Pemda Simpan Dana di Bank, Cara Halus Memperlambat Pembangunan?

  • Bagikan

Oleh : Awaluddin Awe)*

Publik dikejutkan dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, pekan lalu.

Menteri terlama di kabinet Republik Indonesia ini menyebut jumlah simpanan Pemerintah Daerah (Pemda) di perbankan mencapai Rp182 triliun.

Posisi simpanan itu, naik sebesar Rp 18,38 triliun dari posisi Februari 2021 sebesar Rp 163,95 triliun.

Sri Mulyani berharap pemerintah daerah bisa mempercepat penyaluran dana.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan simpanan daerah pemerintah daerah tersebut juga naik sebesar Rp 4,81 triliun atau 2,71 persen jika dibandingkan dengan posisi Maret 2020.

Saat itu, simpanan pemerintah daerah pada perbankan sebesar Rp 177,52 triliun.

“Kami harapkan APBN bisa segera dibelanjakan, ini ironi,” ujarnya saat konferensi pers APBN Kita, seperti dikutip Jumat (23/4).

Sri Mulyani berharap pemerintah daerah bisa mempercepat penyaluran dana. Maka demikian, simpanan dana pada perbankan bisa menurun.

Berdasarkan hitungannya, saldo rata-rata akhir tahun pemerintah daerah pada perbankan selama tiga tahun terakhir sebesar Rp 96 triliun.

Sedangkan realisasi belanja dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) hanya Rp 98,9 triliun per Maret 2021. Angka itu setara 9,4 persen dari target APBD.

Kemudian realisasi pendapatan sebesar Rp 139,99 triliun per Maret 2021. Artinya, penerimaan daerah baru 14,2 persen dari target APBD.

“Seharusnya pemda bisa sama seperti pemerintah pusat lakukan belanja lebih cepat, sehingga bisa memulihkan ekonomi Indonesia dan manfaat ke masyarakat bisa dirasakan,” ucapnya.

DISEBABKAN PEMDA MAIN UANG

Mengapa simpanan Pemda di perbankan sebegitu besar? Salah satu sebabnya adalah, Pemda bertindak sebagai pemilik dana yang berpikir memdapatkan bunga uang, dengan alasan menambah pemasukan asli daerah.

Cara berpikir seperti ini sebenarnya melukai hati nurani rakyat. Dana yang seharusnya diputar cepat dan segera masuk ke kocek rakyat, malah dikapitalisasi untuk mengejar target bunga yang tidak juga besar, dibandingkan hasil perputaran uang terhadap masyarakat.

Kurenah ini bukan hal baru. Sudah berlangsung sejak lama. Pihak perbankan juga suka dengan sikap Pemda menahan dananya lama di bank.

Sebab, selain mendapatkan dana murah, bank juga bisa menjual mahal dana pemda tersebut ke pasar uang dan perbankan.

Selain itu, perbankan juga bisa tetap menjaga posisi dana pihak ketiganya tetap stabil berdasarkan ketentuan Bank Indonesia.

Bahkan, dengan ada dana Pemda itu, perbankan juga tidak usah repot repot amat menggaet nasabah baru.

Toh, cadangan dana pihak ketiga dalam bentuk giro, deposito, malahan tabungan, dari Pemda sudah cukup membuat aman struktur dana pihak ketiga di perbankan

Sebagai diketahui, bahwa peranan dana pihak ketiga adalah sangat penting untuk membentuk struktur pembiayaan kredit di perbankan.

Semakin murah bank mendapatkan dana pihak ketiga, maka semakin besar perolehan keuntungan bank, saat menjual dana itu kepada penerima kredit.

Itu pulalah makanya, diantara Pemda dan perbankan terkesan seperti ‘ada main mata’ untuk memperpendek atau memperpanjang simpanan daerah di satu bank.

Tetapi yang selalu diuntungkan oleh situasi ini adalah bank daerah, kalau di Sumbar sekarang namanya Bank Nagari.

MERUSAK PERTUMBUHAN DAERAH

Tetapi cara cara dan praktik pengelolaan simpanan daerah diperbankan ini akan merusak pertumbuhan daerah.

