Pusat Potong Dana Transfer Daerah untuk Sumbar 2,63 Triliun, Prof Djo : Ini tidak Adil

RUMAH DINAS GUBERNUR SUMBAR (Foto : Dok)

JAKARTA – Pemerintah Propinsi Sumatera dan kabupaten/kotanya terkena pemotongan dana transfer daerah dari Pemerintah Pusat sebesar Rp2,63 triliun.

Kebijakan pemotongan dana daerah ini dipastikan menjadi pukulan keras bagi daerah Sumbar untuk menggenjot pertumbuhan ekonominya.

Menurut satu sumber di Jakarta Keputusan pemotongan dana transfer daerah bagi Pemprop Sumbar dan 19 kabupaten dan kotanya tertuang dalam surat Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan tanggal 23 September 2025 nomor S-62/PK/2025).

Dampak pemotongan terbesar dialami oleh Pemrop Sumbar sebesar Rp533 miliar.

Sementara Pemko Padang menjadi kota terbesar yang terkena pemotongan yakni sebesar Rp371 miliar.

Pemkab Dharmasraya menjadi Pemkab yang paling kecil terkena pemotongan yakni hanya Rp37,9 miliar.

Secara nasional

Pemerintah diketahui memang akan meluncurkan kebijakan pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) hingga sebesar Rp 269 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

Kebijakan ini sudah diketahui ketika Rapat Kerja antara Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Komisi II DPR RI terkait pagu alokasi anggaran Kemendagri tahun 2026, Senin (15/9/2025) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Pada rapat kerja itu juga diketahui bahwa alokasi TKD di APBN 2026, alokasi TKD tercatat hanya sebesar Rp 649,99 triliun atau menurun drastis Rp 269 triliun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Selama satu dekade terakhir, rata-rata dana transfer mencapai Rp 900 triliun per tahun. Artinya, pemangkasan ini setara dengan hampir 30% dari alokasi rata-rata tersebut.

Berdasarkan data, TKD tahun 2025 mencapai Rp919,87 triliun, dengan rincian Dana Alokasi Umum (DAU) Rp446,63 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp185,24 triliun, Dana Bagi Hasil (DBH) Rp192,28 triliun dan Dana Desa Rp71 triliun

Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp446,63 triliun secara nasional, terdiri dari:
– Bagian DAU yang tidak ditentukan penggunaannya: Rp360,51 triliun
– Bagian DAU yang ditentukan penggunaannya : Rp86,12 triliun yakni untuk dukungan penggajian formasi PPPK, pendanaan kelurahan, dan layanan publik bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum

Alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) terdiri dari :
– DAK Fisik : Rp36,95 triliun untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, penguatan daya saing usaha, dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar
– DAK Nonfisik : Rp146,68 triliun untuk mendanai operasional layanan publik terutama bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan perempuan dan anak

Sementara Dana Bagi Hasil (DBH) : Rp192,28 triliun, terdiri dari :
– DBH Pajak : Rp77,30 triliun
– DBH Sumber Daya Alam : Rp85,92 triliun
– DBH lainnya : Rp1,25 triliun untuk perkebunan sawit dan kurang bayar DBH sebesar Rp27,81 triliun.

Menuai kritik

Kebijakan Pemerintah memotong dana transfer daerah yang sangat besar menuai kritik dari berbagai kalangan. Pemangkasan ini disebut mengganggu jalannya pemerintahan daerah, melemahkan otonomi daerah, membuat buruknya pelayanan publik, dan memperlambat pembangunan di tingkat lokal.

Satu media online di Padang, Forumsumbar, mengutip Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA—Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sekaligus Presiden Institut Otonomi Daerah—dalam wawancara di Kompas TV, Selasa (16/9/2025), menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kebijakan ini.

Prof Joe, demikian Pakar Otoda ini dipanggil menyebut bahwa dalam kerangka otonomi daerah yang sehat, idealnya daerah memiliki kemampuan membiayai urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan kepadanya.

Namun, sebaliknya realita menunjukan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia—sekitar 80% dari total 546 daerah otonom—masih sangat bergantung pada dana subsidi atau transfer dari pusat.

“Jika dana transfer dikurangi secara signifikan, maka pelayanan publik akan terganggu dan perekonomian daerah melambat. Ini akan menjauhkan kita dari tujuan utama otonomi daerah, yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempercepat pelayanan publik,” ujarnya.

Djohermansyah menilai bahwa upaya daerah untuk mandiri secara fiskal dalam jangka pendek hampir mustahil. Beberapa solusi seperti:

Meningkatkan pajak dan retribusi daerah dianggap tidak realistis di tengah kondisi ekonomi rakyat yang masih sulit.

Skema kerja sama pemerintah daerah dengan badan usaha tidak bisa dibangun secara instan.

Pemanfaatan sumber daya alam juga terbatas karena tidak semua daerah memilikinya atau mampu mengeksplorasinya secara optimal.

Menurut Djohermansyah, solusi terbaik saat ini adalah menjaga keharmonisan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Ia juga mengkritik logika pemotongan yang dilakukan secara sepihak tanpa disertai pembinaan yang optimal terhadap pemerintah daerah.

“Pusat selama ini di mana? Kok tiba-tiba memotong dengan alasan belanja daerah tidak berkualitas. Bukankah menjadi tugas pemerintah pusat juga untuk membina daerah?”

Ia juga mengingatkan bahwa TKD seharusnya digunakan untuk mendukung pemerintahan daerah, bukan digantikan oleh kementerian dan lembaga (K/L) yang membangun langsung di daerah dengan orientasi program strategis nasional—yang sering kali tidak selaras dengan kebutuhan lokal.

Kritik Terhadap Keadilan Fiskal

Djohermansyah menyoroti ketimpangan dalam distribusi fiskal nasional. Satu pemerintah pusat belanjanya mencapai lebih dari Rp 2.700 triliun, sedangkan 546 daerah otonom harus pasrah menerima Rp 900 triliun yang dibagikan ke seluruh daerah otonom di Indonesia.

“Ini jelas tidak adil. Kalau kita bicara keadilan fiskal, pembagian ini seharusnya ditinjau ulang, bukan dibikin kurang. Bahkan, bisa berpotensi bertentangan dengan Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945,” tegasnya.

Ia mendorong DPR agar menggunakan hak anggaran secara lebih tegas, dan tidak membiarkan eksekutif menjalankan kebijakan pemangkasan tanpa evaluasi menyeluruh. Evaluasi anggaran kementerian dan lembaga pusat pun dinilainya perlu dilakukan, terutama untuk membatasi belanja-belanja yang bukan kebutuhan rakyat.

SIMAK JUGA :  Karyawan Telkom Meninggal Diduga Akibat Virus Corona

“Kalau mau efisiensi, jangan hanya potong dana ke daerah. Evaluasi juga anggaran kementerian dan lembaga pusat yang cenderung boros,” tutupnya.

Pemangkasan TKD dalam APBN 2026 bukan hanya persoalan teknis anggaran, melainkan berimplikasi langsung terhadap keberlanjutan otonomi daerah, kualitas pelayanan publik, dan akselerasi pembangunan. Pemerintah pusat dan DPR dituntut untuk lebih bijak, adil, serta mendengarkan suara daerah dalam merumuskan kebijakan fiskal nasional dengan menunda atau paling tidak mengurangi secara signifikan pemangkasan dana TKD pada APBN 2026.

Dikelola Pusat

Sebelumnya, Pemerintah Pusat dikabarkan akan mengelola secara langsung sejumlah kewenangan yang pernah diberikan kepada kabupaten dan kota, termasuk dalam pengelolaan anggaran pembangunan daerah.

Kebijakan ini akan diberlakukan untuk sejumlah kewenangan yang sudah diserahkan sejak Otonomi Daerah diberlakukan. Kebijakan ini akan diberlakukan mulai tahun 2026 depan.

Sebagai ilustrasi, bentuk kewenangan pusat kepada daerah yang sudah terlebih dahulu diambil alih oleh Pemerintah Pusat adalah pelaksanaan UU Cipta Kerja.

“Tetapi ini bukan berarti Otonomi dibubarkan ya. Otonomi tetap akan kita pertahankan. Ini hanya sebagai koreksian terbuka terhadap Pemda yang tidak mamacu pendapatan daerahnya dengan menggunakan kewenangan dari pusat,” ujar Dirjen Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Kemendagri Akmal Malik dalam wawancara khusus dengan wartawan senior Awaluddin Awe, Rabu (13/8/2025) di Jakarta.

Menurut Mantan Pj Gubernur Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat ini, keputusan pemerintah mengambil alih sejumlah kewenangannya untuk daerah sudah berdasarkan penilaian objektif terhadap pelaksanaan Otonomi di tingkat kabupaten dan kota.

Sejak Otonomi Daerah diberlakukan, Pemerintah telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk melaksanakan urusan dan tugas pusat untuk daerah.

