Diskusi SATUPENA, KH Mukti Ali Qusyairi: NU dan Muhammadiyah Pernah Pakai Metode yang Sama untuk Hari Keagamaan

  • Bagikan
KH Mukti Ali Qusyairi. (Internet)

HARIANINDONESIA.ID – Dalam sejarahnya, NU dan Muhammadiyah pernah memakai metode yang sama untuk menentukan hari besar keagamaan.

Hal itu diungkapkan KH Mukti Ali Qusyairi, lulusan Universitas Al-Azhar Mesir sebagai pembicara dalam diskusi entang duduk perkara hisab dan rukyat yang berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 28 Maret 2024.

Diskusi yang menghadirkan KH Mukti Ali Qusyairi itu diselenggarakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA.

Dalam diskusi itu, Mukti Ali Qusyairi mengutip buku “Fatwa-Fatwa Tarjih, Tanya Jawab Agama,” yang dikeluarkan oleh Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah pada 1993. Muhammadiyah banyak mengutip hadis tentang rukyat.

Sekarang, Muhammadiyah biasanya diketahui memakai metode hisab (perhitungan astronomis matematis), sedangkan NU memakai rukyat (observasi langsung) untuk menentukan awal puasa Ramadhan.

“Ada yang menarik. Pada kasus tahun 1993, metodologi Muhammadiyah sama dengan NU. Ketentuan hisab yang ada dalam Al Quran dispesifikasikan dengan hadis-hadis tentang rukyat,” tutur Mukti Ali Qusyairi.

“Metode Muhammadiyah pada 1993 ini sama persis dengan NU. Karena posisi hadis adalah penafsir atau penjelas ayat Al Quran. Untuk ibadah-ibadah yang lain juga begitu. Puasa ini kan ibadah,” ujarnya.

Menurutnya, tiap tahun isu hisab dan rukyat ini sebetulnya adalah masalah khilafiyah, tetapi selalu diberitakan masif oleh media. Mungkin karena melibatkan dua ormas besar, NU dan Muhammadiyah.

“Tapi dilihat dari kenyataan tiap tahun, ternyata perbedaan itu bukan hanya terjadi antara NU dan Muhammadiyah, tetapi juga ada kelompok-kelompok lain. Misalnya, tarekat Naqsyabandiyah,” ungkapnya.

Menurutnya, tarekat Naqsyabandiyah itu di luar Jawa memiliki metodologi sendiri, yang berbeda dengan NU dan Muhammadiyah.

“Soal metode hisab dan rukyat, sudah banyak yang tahu. Tetapi yang menarik ada metode spiritual, yang digunakan oleh tarekat Naqsyabandiyah,” ungkap Mukti Ali Qusyairi.

SIMAK JUGA :  Pangdam I Bukit Barisan Tutup TMMD di Tanah Datar

Dalam penentuan awal puasa Ramadan, Naqsyabandiyah terkadang jauh lebih awal tanggal puasanya daripada NU atau Muhammadiyah. Bisa lebih dulu 3 hari, bahkan 7 hari sebelumnya.

Ternyata, kata Mukti Ali Qusyairi, tarekat Naqsyabandiyah berbeda dalam menafsirkan kata “rukyat” itu. Kalau NU, Muhammadiyah dan kelompok mainstream menafsirkan kata “rukyat” dengan melihat langsung dengan mata secara fisik.

Sedangkan kalau Naqsyanbandiyah, “rukyat” itu adalah pandangan seorang mursyid dengan menggunakan mata batinnya. Jadi menggunakan metode penyingkapan spiritual atau kasyaf.

“Perbedaan metodologi mengakibatkan perbedaan hasil,” kata Mukti Ali Qusyairi. ***

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *