OPINI  

Jokowi, Megawati, dan PSI: Politik Nama Besar yang Menggantung di Udara

Jokowi, Megawati, dan PSI: Politik Nama Besar yang Menggantung di Udara

Oleh: Daddy Palgunadi
Pengamat Politik dari Lanskap Publik


Di republik yang tak pernah kekurangan drama politik, nama besar bisa jadi berkah sekaligus kutukan. Dari Istana hingga gang sempit, politik dibicarakan seperti cuaca: tak bisa dikontrol, tapi selalu berpengaruh.

Dan kini, dua nama besar menghantui bayang-bayang Pemilu 2029: Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo. Satu adalah simbol ideologis, yang lainnya ikon elektoral. Tapi apakah keduanya masih relevan untuk menggiring arus besar politik nasional?

Megawati: Satu Komando, Seribu Kepatuhan

Di tangan Megawati, PDIP bukan sekadar partai. Ia adalah institusi yang dibungkus sejarah, mitos, dan satu komando. Lebih dari dua dekade, Megawati menyatukan faksi, meredam perpecahan, dan menjaga warisan Bung Karno dalam amplop merah.

Simbol? Ya. Komando? Sudah pasti. Tapi Megawati juga adalah lem yang merekatkan PDIP dari akar sampai pucuk. Tak semua partai punya figur yang mampu menjadi pengikat ideologis sekaligus pengarah langkah politis.

\”PDIP bukan hanya mesin suara. Ia berdiri di atas narasi sejarah, dan Megawati adalah penjaga gerbangnya,\” kata Daddy Palgunadi.

Jokowi: Presiden Tanpa Partai

Jokowi adalah anomali politik. Ia menang di segala level, dari Solo ke Jakarta, hingga dua periode di Istana. Tapi anehnya, tak ada partai yang benar-benar bisa mengklaimnya sebagai milik.

PDIP mengusungnya, tentu saja. Tapi hubungan itu tak selalu mesra. Dan kini, menjelang masa purnanya, Jokowi memilih menambatkan perahu ke dermaga PSI. Sebuah kapal kecil yang ingin jadi armada.

SIMAK JUGA :  Situasi Indonesia Bergerak tak Pasti, Jokowi akan Bertemu Mega, Awe : Terbukti Puan Antitesa Mega

Ketika isu ijazah palsu kembali menghantam, PSI tak tampak sigap. Padahal jika benar ingin menjadikan Jokowi sebagai simbol, mestinya mereka berdiri paling depan—bukan sekadar pengikut di belakang barisan.

\”Jokowi besar, tapi PSI belum menunjukkan bahwa mereka siap jadi rumah politik, bukan sekadar ruang tamu,\” kritik Daddy.

Prabowo: Dari Megafon ke Mesin Suara

Lihat Prabowo. Ia butuh waktu panjang—bahkan melelahkan—untuk menjadikan Gerindra sebagai kekuatan yang tak bisa diabaikan. Dari capres yang selalu kalah, ia berubah menjadi presiden terpilih.

Tapi Gerindra tidak tumbuh dari nama besar semata. Ia dibangun dari kerja struktural, manuver politik, dan konsolidasi lapangan.

\”Gerindra tidak tiba-tiba besar. Butuh kesabaran, konsistensi, dan kesediaan kalah dulu sebelum menang besar,\” ujar Daddy.

PSI dan PR Bernama Konsolidasi

Bagi PSI, mimpi besar harus diimbangi kerja keras yang membumi. Menjadikan Jokowi sebagai wajah partai bukan perkara estetika, tapi strategi panjang.

Kalau tidak, nama besar Jokowi hanya akan jadi poster di pinggir jalan: mencolok, tapi tak menggerakkan.

Dan sejarah bisa mencatatnya begini: Jokowi, presiden rakyat yang pernah menang berulang kali, tapi gagal menjadikan dirinya warisan politik yang bertahan lebih dari satu musim pemilu.