Salah satunya adalah mengelola anggaran pembangunan daerah yang berasal dari pusat. Salah satu tujuan memberikan kewenangan anggaran itu adalah supaya daerah cepat mandiri.

Tetapi faktanya, berdasarkan penilaian indikator kemandirian yamg dilakukan Ditjen PUOD, ternyata dari 518 kabupaten dan kota yang memenuhi prasyarat mandiri hanya 40 kabupaten dan kota.

Sementara di tingkat Propinsi dari 38 Propinsi yang sudah terbentuk hanya ada tujuh propinsi yang dinilai.

Aspek kamandirian yang dimaksud adalah perbandingan antara dana pusat dengan dana daerah yang dipergunakan dalam pembangunan daerah.

Dan yang amat merisaukan. Dari keseluruhan kabupaten dan kota, menurut Akmal Malik, tingkat kemandiriannya masih dibawah 10 persen saja.

“Dengan demikian. Dapat digambarkan bahwa pemberian kewenangan pemerintah pusat kepada daerah selama ini tidak mencapai sasaran peningkatan kemandirian. Malah sebaliknya, jika menggunakan statistik kemandirian maka kemandirian daerah masih relatif rendah atau masih dibawah 10 persen,” ujar Akmal.

Keputusan Pemerintah mengambilalih kewenangan pusat secara langsung di daerah, jelas Akmal, bukan berarti mengambil alih kewenangan bupati dan walikota. Tetapi hanya mengembalikan kewenangan pemerintah pusat terhadap pembangunan daerah.

Tak Berhasil Tingkatkan PAD

Akmal Malik menyebutkan salah satu faktor yang mendorong Pemerintah Pusat mengambil alih kewenangannya di daerah adalah, karena bupati dan walikota tidak mampu menggunakan dana tersebut untuk meningkatkan PAD.

Seharusnya, ujar Akmal, dengan dana yang sudah diterima dari pusat, Pemkab dan Pemko dapat melakukan kreasi dan inovasi dalam segala bentuk yang pada akhirnya dapat meningkatkan PADnya.

“Tetapi ini yang tidak pernah terjadi sejak otonomi diberlakukan, sehingga pemerintah harus mengelola sendiri dana yang akan ditempatkan di daerah, supaya terjadi keseimbangan pengelolaan anggaran daerah dan pusat di daerah,” papar Akmal.

Dirjen Otda juga mengemukakan pendapat para bupati dan walikota atas kewenangan yang diberikan kepada daerah justru terbalik dari hasil penyerahan kewenangan yang sudah diberikan.

Para bupati dan walikota beranggapan kewenangan yang diberikan masih sangat terbatas sehingga mereka tidak bisa memacu lebih pertumbuhan di daerah.

Padahal, kata Akmal Malik, dari sejumlah kewenangan yang diberikan kepada daerah juga belum dijalankan secara maksimal oleh para bupati dan walikota, sehingga target pembangunan yang dirancang tidak pernah mencapai sasaran.

Menurut Akmal Malik, pada dasarnya prinsip penyerahan kewenangan kepada daerah adalah bertujuan mempercepat proses pencapaian tujuan pembangunan.

“Namanya penyerahan kewenangan adalah memberikan otoritas kepada daerah untuk melaksanakan kegiatan secara langsung tanpa campur tangan dari pemerintah pusat, namun sangat disayangkan tujuan penyerahan kewenangan itu tidak tercapai, sehingga Pemerintah akan melaksanakan secara langsung kewenangannya untuk daerah,” tegas Akmal.

Menjawab pertanyaan wartawan, Akmal Malik menyatakan salah satu penyebab kegagalan Pemkab dan Pemko menjalankan kewenangan pusat adalah karena tidak mampu menggali potensi daerah untuk dikembangkan menjadi pendapatan daerah.

Sebagai ilustrasi Akmal menyebutkan daerah A sebenarnya adalah wilayah pesisir. Tetapi oleh bupatinya dikembangkan menjadi daerah pertanian. Tentu tidak akan berhasil. Atau sebaliknya.

Dalam kaitan ini Akmal mendorong pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya secara konsisten. Dia meyakini dalam kurun waktu tertentu daerah tersebut akan berhasil meningkatkan pendapat asli daerahnya.

“Kalau dalam bahasa kampung saya di ranah minang. “Jangan dipakai baju yang bukan milik kita.”. Artinya kembangkan saja potensi daerah yang kita miliki. Tidak perlu mencontoh program daerah lain,” pungkas Akmal Malik mengakhiri. (*)

Awaluddin Awe