SIMAK JUGA :  Membaca Strategi Negara Penghasil Minyak : OPEC Alami Lost US$300 Miliar (Part II)

Dimana rusaknya? Seperti sama diketahui pembangunan itu membutuhkan dana segar.

Didalam pemerintah daerah, anggaran pembangunan itu berasal dari pengadaan barang dan jasa.

Seperti umumnya, anggaran pembangunan daerah ini bisa mencapai sepertiga dari dana APBD.

Nah, dana sepertiga ini yang sering dimainkan Pemda dalam bentuk doposito berjangka, maksimal enam bulan, tetapi pada satu waktu bisa dicairkan.

Bagaimana cara Pemda memainkan dana pembangunan itu, salah satu caranya dengan memperlambat pelaksaan lelang atau pengadaan barang dan jasa.

Dengan demikian dana pembangunan itu nangkring di bank, minimal tiga bulan dulu. Disitulah pemda mendapatkan bunga dari perbankan, yang secara administratif disebut sebagai pendapatan asli daerah.

Dengan tertahannya dana pembangunan itu di bank, maka secara otomatis, dana tidak masuk ke masyarakat.

Dana itu masuk ke masyarakat melalui rekanan atau kontraktor, yang membutuhkan barang pengadaan yang pada umumnya tersedia di masyarakat juga.

Turunnya dana proyek itulah, salah satunya, membuat ekonomi daerah bergerak.

Oleh sebab itu, Menkeu Sri Mulyani meminta kepada pemda agar mencairkan simpanan dananya diperbankan untuk kemudian disalurkan untuk pembangunan ekonomi daerah.

PEMBANGUNAN PADAT KERJA

Belajar dari pengalaman diatas, Bupati dan Walikota seharusnya mengubah pola keuangan daerahnya dengan mempercepat penyaluran dana pembangunan.

Untuk itu, setiap OPD diawal tahun sudah harus melakukan pelelangan pekerjaan, sehingga dana proyek bisa cepat dicairkan juga dan cepat pula masuk ke kantong rakyat.

Bahkan, jika bisa, Pemda memperbesar porsi pekerjaan yang banyak melibatkan tenaga kerja, sehingga putaran uang pun masuk ke banyak kocek rakyat.

Kebijakan ini sudah menjadi kewenangan dari bupati dan walikota, serta dapat diterapkan bagi setiap daerah.

Nah, untuk proyek skala besar bisa menggunakan dana pusat, seperti pembangunan pasar dan lapangan sepakbola, dan lainnya.

Tetapi kebijakan ini, pada satu sisi memang akan memperlemah sumbangan dana pihak ketiga pemda terhadap perbankan.

Namun hal itu tidak akan jadi masalah. Sebab dana yang sudah berputar di masyarakat pada dasarnya akan masuk lagi ke pihak perbankan.

Tetapi pekerjaan marketing bank menjadi sulit. Sebab terpaksa mengkais dana pihak ketiga dari kocek masyarakat.

Sementara selama ini, perbankan di daerah sudah dimanjakan oleh Pemda dengan penempatan dana simpanannya.

Tetapi apapun itu artinya, bulan madu pemda dan perbankan ini harus segera diakhiri.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus menempatkan kebijakan simpanan daerah dalam waktu panjang, sebagai pelanggaran administasi keuangan daerah dan akan memiliki pengaruh terhadap penilaian kinerja keuangan daerah tersebut.

Dan, jumlah simpanan pemda di perbankan dalam bentuk gelontoran besar harus segera diakhiri.

Dana daerah sudah sudah harus benar benar masuk ke masyarakat diawal tahun, sehingga ekonomi daerah bisa bergerak cepat.

Kecuali, jika nafsu makan bunga dan turunannya memang tidak bisa lagi dikendalikan.

Jika begitu, jangan bermimpi kesejahteraan masyarakat bisa kita capai, dan ini bisa berpotensi terhadap kejahatan keuangan yang berlindung dibalik produk perbankan. (*)

)*Penulis, adalah Pemimpin Redaksi Harianindonesia.id dan Wapimpred Kabarpolisi.com Jakarta

)* Berdomisili di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *