Anwar Usman Bebas Tugas, Masuk Gugatan Baru Syarat Usia Capres-Cawapres ke Mahkamah Konstitusi

  • Bagikan

Ilustrasi foto berkaitan dengan keputusan MK Nomor 90 yang meloloskan putra sulung Presiden Jokowi menjadi Cawapresnya Prabowo Subianto. (Foto : kredit Tempo)

Jakarta, Harianindonesia.id – Pasca pembacaan keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang mencopot Anwar Usman dari Ketua MK dan memberikan peringatan terhadap 9 hakim yang terlibat dalam Keputusan Nomor 90, masuk gugatan baru terhadap syarat capres-cawapres yang sudah diputuskan MK.

Seperti dilaporkan situs berita detikcom, gugatan ini diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana.

Untuk itu, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang soal syarat usia capres-cawapres di bawah 40 tahun tersebut.

“Jadwal sidang Rabu, 8 November 2023, pukul 13:30 WIB. Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023. Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,” demikian keterangan jadwal sidang MK yang dikutip dari website MK, Selasa (7/11/2023).

Brahma memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah. Tidak disebutkan apakah MK akan memutus langsung permohonan itu atau mengambil jeda hari untuk menggelar sidang lagi.

“Agenda sidang Pemeriksaan Pendahuluan I,” ujarnya.

Brahma didalam gugatan menyebutkan berharap hanya gubernur yang belum berusia 40 tahun yang bisa maju capres/cawapres dan tidak berlaku untuk kepala daerah di bawah level gubernur.

“Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20l7 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 90/PUU-XXV2A23 terhadap frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’ bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi’. Sehingga bunyi selengkapnya ‘Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi’,” demikian bunyi permohonan Brahma.

Salah satu alasan pengajuan gugatan itu adalah latar belakang putusan MK yang membuat pro-kontra.

“Terdapat persoalan konstitusionalitas pada frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’. Di mana tidak terdapat kepastian hukum pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Sehingga timbul pertanyaan, apakah hanya hanya pada Pemilihan Kepala Daerah tingkat Provinsi saja? Atau juga pada Pemilihan Kepala Daerah tingkat kabupaten/kota? Atau pada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten kota? Demikian pula pada pemilu pada pemilihan DPR saja? Atau pada tingkat DPRD tingkat Provinsi saja? Atau kabupaten/kota saja? Atau pada kesemua tingkatannya yakni DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota?” tanya Brahma, yang memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa.

Viktor berharap MK memutus dengan cepat.

“Permohonan 141/2023 adalah solusi bagi MK untuk memperbaiki Kekeliruan dalam Amar Putusan 90/2023 yang menimbulkan polemik yang dapat menjatuhkan kepercayaan publik ke MK artinya melalui Perkara 141/2023 MK dapat memperbaiki kekeliruan dalam amar putusan 90/2023. Artinya MK pun dapat memutus secara cepat karena permohonan 141/2023 adalah putusan utk mengkoreksi putusan 90,” kata Viktor.

Permintaan agar Majelis MKMK membuka peluang untuk mengubah keputusan MK no 90 PUU-XXI/2023 juga disampaikan oleh Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud Arsjad Rasjid.

Alasannya, putusan MKMK membuktikan bahwa Ketua MK Anwar Usman mengakomodir kepentingan keluarga dalam putusan MK No 90/PUU-XXI/2023.

Sebab skandal etika hakim MK ini, kata Arsjad, telah memicu krisis demokrasi di Indonesia. Dalam beberapa Minggu ini awan hitam menutupi langit hukum di Indonesia.

“Putusan MKMK mengafirmasi pelanggaran berat yang dilakukan para Hakim MK dalam memutuskan perkara batas usia cawapres,” kata Ketua TPN Ganjar-Mahfud, Arsjad Rasjid di konferensi pers terkait Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 7 November 2023.

MKMK Tak Bisa Ubah Putusan 90

Tetapi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan tidak bisa mengubah putusan Nomor 90/PUU-XXI.2023 meski Ketua MK Anwar Usman dan delapan hakim konstitusi lain terbukti melanggar etik.

Putusan dimaksud adalah soal batas usia capres-cawapres yang memasukkan norma baru yakni memperbolehkan orang di bawah 40 tahun untuk mendaftarkan diri sebagai kandidat di pilpres asal sudah memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. Putusan itu dinilai sarat kepentingan karena meloloskan anak Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka ke Pilpres 2024.

Dalam kesimpulan, Jimly menjelaskan MKMK tidak berwenang mengubah putusan tersebut dengan pertimbangan keputusan MK bersifat final dan mengikat.

“Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11) petang.

