Ganjar Pranowo Desak Pemerintah Gerak Cepat Tuntaskan Kasus Rempang

  • Bagikan

GANJAR PRANOWO

JAKARTA (Harianindonesia.id) – Calon Presiden Ganjar Pranowo memberikan perhatian serius terhadap permasalahan investasi di Pulau Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri) yang sempat memicu konflik sosial.

Ganjar mendesak Pemerintah agar bergerak cepat dalam mengatasi sengkarut investasi yang melibatkan pengusaha asal China dengan masyarakat Melayu Rempang Galang, Batam.

“Jangan lama lama. Harus diselesaikan dengan secepatnya. Apalagi bagi aparat. Ya harus bisa menyelesaikannya dengan cepat,” kata Ganjar kepada wartawan di Jakarta, Ahad (17/9/2023).

Kata Ganjar. Pemerintah harus segera memanggil aktor yang berkaitan dengan konflik sosial di Rempang Galang itu, termasuk Pemerintah darah dan pihak terkait dengan masalah Rempang itu.

Selain itu, pemerintah juga harus memanggil representasi dari masyarakat Rempang. Sebab mereka juga harus didengar pendapatnya.

“Jadi apapun alasannya. Mereka mereka yang terkait dengan masalah Rempang harus segera dipanggil untuk dituntaskan akar persoalannya.” ungkap mantan Gubernur Jawa Tengah ini.

Terkait dengan keterlibatan aparatur pemerintah dalam permasalahan investasi di Rempang ini harus segera menyelesaikannya secara cepat. Sebab mereka lebih mengetahui permasalahan di lapangan.

Munculkan Konflik Sosial

Ganjar dimintakan pendapatnya soal rencana investasi di Pulau Rempang yang berujung konflik sosial.

Sempat terjadi baku hantam antara masyarakat dengan aparat penegak hukum pada 7 September lalu, dan aksi demo masyarakat ke kantor BP Batam pada tanggal 11 September lalu yang mengakibatkan kaca kantor BP Batam hancur dan sejumlah aparat Polri, Satpol PP Batam dan keamanan BP Batam terluka akibat lemparan batu para pendemo.

Ribuan warga Melayu dari Rempang Galang melanjutkan aksi demo ke Gedung BP Batam, Senin (11/9), menyampaikan penolakan pemindahan warga dari kawasan Rempang Galang yang akan dijadikan proyek strategis nasional.

Pemerintah berencana membangun kawasan Rempang Eco City melalui oleh Perusahaan pengembang PT Mega Elok Graha (MEG) yang diduga anak perusahaan Tomy Winata bekerjasama dengan perusahaan asal China, Xinyi.

Konflik sosial ini memancing sentimen sejumlah kalangan. Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso meminta Polri jangan membantah ada korban luka termasuk anak-anak dalam bentrokan antara warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau, dengan aparat keamanan.

“Penolakan adanya fakta korban sangat kontraproduktif untuk memperbaiki citra Polri. IPW mendapatkan data adanya korban tersebut dan juga pengakuan-pengakuan korban,” kata Sugeng, Sabtu, 9 September 2023.

Sebelumnya Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan juga membantah ada korban luka baik dari warga maupun aparat. Ia membantah ada beberapa siswa pingsan dan bayi meninggal. Menurut Ramadhan, tembakan gas air mata hanya mengakibatkan gangguan untuk sementara.

“Tindakan pengamanan oleh aparat kepolisian dengan menyemprotkan gas air mata ketiup angin sehingga terjadi gangguan pengelihatan untuk sementara. Dan pihak Polda Kepri sudah membantu untuk membawa ke tim kesehatan,” ujar Ramadhan di Bareskrim, Jumat, 8 September 2023.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan protes warga direspons dengan aparat kekuatan berlebihan, seperti pentungan dan gas air mata. Tindakan ini bukan hanya membahayakan orang dewasa, namun juga anak-anak sekolah yang sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas.

“Sulit untuk membenarkan bahwa gas air mata memasuki area sekolah karena tertiup angin. Tindakan eksesif ini jelas merendahkan harkat dan martabat manusia yang diakui hukum internasional dan hukum nasional,” kata Usman, Jumat, 8 September 2023.

Amnesty International Indonesia bersama LBH Pekanbaru, YLBHI dan WALHI mencatat pada Kamis, 7 September 2023, sejak pagi hingga siang, terjadi kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat Polda Kepulauan Riau terhadap masyarakat di Pulau Rempang-Galang, Batam.

Reevaluasi Rempang Eco City

Dari Batam, sejumlah tokoh masyarakat meminta pemerintah pusat perlu mengevaluasi kebijakan rencana investasi di Pulau Rempang Galang.

Tindakan Reevaluasi itu, kata Taba Iskandar, Mantan Ketua DPRD Batam tahun 20024, terkait dengan status kepemilikan tanah masyarakat yang tidak masuk dalam kewenangan BP Batam.

Di dalam keputusan Pemerintah, tanah masyarakat seluas kl.1.000 hektar masuk dalam lahan yang harus diserahkan kepada PT Mega Elok Graha (MEG) anak perusahaan Tomy Winata. Padahal tanah di 16 kampung tua sudah mereka tempati sejak satu abad lalu dari para leluhur mereka.

Dan, satu hal perlu menjadi perhatian pusat, tegas Taba lagi, bahwa tanah yang ditempati masyarakat di 16 kampung tua itu, bukan lokasi rumah liar (Ruli) yang bisa dikosongkan BP Batam secara seketika.

“Nah dari data ini, saya memandang penting pemerintah pusat agar melakukan reevaluasi terhadap rencana investasi di kawasan Rempang itu,” paparnya.

Selain itu, dia juga menyoroti kebijakan BP Batam yang telah menyiapkan tanah untuk relokasi dari semula 200 dan 500 meter per KK. Dan kemudian akan dibangunkan rumah semi permanen seluas 45 meter persegi di luar kawasan yang akan dibangun, serta tunjangan selama proses pembangunan rumah sebesar Rp1 juta lebih setiap bulan.

SIMAK JUGA :  Bantah Terima Rp 96 Miliar dari KPK, Kurnia Ramadhana : Hanya Rp 1,4 Miliar

Menurut Taba, pihak BP Batam dan Pemko Batam tidak mempunyai hak untuk melakukan konvensasi seperti itu. Sebab tanah di Rempang Galang bukan otoritas BP Batam, karena belum mengantongi Hak Penggunaan Lahan (HPL) dari Kementerian Agraria dan BPN.

“Status tanah di Rempang dan Batam amat berbeda. Kalau di Batam tanahnya memang sudah di PL-kan kepada pihak BP Batam. Tetapi di Rempang belum, makanya perlu kerjasama dengan Pemko Batam. Namun dalam kerjasama itu tidak boleh juga mengobankan rakyat,” ujar Taba.

Taba meminta apapun yang akan dilakukan pemerintah, termasuk soal PSN sekalipun, jangan terkesan memaksakan kehendak kepada masyarakat. Dia meminta pemerintah mendiskusikan dan membicarakan dengan masyarakat terlebih dahulu.

“Negara kita sekarang bukan pemerintahan Belanda dulu. Jika ada masyarakat yang menolak lalu dijadikan alasan untuk dibunuh atau dimusnahkan. Tujuan kita membentuk negara berdaulat ini adalah untuk melindungi rakyatnya,” papar Taba.

Bukan Kawasan KWTE

Taba juga mengkonfrontir dasar hukum pemberian izin investasi terbaru kepada PT MEG berdasarkan rekomendasi DPRD Batam pada saat dirinya masih menjadi ketua pada tahun 2004 lalu.

Menurut Taba, rekomendasi yang diterbitkan DPRD Batam kepada PT MEG saat itu adalah untuk membangun Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) di Rempang Pulau. Tujuan dibentuk KWTE ini adalah untuk melokalisir semua kegiatan hiburan malam dan turunannya di satu tempat, seperta Sentosa Island di Singapura dan Genting Island di Malaysia.

Namun izin KWTE ini tidak pernah bisa dikantongi PT MEG. Karena tidak lama setelah itu, Kapolri Jenderal Pol Sutanto melarang semua kegiatan bentuk perjudian. Maka secara hukum KWTE itu sudah batal.

“Nah, sekarang PT MEG akan membangun industri kaca terbesar di Rempang Galang. Sejak kapan rekomendasi DPRD Batam dipakai untuk pemberian ijin ini,” tanya Taba.

Dia mengimbau pihak BP Batam dan Pemko Batam bisa saja menjadi hamba sahaya investasi asing dan nasional di Batam. Namun dia mengingatkan agar kedua lembaga itu juga memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya.

Mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMRAH Batam, Prof. Dr. M. Syuzairi, M.Si., menambahkan bahwa 16 Kampung Tua di Rempang sesuai dengan SK Walikota Batam Nomor 105 tahun 2004 tidak masuk dalam rencana investasi PT MEG tahun 2004.

“Di dalam SK itu ditegaskan, bahwa kampung tua bersama fasilitas sosial dan umumnya tidak termasuk dalam bagian rencana investasi PT MEG. Oleh sebab itu, wajar jika mereka menolak dipaksa untuk relokasi,” ujar Syuzairi, yang juga mantan pejabat Pemko Batam melalui saluran telepon selulernya, Selasa (12/9/2023).

Menurut mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMRAH Batam, Prof. Dr. M. Syuzairi, M.Si., SK 105 tahun 2004 dipakai sebagai pengganti skema keterbatasan pihak Otorita Batam dalam mengelola lahan di Rempang Galang.

Karena pada saat rencana investasi PT MEG di Rempang Galang pihak Otorita Batam belum memiliki kewenangan atas lahan disana, maka dipakailah SK Walikota Batam untuk mengatur posisi hukum kampung tua.

Tetapi sekarang pihak BP Batam memaksa masyarakat kampung tua untuk keluar dari kawasan eco city milik Taipan Tomy Winata, kata Syuzairi berarti sudah terjadi kesalahan besar.

Menurut Syuzairi, saat Otorita Batam didirikan di Batam masih menggunakan Keppres 41 tahun 1973 dengan kewenangan hak pengelolaan lahan yang ada di Batam saat ini.

Atas kebutuhan lahan yang lebih luas untuk pengembangan kawasan industri maka Pemerintah menerbitkan Keppres 28 tahun 1992 dengan memasukan kawasan Rempang Galang dan sekitarnya sebagai wilayah tambahan Otorita Batam.

Tetapi Keppres 28 tahun 1992 bukan mutatis dan mutandis seperti pengelolaan kawasan di daerah Batam, namun harus diatur dalam peraturan Menteri Agraria.

Lalu keluarlah Peraturan Menteri Agraria nomor 9/VIII tahun 1993 tentang kesediaan hak mengelola lahan di Rempang dan Galang kepada pihak otorita Batam, dengan syarat sesuai dengan Kepmendagri 77 yang merupakan turunan Keppres 41 tahun 1973 dimana tanah, tanaman wajib diganti rugi oleh pihak Otorita Batam.

Setelah itu baru diajukan kepada BPN untuk mendapatkan sertifikat hak pengelolaan lahan. Setelah mendapatkan hak ini barulah Otorita Batam memiliki hak atas tanah Rempang Galang secara keseluruhan.

Tetapi sampai hari ini, pihak Otorita Batam masih belum memiliki sertifikat hak pengelolaan lahan di Rempang Galang. Yang baru keluar dari Kementerian Agraria adalah SK HPL Bersyarat untuk hanya beberapa ratus hektar lahan saja di Rempang Galang. Sebab kawasan hutan tidak boleh dikeluarkan HPL.

Jadi, dalam kaitan investasi di Rempang Galang saat ini seharusnya belum boleh ada kegiatan. Sebab MoU antara BP Batam dan PT MEG di Agraria beberapa waktu lalu baru bersifat kesepakatan belum bisa bersifat eksekusi. Namun harus dilakukan persyaratan clear and clean dulu terhadap lahan di Rempang Galang. (*)

Awaluddin Awe, dari berbagai sumber

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *