Pengalaman Mencoba Taxi Tanpa Sopir, Waymo di San Fransisco Amerika Serikat

Foto ilustrasi Waymo

Oleh : Archandra Thahar*)

Awal bulan Januari 2025 saya berkesempatan untuk mencoba taxi tanpa pengemudi (driverless taxi) yang dikelola oleh Perusahaan Waymo di San Fransisco, Amerika Serikat. Teknologi yang digunakan oleh Waymo ini dikembangkan oleh Google sejak tahun 2015. Tapi jauh sebelum itu Google sudah punya visi untuk mengembangkan teknologi tanpa sopir.

Kalau ditinjau lebih jauh, tujuan Google mengembangkan teknologi ini bukan untuk menggantikan manusia dengan seperangkat hardware dan software. Tapi lebih kepada memberikan rasa aman terhadap orang berkendara dan efisien.

Kenapa lebih aman? Menurut penelitian yang dilakukan oleh the U.S. National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA), 94% kecelakaan di jalan raya diakibatkan oleh kesalahan manusia (human error). Kalau faktor manusia ini bisa dieliminir dengan teknologi maka diharapkan angka kecelakaan di jalan raya bisa ditekan. Itulah tujuan mulianya.

Pertanyaan yang menggelitik adalah apakah kita mau menyerahkan keselamatan kepada seperangkat teknologi yang bisa saja salah dalam mengeksekusi pelajaran yang sudah diajarkan lewat teknologi Artificial Intelligence (AI)? Jawabannya mungkin saja. Kalau begitu apa yang mesti dilakukan untuk memitigasi resiko ini?

Ternyata tidak banyak yang bisa dilakukan selain membaca review dari orang-orang yang pernah menggunakan Waymo dan safety record nya. Menurut data yang ada ternyata kecelakaan ringan yang menimpa Waymo terjadi karena ditabrak dari belakang bukan karena menabrak.

Berbekal dari data ini saya mencoba meyakinkan diri untuk naik taxi Waymo. Untuk meyakinkan keberanian saya, akhirnya saya lebih dulu membaca buku tentang bagaimana teknolgi AI dikembangkan di AS. Judul buku yang saya baca adalah The Worlds I See yang ditulis oleh Fei-Fei Li, sekarang menjabat sebagai professor Human AI di Stanford University dan pernah menjadi Chief Scientist AI di Google.

Dari buku tersebut saya belajar bagaimana AI dikembangkan pertama kali dengan kasus membaca tulisan tangan 0 sampai 9 dari gambar yang diambil dari kamera. Tulisan tangan tersebut disajikan dalam bentuk pixel (saya baru tahu kalau pixel artinya picture element) dengan warna yang tergradasi dari hitam ke putih. Computer hanya tahu bahwa setiap pixel itu ada warnanya tapi untuk merangkai menjadi sebuah angka adalah pekerjaan yang sulit. Tingkat kesulitan itu makin bertambah dengan banyaknya variasi tulisan tangan manusia dalam menulis angka.

Dengan algoritma yang diciptakan akhirnya komputer mampu membaca gambar menjadi angka, dengan kategori obyek yang dibaca hanya sepuluh (angka 0 sampai 9). Algoritmanya diajarkan untuk membaca sepuluh macam obyek dengan berbagai macam variasi tulisan manusia secara otomatis.

SIMAK JUGA :  Laksma Hargianto Kenang Masa Kecil, jadi Knek Dadakan di Pasa Banto Bukittinggi

Salah satu tantangannya adalah mengumpulkan variasi tulisan manusia ini agar mesin bisa belajar. Mungkinkah dengan penduduk dunia yang sekitar 8 milyar orang punya variasi tulisan angka yang sebanyak itu juga? Selain bentuk tulisan, juga dari ketebalan huruf, ukuran, kemiringan dan lain-lain.

Inovasi AI ini akhirnya digunakan oleh kantor pos di Amerika Serikat (USPS) untuk membaca kode pos di surat sehingga penyortiran surat tidak lagi dilakukan oleh manusia tapi oleh mesin. Tentu teknologi AI sangat membantu kantor pos dalam mempercepat pengiriman surat dan mengurangi human error.

Setelah AI mampu membaca angka, inovasi selanjutnya adalah membedakan obyek seperti mobil, manusia, pohon, binatang, rumah dan banyak lagi yang lain. Kalau kita telaah lebih dalam tentang binatang misalnya, jenisnya tentu banyak sekali.

Pada awalnya salah satu algoritma yang paling susah adalah membedakan gambar anjing dan kucing. Ada anjing yang seperti kucing dan sebaliknya. Tapi manusia mampu membedakan secara cepat mana anjing dan mana kucing lewat mata yang diteruskan ke otak untuk memprosesnya. Tapi tidak untuk computer yang memerlukan algoritma yang sangat komplek untuk bisa membedakan kucing dengan anjing.

Algoritma mata melihat yang direpresentasikan oleh kamera kemudian diproses di otak yang direpresentasikan oleh microchip yang dicoba ditiru oleh computer. Tantangan ini sempat disayembarakan untuk mencari algoritma terbaik dan pemenangnya adalah Geoffrey Hinton. Beliau menggunakan teknologi Artificial Neural Network dalam sayembara ini. Teknologi ini juga yang akhirnya menjadikan beliau menjadi pemenang Nobel dibidang fisika tahun 2024. Beliau juga digelari dengan Godfather of AI

Kembali kepada cerita tetang taxi Waymo, dengan berbekal sedikit pengetahuan tentang AI saya memberanikan diri untuk menggunakan taxi Waymo di San Fransisco. Dengan bantuan 14 sampai 19 kamera yang terpasang di mobil ditambah dengan sensor LiDAR, sensor Radar dan sensor ultrasonic, Waymo mampu beroperasi dengan safety records yang baik.

Semoga teknologi ini mampu membantu kita hidup lebih aman dan efisien.

*)penulis adalah Mantan Menteri ESDM RI, anggota tetap Forum Minang Maimbau (FMM) Jakarta

Diskusi ini dapat diikuti pada Instagram @arcandra.tahar
https://www.instagram.com/p/DFfhP6Kzzdt/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA==