Membaca Strategi Negara Penghasil Minyak : OPEC Alami Lost US$300 Miliar (Part II)

  • Bagikan

Oleh : Archandra Thahar)*

Melanjutkan tulisan sebelumnya terkait tren kenaikan harga minyak dunia dan dampaknya ke depan, dalam kesempatan ini kami ingin melihat sejauh mana faktor harga ini mempengaruhi strategi pengelolaan energi di berbagai negara, khususnya di Amerika Serikat sebagai produsen sekaligus konsumen minyak terbesar di dunia.

Perlu dipahami bahwa harga minyak dunia saat ini banyak dipengaruhi oleh OPEC+. Apakah OPEC+ akan menambah produksi, dengan resiko harga akan turun atau tetap dengan produksi sekarang dengan harapan harga akan naik.

Dua skenario ini akan tetap menjadi opsi yang akan dipilih oleh OPEC+ untuk mengembalikan pendapatan yang hilang selama tahun 2020.

Menurut perkiraan, negara-negara yang tergabung dalam OPEC+ kehilangan pendapatan sebesar USD 300 miliar akibat pandemi Covid 19 di tahun 2020.

OPEC+ adalah sebuah kerjasama baru yang dibentuk oleh negara-negara OPEC dengan beberapa negara produsen minyak non-OPEC seperti Rusia, Bahrain dan Azerbaijan.

Kalau OPEC+ memilih opsi untuk menahan produksi yang berakibat dengan naiknya harga minyak, maka pemulihan ekonomi bisa jadi akan melambat.

Strategi OPEC+ kedepan perlu dicermati untuk mengetahui pada level harga minyak berapa negara penghasil minyak merasa nyaman.

Namun demikian sejarah mencatat peran OPEC dalam mempengaruhi harga minyak semakin kecil sejak shale oil booming di Amerika Serikat.

Perlu dicatat juga, pengaruh dicabutnya sanksi terhadap ekspor minyak dari Iran terhadap harga minyak.

Paling sedikit ada sekitar 1 juta bopd yang akan masuk ke pasar yang tentu akan mempengaruhi harga kalau demand tidak tumbuh secara signifikan.

Bagaimana dengan Amerika Serikat? Dengan tingkat harga di atas $60/bbl, maka shale oil akan bersemi kembali seperti tumbuhnya daun-daun baru pada musim semi.

SIMAK JUGA :  Menunggu Deadline Pembebasan Lahan Tol Sicipa Tiba, Proses Ganti Rugi Masih Lamban?

Ini ditandai dengan mulai maraknya kegiatan drilling di wilayah kerja shale oil di West Texas, Colorado dan Wyoming. Itulah bisnis model di wilayah kerja tersebut.

Tanpa kegiatan drilling untuk menemukan cadangan dan membuat sumur produksi yang baru maka produksi minyak akan cepat turun. Umur sumur produksi rata-rata dibawah 5 tahun, setelah itu sudah tidak ekonomis lagi untuk dilanjutkan.

Dengan pendeknya umur sumur produksi, perusahaan minyak yang punya lapangan shale oil dituntut untuk berpikir dan bertindak cepat dengan cara memangkas proses bisnis, memperkerjakan orang terbaik dan terbuka terhadap inovasi dan teknologi baru.

Perusahaan yang tidak menjalankan tiga hal ini otomatis akan tersingkir dalam persaingan pengelolaan lapangan shale oil.

Dari sisi bagi hasil dengan pemilik wilayah kerja ini (mineral right), mereka mengunakan system fiskal Tax and Royalty dimana perusahaan minyak sebagai kontraktor membayar royalti ke pemilik mineral dan ditambah pajak ke negara.

Mereka tidak menggunakan system cost recovery. Sistem fiskal Tax and Royalty ini mirip seperti Sistem fiskal Gross Split di Indonesia. Speed is of the essence.

Dengan membaca strategi beberapa negara penghasil minyak dunia dalam masa pandemi ini, kita bisa semakin paham bahwa kebutuhan dunia akan energi fosil masih tinggi. Perlu sumber energi transisi sebelum kita beralih sepenuhnya ke energi terbarukan. Insyaa Allah.

Sumber Gambar : Oilprice.com

)*Penulis adalah mantan Menteri Pertambangan Republik Indonesia dan praktisi bisnis kilang minyak dunia.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *