Pemantau Asing Sebut Pemilu 2024 Paling Tidak Berintegritas

  • Bagikan

RAY RANGKUTI

JAKARTA, HARIANINDONESIA.ID –

Direktur Lingkar Mardani Ray Rangkuti mengatakan bahwa lembaga pemantau pemilu asing Asian Network for Free Elections (ANFREL) menyebut Pemilu 2024 adalah pemilu paling tidak berintegritas sepanjang sejarah pesta demokrasi di Indonesia.

Menurut dia dalam lima pemilu terakhir di Tanah Air, tidak ada lembaga pemantau asing yang menyebut pemilu di Indonesia tidak berintegritas. Adapun salah satu hal yang menjadi pertimbangan ANFREL dalam menilai Pemilu 2024 adalah film dokumenter “Dirty Vote”, yang memoret dugaan kecurangan sebelum pemungutan suara berlangsung.

“Sepanjang sejarah reformasi, Pemilu 2024 adalah pemilu terburuk berdasarkan indikator moral dan teknis,” ujar Ray pada Diskusi Gerakan untuk Indonesia yang Adil dan Demokratis (GIAD) melansir kanal Youtube Para Syndicate, Rabu (21/2/2024).

Ray pun menjabarkan sejumlah indikator hancurnya moral pada Pemilu 2024. Antara lain, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres.

Putusan itu lahir melalui mekanisme cacat moral dan dimanfaatkan memuluskan jalan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka yang baru dua tahun menjabat sebagai Wali Kota Solo untuk maju sebagai Cawapres.

“Dan ini membesarkan praktik nepotisme, dan kuatnya dugaan keterlibatan presiden yang secara aturan tidak salah, tetapi secara moral bermasalah,” ujarnya menegaskan.

Kemudian, hampir setiap tahapan pada Pemilu 2024 ada masalah serius. Mulai dari verifikasi partai politik (parpol), pedaftaran parpol peserta pemilu, hingga rekapitulasi suara dihentikan di tingkat kecamatan dengan alasan istem Rekapitulasi Suara Pemilu 2024 atau Sirekap eror.

4 Pelanggaran Berat

Lebih lanjut, berdasarkan 19 jenis pelanggaran yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada empat pelanggaran tergolong sangat berat yang mestinya bisa mendiskualifikasi paslon tertentu. Pertama, lebih dari 2.000 kasus intimidasi menurut laporan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

“Ini peristiwa yang tak bisa dimaafkan. Jangankan ribuan, satu pun ini tidak bisa dimaafkan. Saya kira belum satu kasus naik ke pengadilan,” tukas Ray.

SIMAK JUGA :  Mark Minta Maaf, Rugi Rp 99 Triliun Akibat WhatsApp, Facebook, dan Instagram Tumbang

Kedua, lebih dari 2.000 kasus rekapitulasi antara suara sah dengan tidak sah tidak sinkron.

Ketiga, dugaan mobilisasi pemilih.

Keempat, hampir 1.000 kasus orang yang sama mencoblos lebih dari dua kali.

“Dengan meningkatnya manajemen keuangan, teknologi dan melibatkan tim adhoc dalam pemilu, pelanggaran ini dianggap hal biasa. Ini jelas buruk. Kalau terjadi pada tahun 1999 dan 2004 bisa dipahami karena teknologi tidak secanggih sekarang, dan belum ada e-KTP waktu itu. Tapi ini terjadi di era e-KTP. Jangankan ribuan, ratusan saja tidak boleh ditoleransi,” tegasnya.

Pada kesempatan itu, Ray mengatakan bahwa Bawaslu perlu dievaluasi. Sebab, lembaga pengawas pemilu ini mengelola anggaran besar namun kinerjanya minim. Oleh karena itu, ujarnya, bila hendak menghemat anggaran pemilu, maka yang dihemat adalah anggaran Bawaslu, bukan 1 atau 2 dua putaran penyelenggaraan pemilu presiden.

“Ada yang mengusung satu putaran agar menghemat dana pemilu. Kalau mau hemat dana lebih baik Bawaslu direvisi. Lebih dari Rp40 triliun dana untuk Bawaslu, tetapi kinerjanya tidak lebih hebat dari Dirty Vote,” tambah Ray.

Indentifikasi ANFREL

Melansir keterangan tertulis pada 13 Februari lalu, ANFREL mengidentifikasi masalah-masalah politik dan hukum menjelang pencoblosan.

Hal paling signifikan adalah keputusan MK yang menetapkan pengecualian terhadap usia minimum yang sah bagi Capres dan Cawapres.

Perubahan aturan tersebut memungkinkan pejabat yang lebih muda dengan pengalaman menjabat pada tingkat pemerintahan daerah untuk mencalonkan diri.

Hal lain adalah distribusi bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan sosial (Bansos) melalui berbagai program. Sehingga menimbulkan spekulasi tentang potensi dukungan strategis bagi pencalonan Gibran, serta perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dan hak-hak kelompok rentan.

Editor : Awaluddin Awe

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *