OPINI  

JALAN BERLIKU INDONESIA MENUJU KEMANDIRIAN ENERGI

– Pengantar Buku Minyak, Bisnis dan Politik: Make Pertamina Great Again (2025)

Oleh Denny JA

Pada suatu malam tahun 2022 di Sri Lanka, seorang ibu muda bernama Malathi menggendong anaknya sejauh enam kilometer.

Ia bukan sedang mencari dokter spesialis, bukan pula menjemput beasiswa. Ia hanya mencari bensin—setetes energi—agar keluarganya bisa bertahan hidup.

Di jalan yang gelap, ia berjalan melewati antrian panjang ratusan orang di SPBU yang kosong. Sekolah ditutup karena tak ada listrik. Rumah sakit lumpuh karena generator berhenti.

Transportasi publik mati. Negara yang pernah disebut mutiara Samudera Hindia itu runtuh hanya karena satu hal: energi lenyap dari genggamannya.

Tangisan Malathi adalah pengingat pahit bagi bangsa-bangsa lain. Energi bukan sekadar komoditas, ia adalah detak jantung peradaban.

Tanpa energi yang mandiri, sebuah negara bisa runtuh tanpa ditembakkan sebutir peluru pun.

-000-

Sejarah umat manusia dapat dibaca sebagai sejarah energi. Setiap loncatan peradaban, setiap kebangkitan bangsa besar, dan setiap runtuhnya kerajaan, semuanya berakar pada kemampuan mereka menguasai, mengelola, dan memanfaatkan sumber energi.

Vaclav Smil, dalam karya monumentalnya Energy and Civilization: A History, menunjukkan dengan tajam. Energi bukan sekadar bahan bakar yang menggerakkan mesin, melainkan denyut nadi yang menentukan arah sejarah.

Dari api unggun yang pertama kali dinyalakan manusia purba, hingga mesin uap yang mengubah wajah Eropa. Dari minyak bumi yang melahirkan abad industrialisasi, hingga energi terbarukan, energi menjadi sumbu peradaban.

Semua itu membuktikan satu tesis besar: kemandirian energi adalah syarat utama lahirnya peradaban besar.

Indonesia hari ini berdiri di persimpangan jalan. Negeri yang kaya akan minyak, gas, batubara, sekaligus matahari, angin, laut, dan biomassa ini, seolah memiliki segalanya.

Namun justru di sinilah paradoks itu lahir: kekayaan energi tidak otomatis membawa kemandirian.

Kita masih bergantung pada impor BBM, masih terjebak dalam subsidi energi yang membebani fiskal, dan masih gamang dalam menapaki transisi energi.

Mengapa kemandirian energi adalah syarat mutlak? Bagaimana jalan berliku yang harus ditempuh Indonesia untuk menjadi bangsa besar di era energi baru?

-000-

Smil memulai bukunya dengan pengamatan sederhana namun mendasar: setiap aktivitas manusia, dari yang paling kecil hingga yang paling monumental, adalah konversi energi.

Petani yang menanam padi mengubah energi matahari menjadi butir beras. Tukang besi yang menempa pedang menggunakan energi panas untuk membentuk logam.

Bangunan megah seperti piramida atau Borobudur berdiri karena ada energi ribuan pekerja yang diatur dalam sebuah sistem sosial.

1. Era Kayu dan Tenaga Manusia

Pada masa-masa awal, peradaban hanya bertumpu pada tenaga manusia dan hewan. Kayu menjadi sumber utama panas.

Peradaban-peradaban besar seperti Mesir dan Mesopotamia bergantung pada sungai dan tenaga otot.

Namun keterbatasan energi membatasi pertumbuhan.

2. Era Batubara dan Revolusi Industri

Lonjakan besar pertama datang ketika Eropa menguasai batubara.

Mesin uap James Watt menjadi simbol abad baru. Energi batubara melahirkan revolusi industri, memicu urbanisasi, transportasi kereta api, dan lahirnya kelas pekerja.

Eropa, dengan kemandirian energinya, memimpin dunia.

3. Era Minyak dan Abad Ke-20

Abad ke-20 adalah abad minyak. Mobil, pesawat, plastik, dan industri modern tak mungkin ada tanpa minyak bumi.

Amerika Serikat menjadi adidaya global bukan hanya karena demokrasi dan inovasinya, tetapi juga karena ia menjadi produsen minyak terbesar pada masanya.

Uni Soviet, dengan cadangan minyak dan gasnya, mampu menyaingi Barat.

4. Era Energi Baru dan Abad ke-21

Kini kita memasuki era baru. Krisis iklim memaksa peradaban mencari energi bersih. Matahari, angin, air, biomassa, hingga nuklir dan hidrogen, menjadi simbol harapan.

Negara yang berhasil mandiri dalam energi baru inilah yang akan memimpin abad ke-21.

-000-

Dari uraian Smil, satu pola muncul jelas: tidak ada peradaban besar yang lahir tanpa kemandirian energi.

• Mesir Kuno mampu membangun piramida karena mereka menguasai energi sungai Nil, mengatur irigasi, dan memobilisasi tenaga manusia.

• Eropa bangkit di abad ke-18 karena mandiri dalam batubara.

• Amerika Serikat menjadi adidaya abad ke-20 karena minyak dan inovasi teknologinya.

• China hari ini melesat ke panggung global karena menguasai rantai pasok energi—dari batubara domestik hingga dominasi teknologi panel surya.

Sebaliknya, bangsa-bangsa yang gagal mandiri dalam energi cenderung menjadi korban sejarah. Mereka bergantung pada impor, rentan terhadap guncangan harga, dan mudah didikte oleh negara produsen.

Inilah yang disebut banyak ekonom sebagai kutukan energi: memiliki energi tapi gagal mengelolanya. Venezuela adalah contoh pahit.

-000-

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam energi. Dari minyak yang ditemukan Belanda di Sumatra, batubara di Kalimantan, hingga gas alam di Natuna.

Pertamina menjadi simbol nasionalisasi dan kebanggaan bangsa. Namun enam dekade setelah merdeka, kita justru menghadapi ironi:

1. Impor BBM yang Tinggi

Meski produsen minyak, kita masih mengimpor sekitar 50% kebutuhan BBM. Cadangan minyak terus menurun, sementara konsumsi meningkat.

2. Subsidi Energi

Subsidi BBM dan listrik menelan ratusan triliun rupiah setiap tahun, menggerus anggaran pembangunan lain.

3. Ketergantungan pada Batubara

Listrik Indonesia masih 60% bergantung pada batubara, sumber energi kotor yang semakin ditinggalkan dunia.

4. Potensi Energi Baru yang Belum Optimal

Padahal Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang luar biasa:

• Energi surya: lebih dari 200 GW hingga 3.300 GW
• Energi air: sekitar 89 GW
• Energi angin: 60–154 GW
• Panas bumi: 29 GW (terbesar kedua di dunia)

Namun, pemanfaatannya hingga kini rata-rata masih di bawah 10% dari total potensi di tiap jenis sumber.

Indonesia hari ini bagaikan seorang pemuda kaya raya, tetapi hidup dari hutang karena belum mampu mengelola kekayaan energi terbarukannya sendiri.

-000-

Pertanyaannya: apakah Indonesia bisa mandiri dalam energi?

Smil mengingatkan, jalan menuju kemandirian energi tidak pernah lurus, melainkan berliku. Ia menuntut visi jauh ke depan, kebijakan berani, dan konsistensi lintas generasi.

1. Membangun Energi Sebagai Proyek Peradaban

Energi tidak boleh lagi dilihat sebagai urusan teknis kementerian atau perusahaan negara.

Ia harus ditempatkan sebagai proyek peradaban bangsa. Sama seperti piramida Mesir atau Tembok Besar China, transisi energi adalah simbol keberanian bangsa menantang sejarah.

2. Investasi Besar-Besaran pada Energi Baru

Indonesia harus berani menempatkan energi baru sebagai prioritas nasional.

Panel surya di setiap atap rumah, turbin angin di pesisir, PLTA mikro di desa, hingga eksploitasi panas bumi.

Contohnya, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso di Sulawesi Tengah yang telah beroperasi dengan kapasitas mencapai 515 MW. Ia menjadi pembangkit listrik energi baru terbarukan terbesar di kawasan Indonesia Timur.

Di sisi lain, berbagai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) komunal dan atap di Sumba terus dikembangkan dalam skala desa.

Ia menjadikan pulau ini laboratorium energi bersih nasional dengan sejumlah proyek percontohan yang mendukung elektrifikasi wilayah terpencil, walau kapasitasnya masih jauh lebih kecil dibanding PLTA Poso.”

3. Reformasi Pertamina dan BUMN Energi

Pertamina tidak boleh lagi hanya menjadi perusahaan migas tradisional.

Ia harus berevolusi menjadi perusahaan energi masa depan, memimpin riset hidrogen, baterai, dan CCS (Carbon Capture and Storage).

4. Kemitraan Publik-Swasta

Negara tidak bisa sendirian. Dunia usaha, start-up teknologi, dan komunitas lokal harus menjadi bagian dari ekosistem energi baru.

5. Energi untuk Keadilan Sosial

Kemandirian energi harus dirasakan rakyat. Panel surya di desa terpencil, listrik untuk nelayan, dan harga energi yang terjangkau bagi UMKM.

Energi bukan hanya untuk industrialisasi, tetapi juga untuk kesejahteraan sosial.

-000-

Roadmap Indonesia Menuju Kemandirian Energi

Tahap 1: Konsolidasi (2025–2030)

• Menekan impor BBM dengan membangun kilang baru.

• Memulai transisi 30% energi terbarukan dalam bauran nasional.

• Program panel surya atap skala nasional.

SIMAK JUGA :  MENGAPA AKSI SOLIDARITAS WAFATNYA PENGEMUDI OJOL MELUAS KE BANYAK KOTA? - Tiga Skenario Ke Depan

• Riset intensif panas bumi & baterai.

Tahap 2: Akselerasi (2030–2040)

• Energi terbarukan mencapai 50% bauran energi.

• Semua kendaraan baru berbasis listrik/hidrogen.

• Pertamina bertransformasi menjadi perusahaan energi global berbasis hijau.

• Desa-desa energi mandiri tumbuh di seluruh provinsi.

Tahap 3: Kemandirian (2040–2045)

• Indonesia 100% mandiri energi, tanpa impor BBM.

• Mayoritas listrik berasal dari energi terbarukan.

• Menjadi eksportir teknologi energi bersih di Asia Tenggara.

• Kemandirian energi menopang visi Indonesia Emas 2045: negara maju, adil, dan bermartabat.

-000-

Vaclav Smil menulis, “Energi bukan hanya kekuatan fisik, melainkan fondasi peradaban.” Kita dapat merasakan kebenaran kata-kata itu hari ini.

Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa besar tanpa kemandirian energi.

Namun kemandirian energi bukanlah hadiah, melainkan pilihan moral. Apakah kita memilih jalan mudah: terus bergantung pada impor, terus menyubsidi energi kotor, terus menjadi penonton di panggung global?

Atau kita memilih jalan berliku: berani berkorban, berinvestasi, dan berinovasi untuk membangun peradaban baru?

Untuk bisa mandiri dalam energi, Indonesia harus menghadapi dua tantangan besar.

Pertama, tantangan dari luar negeri: persaingan antara Amerika dan Tiongkok, serta naik-turunnya harga minyak dan gas di pasar dunia.

Kedua, tantangan dari dalam negeri: birokrasi yang berbelit-belit dan sikap sebagian masyarakat yang masih ragu atau menolak perubahan.

Jalan keluarnya adalah berani membuat terobosan. Misalnya, mencari cara pendanaan baru lewat obligasi hijau dan dana abadi energi yang hasilnya khusus dipakai untuk membangun energi bersih.

Izin yang tadinya berlapis-lapis, sampai 23 meja, perlu dipangkas jadi hanya 5 tahap agar investasi lebih cepat masuk.

Di sisi lain, Indonesia juga harus bekerja sama dengan dunia, lewat skema seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) yang membawa dukungan modal dan teknologi dari negara maju.

Dan tak kalah penting, kita harus belajar menyelesaikan konflik lokal yang muncul di sekitar proyek energi, seperti yang pernah terjadi di pembangunan PLTA Toba, agar transisi menuju energi baru berjalan damai dan adil.

Jika langkah-langkah itu dijalankan dengan konsisten, peta jalan menuju kemandirian energi Indonesia akan semakin kuat dan nyata.

Sejarah mengajarkan, hanya bangsa yang berani melampaui ketakutannya yang akan tercatat sebagai bangsa besar.

Indonesia punya kesempatan itu. Energi adalah jalannya. Kemandirian adalah takdirnya.

-000-

Buku yang saya tulis: Minyak, Bisnis, dan Politik: Make Pertamina Great Again, terdiri dari 22 esai yang terbagi ke dalam lima bagian besar .

Masing-masing esai adalah refleksi tentang energi—khususnya minyak—dalam kaitannya dengan kemandirian bangsa, geopolitik global, dan masa depan transisi energi.

Bagian Pertama: Mission Impossible (Bab 1–5)

Esai-esai awal menekankan bahwa kemandirian energi adalah syarat hidupnya bangsa. Produksi minyak Indonesia yang menurun setengah dari masa jayanya dikontraskan dengan tekad mengembalikan produksi hingga 1 juta barel per hari.

Di sini muncul narasi Mission Impossible—sebuah mimpi besar yang tampak mustahil namun harus dikejar dengan teknologi, tata kelola bersih, dan keberanian moral.

-000-

Bagian Kedua: Pertamina, Riwayatmu Dulu dan Kini (Bab 6–9)

Bagian ini adalah cermin sejarah. Pertamina digambarkan sebagai raksasa yang pernah jaya, kemudian tergelincir oleh korupsi, inefisiensi, dan beban birokrasi.

Esai-esai di sini memperlihatkan dilema: apakah Pertamina akan menjadi seperti Aramco yang efisien, atau Petrobras yang karam dalam skandal?

Pertanyaan itu dijawab dengan ajakan menjadikan Pertamina bukan sekadar korporasi, melainkan gerakan nasional energi.

-000-

Bagian Ketiga: Perusahaan Big Oil Lebih Besar dari Negara (Bab 10–14)

Di sini digambarkan betapa minyak adalah takhta zaman. Dari Perang Dunia hingga krisis Ukraina, dari kudeta Mossadegh di Iran hingga dominasi ExxonMobil, energi menjadi senjata diplomasi sekaligus bara konflik.

Esai-esai ini menyingkap kenyataan getir: kadang perusahaan minyak lebih kuat daripada negara. Namun juga ditunjukkan, negara yang mampu menaklukkan logika energi bisa menulis ulang sejarahnya.

-000-

Bagian Keempat: Peralihan ke Energi Hijau (Bab 15–18)

Transisi energi diposisikan sebagai pertempuran moral dan eksistensial. Esai tentang “Matahari Terbit di Ladang Minyak” memperlihatkan perjumpaan dua dunia: rig tua versus turbin angin baru.

Energi terbarukan bukan hanya isu teknologi, tetapi juga soal keberanian menghadapi oligarki lama. Esai lain menyingkap luka ekologis: bumi yang tercemar, komunitas adat yang tersisih, hingga greenwashing korporasi besar.

Pesan yang lahir: transisi energi harus adil, bukan sekadar hijau di permukaan.

-000-

Bagian Kelima: Minyak: Antara Bisnis, Politik, dan Harapan (Bab 19–22)

Bagian akhir adalah refleksi global dan nasional. Dari petrodollar yang menjadikan dolar AS mata uang dunia, hingga pertarungan energi abad ke-21 yang menentukan siapa menguasai peradaban.

Bab penutup menegaskan bahwa Indonesia punya peluang emas di abad AI: memadukan minyak, teknologi digital, dan energi hijau untuk membangun kemandirian energi.

-000-

Seluruh esai, meski beragam, bertemu dalam satu gagasan besar: energi adalah darah bangsa. Tanpa kemandirian energi, Indonesia hanyalah penonton dalam drama global; tetapi dengan kemandirian, energi bisa menjadi alat peradaban dan martabat.

Contoh-contoh dari Norwegia, Brasil, hingga Amerika dengan revolusi shale menunjukkan bahwa negara bisa bangkit bila berani berinvestasi pada teknologi, membangun tata kelola bersih, dan menjaga etika energi.

Sebaliknya, Venezuela dan Nigeria adalah peringatan pahit tentang kutukan sumber daya.

-000-

Buku ini adalah perjalanan spiritual bangsa lewat energi. Ia dimulai dari bara api pertama yang membuat manusia unggul dari hewan, lalu berlanjut ke minyak yang membentuk imperium, perang, dan bahkan jatuhnya rezim.

Kini kita berada di ambang api kedua—Artificial Intelligence dan energi terbarukan—yang akan menentukan apakah umat manusia lebih unggul dari kerakusannya sendiri.

Esai demi esai menghadirkan cermin. Indonesia melihat dirinya dalam riwayat Pertamina: dari kejayaan Ibnu Sutowo hingga skandal korupsi; dari kilang yang menua hingga mimpi green refinery.

Indonesia juga bercermin pada bangsa lain: pada Amerika yang mengubah fracking gila menjadi revolusi energi; pada Norwegia yang menaklukkan minyak lewat dana abadi; pada Venezuela yang hancur oleh sumur yang sama yang dulu memuliakannya.

Namun buku ini bukan sekadar kisah kelam. Ia adalah ajakan untuk memilih jalan terang.

Jalan itu bukan mudah: mengurangi impor, menemukan ladang baru, menata tata kelola, mempercepat transisi ke energi bersih. Tetapi di sanalah letak martabat bangsa.

Gagasan utamanya sederhana namun agung: siapa menguasai energi, menguasai peradaban.

Jika Indonesia ingin benar-benar merdeka, ia harus berani berdiri di atas kakinya sendiri. Energi bukan lagi sekadar komoditas ekonomi, tetapi amanah moral.

Setiap sumur yang digali adalah ujian: apakah kita menggali peradaban, atau menggali kubur bumi?

Akhirnya, buku ini menutup dengan harapan. Indonesia disebut punya “jalan emas abad ke-21”: memadukan minyak, AI, dan energi hijau.

Bayangan itu adalah Indonesia yang tidak lagi ditentukan harga tanker asing, melainkan memimpin inovasi di Asia Tenggara.

Indonesia yang bukan hanya penambang minyak, tetapi juga penulis narasi energi baru.

Di antara retakan sejarah, buku ini menyalakan keyakinan: bahwa kemandirian energi bukan sekadar statistik, melainkan doa panjang bangsa untuk hidup bermartabat.

Bahwa suatu hari nanti, anak cucu bisa berkata: “Di tahun 2025, bangsa ini memilih jalan sulit. Tapi karena itu, kami berdiri tegak hari ini.”***

Jakarta, 21 September 2025

Referensi:

1. Vaclav Smil, Energy and Civilization: A History (MIT Press, 2017).

2. Daniel Yergin, The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations (Penguin Press, 2020).

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1DZuWRiZsH/?mibextid=wwXIfr