76 Tahun Indonesia Merdeka ; Misteri Teks Proklamasi dan Testamen Soekarno untuk Tan Malaka

  • Bagikan

Tan Malaka (kanan) mendampingi Presiden Soekarno pada 19 September 1945 di lapangan Ikada. Ratusan ribu rakyat mengelu-elukan Soekarno. Rapat raksasa ini digagas Tan Malaka untuk menunjukkan kepada dunia internasional Indonesia telah merdeka. (Foto Dokumentasi Dr. Harry Poeze)

JAKARTA – Teks proklamasi autentik ternyata sempat hilang setelah berperan penting menjadi tonggak sejarah baru bagi Indonesia.

Teks yang turut mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan itu hilang selama belasan tahun, setelah dibacakan sang proklamator Soekarno di Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta pada 17 Agustus 1945.

Dalam buku 17-8-45: Fakta, Drama, Misteri (2015) yang ditulis Hendri F Isnaeni, Sayuti Melik menyatakan bahwa penanda keautentikan naskah proklamasi ialah tulisan “Atas Nama Bangsa Indonesia”

Sementara itu, yang banyak beredar sebelumnya ialah teks proklamasi dengan tulisan penanda “Wakil-wakil Bangsa Indonesia”.

Teks itu baru ditemukan kembali sekitar tahun 1960. Naskah diberikan pemimpin senior Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada Presiden Soekarno.

Sebelumnya, selama belasan tahun, teks itu melanglang buana setelah tiga pekan dibacakan oleh Soekarno.

Cerita dimulai saat Soekarno bertemu dengan Tan Malaka di Jakarta. Pertemuan berlangsung di rumah dokter pribadi Soekarno pada 9 September 1945. Saat pertemuan berlangsung semua lampu dimatikan.

Beberapa hari kemudian, Soekarno bertemu lagi dengan Tan Malaka. Kali ini pertemuan berlangsung di kediaman dr Murwardi, pemimpin Barisan Pelopor di masa pendudukan Jepang.

Menurut Sayuti Melik, dalam buku tersebut, pertemuan itu membahas perjuangan Indonesia pasca-kemerdekaan.

Tan Malaka saat itu memprediksi kedatangan Belanda untuk menjajah kembali Indonesia dengan menumpang kedatangan sekutu.

Ia juga memprediksi Jakarta akan menjadi medan pertempuran sehingga ia menyarankan kepada Soekarno untuk memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pelosok, kalau perlu ke pedalaman hutan.

Karena khawatir kemungkinan itu terjadi, Soekarno lantas berkata kepada Tan Malaka, “Jika nantinya terjadi sesuatu atas diri kami, sehingga tidak dapat memimpin revolusi kita, saya harap saudaralah yang melanjutkannya, dan untuk ini saya akan membuat testamen.”

Tan Malaka tak bereaksi apa pun saat mendengar hal itu. Ia menganggap pernyataan Soekarno sebagai sebuah penghormatan.

Soekarno lantas menyampaikan niatnya untuk membuat testamen itu jika sekutu menawannya. Niat itu ia ungkapkan dalam rapat kabinet pada pengujung September. Namun, ia tak menyebut nama Tan Malaka sebagai sosok yang disebut dalam Testamen.

Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo yang menjadi penghubung antara Soekarno dan Tan Malaka jelas mengetahui sosok yang akan diberikan mandat.

Perbincangan ihwal testamen baru berlanjut setelah Inggris mendarat. Situasi itu semakin mendesak Soekaerno untuk membuat testamen. Soekarno kembali bertemu dengan Tan Malaka.

Pertemuan berlangsung di rumah Ahmad Subardjo dan dihadiri pula oleh Iwa Kusumasumantri, dan Gatot Taroenamihardjo. Mereka sepakat menunjuk Tan Malaka sebagai ahli waris revolusi jika Soekarno dan Mohamad Hatta ditangkap sekutu.

Namun, di kemudian hari, M Hatta tak setuju ihwal penunjukan itu karena hanya satu orang yang diberi mandat. Hatta juga menginginkan Sutan Sjahrir dimasukan sebagai penerima mandat.

Ahmad Subardjo lantas protes karena semua penerima mandat ialah orang Minang. Subardjo pun meminta Wongsonegoro SH dimasukan pula ke dalam daftar penerima mandat.
Terakhir, Soekarno mengusulkan nama Iwa sebagai perwakilan dari suku Sunda.

Namun, ada pula yang mengatakan keempat nama pemberi mandat bukan dipilih berdasarkan suku, melainkan ideologi.

Soekarno lalu meminta Tan Malaka menyusun kata-kata untuk Testamen. Setelah semuanya sepakat dengan isinya, testamen langsung diketik Subardjo.

Tan Malaka lantas membawa testamen tersebut dalam sebuah amplop. Setelah itu ia pergi berkeliling jawa.

Ternyata di dalam amplop tempat testamen, tersimpan pula teks proklamasi asli yang diketik Sayuti Melik. Teks proklamasi asli pun terkatung-katung bersama Tan Malaka hingga ia meninggal dunia.

Kemudian, Trimurti, istri Sayuti Melik, menuturkan bahwa tokoh Partai Murba (partai yang didirikan Tan Malaka), Syamsu Harya Udaya, pada pengujung 1964 mendatanginya.

Usulan Tan Malaka itu bukan tanpa pertimbangan. Tan Malaka bukanlah orang sembarangan yang baru muncul ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Sukarno memang belum mengenal dekat Tan Malaka secara pribadi. Pertemuan Sukarno dengan Tan Malaka adalah pertemuan gagasan.

Tan Malaka Inspirasi Soekarno

Di masa mudanya, Sukarno adalah pembaca buku-buku Tan Malaka. Dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946, sejarawan Harry Poeze menuliskan bahwa Sukarno mengenal risalah politik Tan Malaka sejak 1920an, lewat dua karya Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia dan Massa Actie.

“Terutama risalahnya yang kedua telah sangat berpengaruh pada pemikiran politik Sukarno, maka ketika pada tahun 1931 Sukarno diadili karena tuduhan menghasut pemberontakan, dalam vonis disebut referensi berkali-kali pada Massa Actie yang sangat penting baginya,” tulis Poeze

Dalam pertemuan itu, Soekarno memulai, “Dalam buku Massa Aksi, rupanya saudara (Tan Malaka) anggap sifatnya imperialisme Inggris ada di antara imperialisme Belanda dan imperialisme Amerika,” katanya.

Tan Malaka lalu memaparkan buku yang ditulisnya tahun 20-an itu. Namun hanya pada pembukaan dan penutupnya saja. Soekarno yang mengenal baik pemikiran Tan Malaka akhirnya merasa yakin.

Dalam percakapan itu, Sajoeti Melik hadir sebagai saksi. Perbincangan antara murid dengan guru itu ditutup dengan pemberian penghormatan yang sangat tinggi oleh Presiden Soekarno terhadap Tan Malaka.

“Kalau saja tiada berdaja lagi, maka kelak pimpinan revolusi akan saja serahkan kepada saudara,” demikian Soekarno, kepada Tan Malaka.

Perbincangan selanjutnya tentang arah revolusi Indonesia yang dalam bahaya. Dalam uraiannya, Tan Malaka banyak memaparkan analisanya dengan tajam. Dia meminta pemerintahan ditarik ke pedalaman.

Menurutnya, dalam waktu dekat akan terjadi perang besar di Jakarta. Analisa Tan Malaka ini membuat Soekarno cemas dan khawatir dirinya akan tersingkir. Dia lalu meminta Tan Malaka menggantikannya.

SIMAK JUGA :  Ganjar Pranowo Desak Pemerintah Gerak Cepat Tuntaskan Kasus Rempang

Demikian pertemuan selama beberapa jam itu akhirnya berakhir. Kedua pemimpin bangsa itu lalu membubarkan diri. Beberapa hari kemudian, kedua pemimpin itu kembali bertemu dan membahas hal serupa.

Pertemuan kedua ini dilangsungkan di rumah dokter Moewardi, di Jalan Mampang, Jakarta. Berbeda dengan pertemuan pertama yang berlangsung malam hari, pertemuan kedua dilangsungkan siang hari.

Dalam pertemuan itu, Tan Malaka kembali didampingi Sajoeti Melik. Saat perbincangan berlangsung, Soekarno yang masih diliputi perasaan cemas dan khawatir, kembali mengutarakan permintaannya.

Saat menanggapi permintaan Presiden Soekarno yang kedua, sikap Tan Malaka masih sama dengan yang pertama. Dia menganggap, permintaan Soekarno itu sebagai penghormatan terhadap dirinya saja.

“Usul memimpin revolusi tadi saya anggap sebagai satu kehormatan saja dan sebagai satu tanda kepercayaan dan penghargaan Bung Karno kepada saya,” terang Tan Malaka, menanggapi permintaan Soekarno.

Ternyata, Soekarno serius dengan permintaannya. Pada 30 September 1945, Soekarno kembali bertemu dengan Tan Malaka. Pertemuan saat itu dilangsungkan di rumah Subardjo, di Cikini No 77, Jakarta.

Saat Soekarno tiba, di rumah itu sedang berkumpul dua orang pemimpin pergerakan Iwa Kusuma Sumantri dan Gatot Taroenamihardjo. Mereka lalu merumuskan surat wasiat Presiden Soekarno untuk Tan Malaka.

Surat wasiat Presiden Soekarno untuk Tan Malaka itu juga dikenal dengan testamen politik untuk Tan Malaka. Surat ini berisi penyerahan kekuasaan pemerintahan Soekarno dan Hatta, kepada Tan Malaka.

Setelah dirumuskan, Soekarno dan Subardjo membawa surat wasiat itu kepada Hatta, untuk diperiksa kembali. Saat mengetahui surat itu berisi penyerahan kekuasaan kepada Tan Malaka, Hatta menolaknya.

“Kenapa tidak bicara dahulu kepada saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu Tan Malaka,” sergah Hatta, saat ditemui Presiden Soekarno.

Hatta tidak mau menandatangani rumusan surat itu, karena penyerahan kekuasaan hanya kepada Tan Malaka seorang. Dia lalu mengusulkan agar nama-nama lainnya dimasukkan untuk mencegah perpecahan.

Menurut Hatta, nama-nama itu harus mewakili aliran politik besar saat itu, seperti Sutan Sjahrir yang mewakili aliran politik kiri tengah, Wongsonegoro kelompok kanan feodal, dan Sukiman kelompok Islam.

Usul Hatta disetujui Presiden Soekarno, lalu dibahas kembali dengan Tan Malaka di rumah Subardjo. Saat dilakukan pembahasan, Sukiman yang mewakili kelompok Islam digantikan Iwa Kusuma Sumantri.

Hatta yang hadir di rumah Subardjo menjelaskan, di kelompok kiri nama Tan Malaka dikenal sangat kontroversial. Dia bahkan tidak disenangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dahulu pernah dipimpinnya.

Kepada Tan Malaka, Hatta juga mengusulkan agar dia keliling Jawa dan memperkenalkan dirinya kepada rakyat sambil mengukur seberapa besar pengaruhnya terhadap rakyat. Usul Hatta ini diterima Tan Malaka.

Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, surat wasiat itu diketik dan ditandatangani oleh Soekarno-Hatta, pada 1 Oktober 1945. Berikut petikan surat wasiat yang berisi penyerahan kekuasaan Soekarno-Hatta:

“Sjahdan datanglah saatnja buat menentukan ke tangan siapa akan ditaruhkan obor kemerdekaan, seandainya kami tiada berdaja lagi akan meneruskan perjuangan kita di tengah-tengah rakjat sendiri.”

“Maka kami putuskanlah, bahwa pimpinan perdjuangan kemerdekaan kita diteruskan oleh sdr2: Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, Sjahrir, Wongsonegoro. Hidup Republik Indonesia!” demikian wasiat itu.

Sejak surat wasiat itu ditanda tangani, Tan Malaka pergi meninggalkan Jakarta untuk keliling Jawa. Selama dalam perjalanan, Tan Malaka tidak pernah menggunakan identitas aslinya di hadapan khalayak umum.

Tan Malaka juga tidak pernah memperlihatkan surat wasiat Presiden Soekarno yang dibawanya. Namun, upaya untuk menjatuhkan citra baik Tan Malaka di kalangan rakyat terus dilakukan lawan politiknya.

Kisruh surat wasiat itu ditandai dengan munculnya testamen palsu yang menyatakan penyerahan kekuasaan dari Soekarno-Hatta hanya kepada Tan Malaka, tanpa menyebut ketiga pemimpin politik lainnya.

Selain beredarnya testamen palsu, muncul juga kabar Tan Malaka menggunakan testamen palsu untuk menipu orang-orang berpengaruh yang berhasil ditemuinya saat melakukan perjalanan keliling Jawa.

Kepada para pembesar itu, dikatakan bahwa Tan Malaka menyebarkan isu Soekarno-Hatta telah menjadi tahanan Inggris di Jakarta, dan sesuai surat wasiat yang dipegangnya, maka dia yang memimpin revolusi.

Saat situasi mulai kacau dan tidak terkendali, Soekarno-Hatta yang telah berada di Yogyakarta sejak 4 Januari 1946, akhirnya memutuskan untuk keliling Jawa melakukan propaganda pada bulan Desember 1946.

Dalam propagandanya, kedua proklamator kemerdekaan Indonesia itu menyatakan bahwa penangkapan Soekarno-Hatta oleh tentara Inggris di Jakarta tidak benar, dan pusat pemerintahan ditarik ke Yogyakarta.

Penarikan pusat pemerintahan dari pusat ke daerah, jauh sebelumnya telah diungkapkan Tan Malaka kepada Soekarno, saat pertama kali mereka bertemu di rumah dokter pribadi Soekarno, Jalan Kramat Raya.

Saat konflik antara kelompok Tan Malaka dan yang kontra testamen semakin runcing, SK Trimurti datang menemui Soekarno bersama Sjamsu Harja Udaja. Dia mengaku memiliki testamen politik yang asli.

Surat wasiat itu lalu diberikan kepada Soekarno, dan dirobek-robek kemudian dibakar. Pemusnahan testamen politik untuk Tan Malaka itu disaksikan langsung oleh Trimurti dan Sjamsu, di Istana Soekarno.

“Akhirnya kepercayaan yang tak pernah diumumkan itu dengan cara yang gelap dan samar dan rendah telah dikatakan sebaliknya?” demikian keterangan Adam Malik melukiskan wasiat Tan Malaka itu.

Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang salah satu peristiwa penting yang terjadi di masa-masa awal revolusi kemerdekaan Indonesia. Semoga memberikan manfaat.

Sumber tulisan
Harry A Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946, Buku Obor-KILTV Jakarta, Jakarta 2008.
Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara Bagian Tiga, Teplok Press, Juli 2000.
Salman Alfarizi, Mohammad Hatta, Biografi Singkat 1902-1980, Garasi, Cetakan III 2010.
Adam Malik, Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Widjaya Jakarta, cetakan ketujuh 1982.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *