Jalan (Paling) Syariah Menguasai BANK NAGARI sumatera barat

  • Bagikan

Oleh : Awaluddin Awe
Wartawan Ekonomi)*

Hari ini, Jumat, 23 Juli 2021, Bank Nagari kembali menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) ke tiga kalinya.

Mekanisme RUPSLB digunakan, sebab untuk membahas isu sangat sakral : memutuskan perubahan core bisnis Bank Nagari dari sistim konvensional ke sistim syariah. Mekanisme yang ditempuh dengan cara konversi.

Sebenarnya ada pilihan cantik, yakni meningkatkan status Unit Syariah Bank Nagari menjadi otonom Bank Nagari Syariah.

Dengan pola ini, Bank Nagari tidak perlu ubah baju tetapi dapat memiliki bank kembar (twinn bank). Satu berbasis konvensional, untuk melayani nasabah umum. Dan satu lagi bank syariah, melayani nasabah muslim yang ‘keukeuh’ menolak riba.

Dari sisi biaya, meningkatkan status Unit Syariah memang relatif mahal. Sebab harus menambah modal disetor menjadi Rp1 triliun. Tetapi peluang ekspansinya jauh lebih terbuka, dibandingkan melakukan konversi.

Jika melakukan konversi. Ada dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, larinya nasabah pasif, yang hanya mengandalkan penerimaan bulanan dan tahunan dari bunga bank.

Jumlah nasabah pasif ini sangat banyak. Mereka adalah pemilik dana besar, yang mengharapkan selisih bunga tabungan dan deposito. Dalam kelompok ini ada Pemerintah kabupaten dan kota. Posisi dana Pemda kabupaten dan kota Sumbar, terakhir mencapai Rp2,1 triliun.

Diluar itu, ada sejumlah pengusaha besar dan kelompok perusahaan BUMN yang ‘menitipkan’ dananya di Bank Nagari sebagai solideritas corporate. Jumlah dana itu mencapai Rp5 triliun.

Kedua, goncangan psikologi terhadap nasabah pada saat sistim konversi dijalankan. Ada kebiasaan baru di sistim syariah yang tidak bisa diterima oleh debitur dan dianggap mengganggu kenyaman. Itu yang akan mendorong mereka menarik dananya dari Bank Nagari.

Efek ini, akan terjadi rush terselubung. Para nasabah secara diam diam akan menarik dananya dari Bank Nagari dan mencari penempatan dana di bank konvensional lain.

Ada dua kasus Bank BPD yang melakukan konversi ke syariah mengalami rush terselubung itu. Kedua bank itu adalah Bank Aceh dan Bank NTB Syariah. Keduanya mengalami shock of outflow, dana keluar secara diam diam tapi terus menerus.

Mengapa bisa kedua bank itu masih selamat. Sebab kedua daerah itu memiliki cadangan dana besar. APBD mereka besar dan memiliki cadangan penerimaan dana tambahan, seperti dana otsus di Aceh yang jumlahnya mencapai Rp9 triliun per tahun. Mereka bisa gunakan dana itu untuk apa saja, termasuk menambah modal bank mereka.

Bagaimana dengan Pemprov Sumbar. Wallahualam bissawab. Sampai setelah berusia 50 tahun lebih, modal Pemprov Sumbar di Bank Nagari masih sedikit diatas Rp500 miliar.

******

Lantas, apa sebenarnya maksud dan tujuan memaksakan konversi Bank Nagari ke sistim Syariah? Bukan meningkatkan status Unit Syariah Bank Nagari?

Saya melihat ada tumpangan bersifat politis dalam konversi Bank Nagari menjadi bank syariah.

Pertama, para Pendukung Kepentingan Syariah Bank Nagari sedang mempertontonkan kepada publik Sumbar bahwa mereka ingin ‘mengislamkan Bank Nagari dengan cara mengubah misi bank dari sistim riba ke sistim bagi hasil. Meski sampai saat ini, publik masih meyakini, perubahan ke sistim bagi hasil juga masih ‘memperanakan uang’, yang berarti masih ada bau bau ribanya juga.

Kedua, mereka sedang bermain politik, bahwa kepala daerah sebagai pemegang saham yang menolak konversi ke syariah adalah ‘kelompok kafir’ yang tidak boleh dipilih lagi pada Pilkada 2024 mendatang dan tidak memilih partai kafir pada Pemilu 2022 karena menolak konversi Bank Nagari.

Ketiga, mereka sedang membangun opini bahwa merekalah yang paling dipercaya mengelola bank syariah dengan alasan kemurnian pelaksanaan agama Islam dalam kehidupan sehari hari. Padahal pengelolaan bank syariah tidak semata soal pemahaman agama tetapi disitu murni dibutuhkan pengetahuan perbankan.

Keempat, mereka sedang mempersiapkan Bank Nagari sebagai tempat pelabuhan calon direksi dan komisaris dari kelompok mereka sendiri. Dengan demikian Bank Nagari bisa menjadi alat bisnis mereka nantinya.

Kelima, mereka sedang membangun kekuatan melalui sistim perbankan untuk menghidupi jaringan bisnis yang mereka kelola. Dengan menguasai bank maka secara otomatis kebijakan bank ada ditangan mereka. Apapun yang mereka lakukan orang luar tidak boleh ‘sata’ (ikut,red).

Saya mungkin bisa salah menganalisa misi dalam memperjuangkan sistim syariah. Tetapi secara empirik saya bisa meyakini, kengototan mendukung konversi syariah, sama artinya tidak melihat secara logis fakta dan kondisi kinerja Bank Nagari.

Sebagai contoh asset Bank Nagari setelah berusia lebih dari 50 tahun baru bisa mencapai 27 triliun, yang notabene didukung oleh nasabah yang multientitas.

Bayangkan jika Bank Nagari berubah menjadi bank spesifik, syariah yang notabene nasabahnya juga spesifik, apakah mungkin bisa menggenjot pertumbuhan aset menjadi lebih besar?

Saya jawab tidak. Sebab keberadaan Unit Syariah Bank Nagari saat ini saja masih ‘gendon’ (digendong) kakak pertamanya, Bank Nagari konvensional.

Itu pun dengan lompatan pertumbuhan asset sangat lamban, saat ini hanya Rp2,5 triliun.

SIMAK JUGA :  Lawan Penyebar Berita Bohong, yang Mencemarkan Nama Calon Wakil Walikota Tangsel

Sedangkan cakupan area bisnis perbankan syariah secara menyeluruh (bank nagari dan perbankan syariah lainnya) hanya sebesar Rp5 triliun. Bandingkan dengan posisi dana dan kredit perbankan nasional dan Bank Nagari yang sudah diatas 56 triliun.

*****

Satu hal yang dilupakan para pendukung kepentingan syariah di Bank Nagari adalah bahwa jika pemerintah merealisasi pendirian BPD Syariah Indonesia pada tahun 2023, maka dapat dipastikan Bank Nagari hasil syariah akan mengecil perannya, baik sebagai lokomotif intermediasi bank maupun sebagai pencetak laba.

Profil BPD Syariah Indonesia akan memberlakukan peranan holding dalam pengelolaan manajemennya. Dengan posisi itu, maka otoritas direksi Bank Nagari akan mengecil, seperti kasus PT Semen Padang, dimana semua kebijakan manajemen dan keuangan berada ditangan holding, yang notabene berada di Jakarta.

Bank Nagari Syariah hasil konversi pada saat itu hanya akan menjalankan program bisnis yang dibuat oleh induknya. Direksi Bank Nagari tidak bisa leluasa lagi melakukan program ekspansi seperti yang sebelumnya.

Dan yang lebih riskan lagi, pendapatan deviden pemegang saham dipastikan tidak bisa sebesar sekarang, sebab akan terjadi praktik laba ditahan untuk menggenjot modal bank holding.

Para bupati dan walikota tentu tidak bisa seleluasa dulu mengambil manfaat dari keberadaan bank daerahnya. Sebab semua lalulintas kewenangan sudah diatur dari Jakarta, termasuk, kemungkinan besar, dalam pemutusan dan besaran kredit.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator sebenarnya sudah memberikan dua pilihan kepada daerah untuk menjawab pendirian BPD Syariah Indonesia pada 2023 itu.

Pertama, mendorong peningkatan kapasitas Unit Syariah BPD menjadi bank syariah otonom dengan kecukupan modal mencapai Rp1 triliun.

Jika langkah ini dapat direalisasikan oleh daerah, maka pada akhirnya Bank Syariah daerah ini yang akan masuk dalam sistim BPD Syariah Indonesia tersebut.

Dengan optimalisasi Unit Syariah ke Bank Syariah sebagai member BPD Syariah Indonesia, maka tidak akan terjadi praktik bonsai terhadap bank induknya, di Sumbar Bank Nagari.

Bank Nagari masih memiliki otoritas penuh melakukan rekayasa keuangannya secara mandiri tanpa ada intervensi dari bank holding. Semua kebijakan direksi bisa dilakukan sesuai dengan perencanaan yang sudah diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Sebaliknya, Bank Syariah Nagari mendapatkan transfer teknis dan berkemungkinan juga suntikan dana, jika pasar syariah di Sumbar mengalami peningkatan.

******

Dengan membandingkan prosfek Bank Syariah di masa BPD Syariah Indonesia itu, maka akan sangat keliru dan naif, jika para pemegang saham Bank Nagari masih ngotot menginginkan konversi Bank Nagari ke syariah.

Pemikiran itu, sama dengan mengkerdilkan masa depan Bank Nagari dan membiarkannya jadi bank pelaksana BPD Syariah Indonesia. Padahal posisi Bank Nagari adalah pemilik pasar bank terbesar di Sumatera Barat yakni mencapai 35 persen dari portofolio perbankan di Sumbar.

Dengan tetap mempertahankan bank konvensional, Bank Nagari masih bisa melakukan semua transaksi keuangan antarbank dan tempat lewat dana pusat ke daerah.

Dengan cara mereka reka kondisi perbankan syariah dan konvensional, khususnya Bank Nagari, maka dapat saya pastikan hasil RUPSLB Bank Nagari di Hotel Balcon Bukittinggi hari ini, akan gagal mencapai kesepakatan untuk melakukan konversi ke sistim syariah.

Sebab para pemegang saham lain yang berasal dari kepala daerah tidak akan setuju dengan pilihan konversi yang penuh resiko ini. Apalagi mereka juga tidak punya dana cadangan untuk menambah modal bank apabila dalam perjalanan konversi ke syariah, Bank Nagari megap megap.

Jikapun Gubernur Sumbar sebagai pemegang kuasa saham mayoritas memaksakan diri mengegolkan pengesahan konversi syariah, akan menghadapi gelombang tekanan secara internal dan eksternal.

Dan ini akan sangat berbahaya bagi bank. Para nasabah akan panik dan berpeluang menarik dana mereka dari Bank Nagari dan memindahkannya ke bank lain.

Secara eksternal, gerakan penolakan terhadap konversi Bank Nagari ke Syariah sudah muncul secara terbuka. Salah satunya adalah Koalisi Masyarakat Peduli- Bank Nagari (KMP-BN) yang diisi oleh sejumlah pengusaha, politisi, aktifis hukum dan wartawan senior.

Presure grup ini memiliki dedikasi membangun opini di publik, bahwa ada unsur pemaksaan, agitasi dan ancaman terhadap pihak pihak yang menolak mendukung konversi Bank Nagari ke Syariah.

Bahkan, ada ormas Islam mengeluarkan fatwa kafir terhadap pihak pihak yang tidak mendukung konversi itu.

Jika gubernur, sekali lagi, memaksakan kehendak mengubah bisnis inti Bank Nagari ke sistim syariah, pada hari ini, maka gelombang penolakan dari dalam dan luar akan bersatu melawannya.

Gelombang perlawanan ini bukan tidak setuju dengan sistim syariah. Mereka sudah menawarkan Unit Syariah Bank Nagari jadi Bank Nagari Syariah.

Tetapi mengapa masih ngotot juga untuk mengkonversi Bank Nagari secara total jadi Bank Nagari Syariah.

Disitu masalahnya.

)*Penulis adalah mantan Wartawan Harian Bisnis Indonesia Jakarta, kini Pemimpin Redaksi Harianindonesia.id dan Wapimpred Kabarpolisi.com Jakarta

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *