Hukum Dibuat Kacau Balau, Kalangan Akademisi Pertanyakan Netralitas Penyelenggara Pemilu

  • Bagikan

Jakarta, HARIANINDONESIA.ID – Kalangan akademisi menilai hukum di negeri ini telah dibuat kacau balau, dari yang tidak ada menjadi ada sehingga rakyat mempertanyakan netralitas penyelenggara Pemilu.

Situasi kacau balau makin menjadi-jadi menyusul dirilisnya hasil jajak pendapat terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang menyebutkan bahwa 50,2% masyarakat menilai bakal terjadi kecurangan pada Pemilu 2024.

Kekhawatiran itu semakin meningkat sejak Mahkamah Konstitusi (MK), pada Oktober 2023 mengeluarkan putusan kontroversial bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

“Perjuangan merawat demokrasi telah ditumpulkan. Hukum dibuat tidak lagi untuk melindungi masyarakat dan memastikan keadilan. Mahasiswa semester satu saja paham situasi ini,” kata Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto, saat menjadi pembicara pada Diskusi Publik “Ancaman Politik, Netralitas Penyelenggara Pemilu dan Politisasi Sosial” di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Senin (11/12/2023).

Pembicara lainnya adalah Pengamat Politik sekaligus Guru Besar Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ikrar Nusa Bhakti.

Sulistyowati mengatakan, saat ini publik secara jelas dipertontonkan bahwa hukum bisa dibuat seenaknya, sesuai keinginan pemimpin. Kalau seseorang belum cukup umur, maka dibikin aturan agar tidak mau debat lah.

“Nah, sepertinya kita yang sekolah hukum seperti nggak ada. Tidak tahu apa-apa. Padahal, kita semua tahu bahwa Mahkamah Konstitusi lahir disaat publik tidak lagi percaya kepada institusi kepolisian polisi dan penegak hukum lainnya,” jelas dia.

Disebutkan, saat ini hukum dibangun pada keadaan yang palsu dan seolah-olah penerapannya sesuai aturan yang berlaku. Akibatnya, penyelanggara negara bertindak curang, karena termasuk salah satu kontestan Pemilu 2024.

SIMAK JUGA :  Popon : Calon Independen Teratas Dalam Pilgub Sulsel

“MK yang dulu kita perjuangkan sekarang tidak lagi sakral,” papar dia.

Sementara itu, Pengamat Politik sekaligus Guru Besar Riset Politik BRIN, Ikrar Nusa Bhakti menanggapi kekacauan hukum dengan memaparkan sejarah demokrasi di Indonesia, mulai era Presiden Soekarno yang dikenal sangat anti demokrasi liberal, hingga kemenangan hasil pemilu tertinggi pada 1997, yang diraih Partai Golkar, dilanjutkan lengsernya Presiden Soeharto, dan menjadikan tahun 1998 sebagai akhir 32 tahun pemerintahan otoriter.

“Kita baru menjalani demokrasi selama 25 tahun, sejak reformasi 1998 hingga tahun 2023. Ini kok Presiden Jokowi yang baru 9 tahun berkuasa, dengan berbagai cara berusaha merampas demokrasi kita. Demokrasi yang diharapkan substansial ini, menjadi jauh lebih ke belakang dibandingkan zaman Pak Harto. Di republik ini, menurut saya belum ada presiden yang seberani Jokowi” kata Ikrar.

Di sisi lain, mantan Dubes RI untuk Tunisia itu mempertanyakan independensi lembaga Pemilu, yang menurutnya orang-orang yang berada di dalamnya telah melalui fit and proper test di parlemen. (*)

Awaluddin Awe

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *