Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Selain Pilar Demokrasi, Pers Juga Bermain Dalam Politik

  • Bagikan
Satrio Arismunandar

HARIANINDONESIA.ID – Pers bukan sekadar salah satu pilar demokrasi, tetapi ia juga ikut bermain di wilayah politik pada sistem demokrasi tersebut.

Demikian Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, Satrio Arismunandar dalam diskusi di tentang kondisi pers di era demokrasi, Kamis, 22 Februari 2024 malam di Jakarta.

Diskusi itu dielenggarakan oleh SATUPENA, yang diketuai penulis senior Denny JA.

Selain Satrio Arismunandar selaku pembicara kunci, diskusi tersebut menghadirkan nara sumber utama yang juga wartawan senior Wina Armada Sukardi.

Menurut Satrio, jika melihat kasus di Indonesia, di zaman Orde Lama, banyak media berafiliasi dengan partai politik, yang menganut ideologi berbeda.

Ada PKI, PSI, PNI, NU, dan berbagai partai politik pada masa itu. Mereka memiliki media sendiri, yang menyuarakan ideologi dan kepentingannya, tutur Satrio.

“Bisa disimpulkan bahwa pers atau media bukanlah sekadar pilar keempat demokrasi, seperti yang sering dikatakan para akademisi. Tetapi media juga ikut berperan dalam politik,” katanya.

Ia berpendapat, peran media sebagai salah satu pemain politik di Indonesia itu juga terjadi pada era sekarang, khususnya pada Pemilu 2014, 2019, dan 2024.

“Secara ideologi, perbedaan antarpartai sekarang ini tidak setajam seperti era zaman Presiden Soekarno. Kecuali PKS yang agak khusus, secara ideologi sebenarnya PDIP, Golkar, Gerindra, dan Nasdem itu sama saja,” ujarnya.

Tetapi, tambahnya, hal itu bukan berarti media tidak dimanfaatkan sebagai alat politik kepentingan. Faktanya, beberapa pemimpin partai politik adalah juga pemilik media besar, termasuk memiliki surat kabar, stasiun TV, dan media online.

“Media itu lalu tanpa ragu digunakan sebagai alat kampanye, untuk mendukung pemenangan partai, calon presiden, ataupun agenda politik lain yang menjadi kepentingannya,” ujarnya.

SIMAK JUGA :  Limbah B3 PLTU Ombilin Teratasi Berkat Kerjasama Dengan PT GTC

“Jika media atau pers mau difungsikan untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, situasinya sedikit rumit. Kita perlu bertanya dulu, media yang mana dan media yang bagaimana?” ujarnya.

Ia menambahkan, situasi semakin diperumit dengan perkembangan pesat media sosial, yang berlimpah informasi. Entah informasi yang betul-betul bernilai penting, maupun informasi sampah.

“Pers atau media mainstream seharusnya menjadi acuan informasi dalam sistem demokrasi. Tetapi ironinya, masyarakat justru lebih sering mengunyah informasi dari media sosial daripada media mainstream,” tuturnya. (K) ***

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *