Oleh : Arcandra Thahar*)
Tak bisa dipungkiri bahwa peran gas alam dalam pemenuhan kebutuhan energi dunia saat ini semakin besar dan strategis.
Kenapa?
Selain mempunyai emisi karbon yang rendah, gas alam bisa digunakan sebagai sumber energi yang sangat reliable sebagai backup ketidakstabilan energi terbarukan dari matahari dan angin.
Dari sisi harga, gas alam lebih murah dibandingkan bahan bakar minyak (BBM).
Dengan peran strategis dari gas alam yang semakin populer, bukan berarti gas alam tidak punya tantangan dalam penggunaan dan rantai suplainya.
Salah satu tantangan tersebut adalah bagaimana mengangkut atau menyalurkan gas alam dari sumbernya ke konsumen yang membutuhkan.
Membangun pipa adalah cara yang paling mudah dan murah untuk menyalurkan gas alam. Namun tidak semua konsumen bisa dijangkau dengan pipa.
Selain masalah geopolitik antar negara, jarak yang jauh bisa membuat biaya penyaluran lewat pipa menjadi sangat mahal.
Kalau begitu apa alternatif solusi untuk penyaluran gas alam yang punya jarak tempuh yang cukup jauh?
Jawabannya adalah dengan mengubah fasa dari gas alam ini dari wujud gas menjadi cair atau Liquid Natural Gas (LNG).
LNG ini kemudian diangkut menggunakan kapal khusus yang disebut dengan LNG Carrier (LNGC).
Dengan fasa cair ini, volume gas yang diangkut 600 kali lipat lebih besar dibandingkan dalam fasa gas.
Disinilah tantangan mulai muncul, dimana kebutuhan akan LNGC semakin hari semakin besar, sementara shipyard yang punya kapasitas dan teknologi untuk membangunnya terbatas.
Dua negara yang bersaing dan menjadi andalan untuk membangun kapal LNGC adalah Korea Selatan dan China.
Dari tahun 2023 sampai pertengahan tahun 2025 (Q2 2025), shipyard dari Korea Selatan sudah mendapat pesanan (order) sebanyak 105 kapal LNGC, sementara China mendapatkan 49 kapal.
Bisa disimpulkan bahwa shipyard di Korea Selatan dan China sudah tidak punya kapasitas lagi untuk menerima order paling tidak sampai tahun 2030.
Bagaimana dengan shipyard di Amerika Serikat (AS) dan Eropa? Mereka memang punya kapasitas dan kapabilitas untuk membangun kapal besar tapi tidak untuk LNGC.
Selain mahal dari sisi material dan biaya pekerja, mereka juga kurang efisien dibandingkan dengan shipyard di China dan Korea Selatan.
Tantangan selanjutanya adalah dari sisi harga. Untuk kapal LNGC yang punya kapasitas sekitar 175 ribu m3, sebelum tahun 2022, kisaran harganya sekitar USD 225 juta tapi sekarang sudah naik menjadi sekitarUSD 260 juta.
Bayangkan harga kapal LNGC naik sekitar 16% dibandingkan tahun 2022. Dengan kenaikan harga yang setinggi inipun, shipyard di China dan Korea Selatan tetap menolak untuk menerima order baru karena sudah tidak punya kapasitas untuk membangunnya.
Apakah dengan kita punya kapal LNGC berarti tantangan untuk pengangkutan LNG dari produsen ke konsumen sudah bisa teratasi? Ternyata tidak.
Saat ini ongkos angkut menjadi lebih mahal akibat rute yang ditempuh oleh kapal LNGC dari produsen ke konsumen lebih panjang.
Hal ini disebabkan karena kurang efektifnya penggunaan Terusan Suez dan Terusan Panama akibat waktu tunggu yang lama dan faktor keamanan.
Di Terusan Panama, kekeringan yang melanda di negara ini membuat kapasitas terusan menjadi berkurang.
Antrian kapal yang lewat menjadi panjang dan dengan sendirinya ongkos menyeberang menjadi mahal.
Begitu juga dengan Terusan Suez, konflik yang terjadi di Timur Tengah membuat kapal-kapal yang lewat menjadi tidak aman.
Dengan alasan diatas, operator kapal LNGC lebih memilih rute yang lebih jauh untuk menghindari penggunaan Terusan Suez dan Terusan Panama.
Dengan sendirinya, rute kapal LNGC yang melewati laut di Afrika Selatan (the Cape of Good Hope) menjadi favorit.
Bagaimana dengan biaya ekstra yang harus dibayar operator?
Walaupun lebih mahal tapi resiko keamanan lebih rendah dan jadwal yang lebih pasti. Ternyata faktor ini yang dominan dalam memilih rute pengangkutan LNG dengan menggunakan kapal besar.
Sebagai contoh biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh operator kapal LNGC yang mengangkut LNG dari Teluk Meksiko ke Jepang adalah sekitar USD 1 per mmbtu.
Secara detail dapat dijelaskan kalau menggunakan Terusan Panama maka ongkos pengangkutannya sekitar USD 2.25 per mmbtu, tetapi kalau lewat laut di Afrika Selatan maka ongkos pengangkutannya naik menjadi sekitar USD 3.25 per mmbtu.
Dengan kata lain, untuk kapal LNGC ukuran 175 ribu m3 maka selisih biaya antara lewat Terusan Panama atau lewat Afrika Selatan adalah sekitar USD 3.9 juta.
Selain selisih biaya yang besar ini, waktu tempuhnya juga 30 hari lebih lama. Inilah biaya yang harus ditanggung oleh konsumen akibat ketidakefektifan Terusan Panama.
Tantangan yang tidak kalah beratnya untuk kapal LNGC ini adalah ketentuan yang sangat ketat di Uni Eropa tentang ambang batas emisi CO2 yang diperbolehkan.
Penalti akan dikenakan terhadap kapal-kapal yang berlayar di Uni Eropa kalau tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Hal ini berpotensi menaikan ongkos pengangkutan LNG di Eropa.
Dengan beberapa tantangan dalam pengangkutan LNG dari produsen ke konsumen, banyak negara sekarang mulai merancang suplai chain yang efisien agar gas alam yang dibutuhkan sebagai sumber energi dan penggerak kegiatan ekonomi bisa terpenuhi.
Tidak ada yang instan didunia ini, semua perlu perencanaan yang matang dan terukur. (*)
*)Penulis adalah mantan Menteri ESDM RI