Pernyataan Jimly menanggapi laporan pakar hukum tata negara Denny Indrayana atas dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi.

Dalam laporannya, Denny Indrayana menilai seandainya MKMK menjatuhkan sanksi kepada Anwar Usman maka hal itu berimplikasi terhadap keabsahan putusan Nomor 90/PUU-XXI.2023.

SIMAK JUGA :  Diserang Buta Politik, Audy Joinaldy : Saya Sama Dengan Sandiaga Uno

Oleh karena itu, MKMK seharusnya berwenang memerintahkan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perbaikan terhadap putusan MK tersebut.

Dalam laporannya, Denny menganalogikan putusan MK itu dengan putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi etik terhadap penyelenggara pemilu yang disertai perintah perbaikan (koreksi) putusan untuk dilaksanakan penyelenggara pemilu dengan putusan MK yang seharusnya juga dapat memerintahkan MK untuk melakukan perbaikan putusan Nomor 90/PUU-XXI.2023.

“Bahwa dalam dalil pelapor Denny Indrayana di atas MKMK berpendapat bahwa dalil tersebut tidak tepat. Hal-hal yang menjadi alasan adalah keputusan KPU sebagai penyelenggara pemilu bersifat konkrit sementara putusan MK merupakan putusan lembaga peradilan yang mengadili norma yang bersifat abstrak dengan putusan yang bersifat final dan mengikat serta berlaku erga omnes,” kata Jimly.

“Oleh karena itu, tidak tepat apabila pelapor memadankan putusan DKPP terhadap keputusan KPU dengan putusan Majelis Kehormatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi,” tambahnya.

Selain itu, dalam pertimbangannya, Jimly menilai permintaan Denny Indrayana untuk melakukan penilaian antara lain berupa pembatalan, koreksi atau meninjau kembali terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No 90/PUU-XXI/2023, tidak beralasan menurut hukum.

Selanjutnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memerintahkan Wakil Ketua MK Saldi Isra memimpin penyelenggaraan pemilihan pengganti Ketua MK Anwar Usman.

“Memerintahkan wakil ketua MK dalam waktu 2×24 jam sejak putusan ini selesai diucapkan memimpin pemilihan pemimpin yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Jimly di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11).

Jimly mengatakan Anwar tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatan hakim terlapor sebagai hakim konstitusi berakhir.

Anwar diberikan sanksi pencopotan dari ketua MK karena dianggap terbukti melanggar kode etik.

Jimly mengatakan putusan itu diambil setelah MKMK memeriksa Anwar. Selain itu, MKMK juga telah mengumpulkan beberapa bukti dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

Anwar dilaporkan ke MKMK atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Dari 21 laporan yang masuk ke MKMK, Anwar dilaporkan paling banyak

Laporan pelanggaran kode etik itu bermula ketika para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal batas usia Capres Cawapres.

MK telah mengabulkan gugatan soal syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden. MK menyatakan seseorang bisa mendaftar capres-cawapres jika berusia minimal 40 tahun atau sudah pernah menduduki jabatan publik karena terpilih melalui pemilu.

Saldi dipercaya menggelar pemilihan Ketua MK karena dalam keputusan sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menilai Hakim Konstitusi Saldi Isra tidak melanggar kode etik atas penyampaian dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam putusan MK tentang syarat minimal usia capres-cawapres.

“Hakim terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan prilaku hakim konstitusi sepanjang terkait pendapat berbeda (dissenting opinion),” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam sidang putusan MKMK di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11).

Jimly menyebut putusan ini diambil setelah melakukan pemeriksaan terhadap Saldi sebanyak satu kali. MKMK juga telah mengumpulkan fakta dan bukti terkait persidangan.

Wakil Ketua MK Saldi Isra dilaporkan ke MKMK karena memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan syarat batas usia capres-cawapres.

Saat membacakan pendapat berbeda Saldi mengaku bingung dengan putusan perkara permohonan uji materiel soal batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

“Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini,” ujar Saldi saat menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam sidang putusan di Gedung MKRI, Jakarta, Senin (16/10).

Putusan yang dimaksud adalah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Putusan itu diwarnai dissenting opinion oleh 4 hakim konstitusi, salah satunya Saldi.

“Saya melaporkan Prof Saldi Isra. Inti pelaporan karena bentuk dissenting opinion-nya tidak sesuai dengan hukum acara, dan tidak menelisik pada pokok perkara,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP Arun) saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (20/10).

Nama Saldi Isra dinominasi bakal menjadi calon Ketua MK beberapa hari sebelum digelarnya persidangan MKMK. Alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang ini dinilai memenuhi persyaratan dan credible menjadi Ketua MK. (*)

Awaluddin Awe, dari berbagai sumber

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *