetapi juga memastikan bahwa keuntungan dari kejahatan tidak bisa mereka nikmati.
Tanpa pendekatan seperti ini, upaya pemberantasan korupsi hanya akan menjadi seremonial belaka tanpa menyentuh akar persoalan.
Berdasarkan paparan di atas, sudah seharusnya Indonesia tidak hanya memperkuat fondasi hukum nasional, tetapi juga menunjukkan ketegasan
sebagai negara yang tak memberi tempat bagi praktik kejahatan yang dapatmenghancurkan tatanan berbangsa.
Untuk itu, kita warga negara mutlak punya peran penting dalam mendukung lahirnya regulasi ini, sebab dengan lahirnya UU Perampasan Aset Tindak Pidana secara tidak langsung kita sudah selangkah
lebih maju untuk menuju visi Indonesia sebagai negara maju bersama Indonesia Emas 2045.
*) Penulis adalah Ahli hukum dan Guru Besar Universitas Nasional yang dikukuhkan awal tahun 2024.
*) Struktur penulisan artikel sudah disesuaikan dengan standard penulisan artikel untuk media Pers