Bos PAN : Wacana Mendirikan Negara Agama dan Khilafah Sudah Usang

  • Bagikan

Zulkifli Hasan

Jakarta – Bos Partai Amanat Nasional yang Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan (Zulhas) menegaskan agama dan negara sama sekali tak bertentangan dan tak perlu lagi dipersoalkan. Indonesia sebagai negara demokrasi berpenduduk muslim terbesar di dunia sudah memilih untuk tidak menjadi negara agama.

“Pikiran untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama atau atau menawarkan konsep khilafah internasional adalah pikiran usang dan tak menghargai sejarah panjang pendirian bangsa ini,” ucap Zulhas menyampaikan pidato kebudayaan bertajuk Indonesia Butuh Islam Tengah digelar di Jakarta, Sabtu (29/1).

Zulhas menyoroti kecenderungan sebagian kalangan yang kembali mencoba membentur-benturkan negara dengan agama serta mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu menyatakan polarisasi politik dan agama tidak boleh mengarah pada upaya-upaya mengganti format bernegara. Menurutnya, bangunan konsep bernegara Indonesia sudah final.

“Indonesia adalah negara yang beragama dan menghormati keberagaman. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi kita bersepakat menjadi tunggal ika yang satu yaitu Indonesia,” ujarnya.

Zulhas menyatakan keberagaman menjadi modal terbesar bangsa ini selain sumber daya alam yang melimpah. Indonesia didirikan di atas rasa persatuan yang mengikat beraneka suku dengan berbagai perbedaan agama, ras, kepentingan antargolongan.

Dengan rasa persatuan itu, para pendiri bangsa membayangkan negeri ini sebagai Tanah Air yang satu, bangsa yang satu, yang memiliki bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Sebab itu, ucap Zulhas, keberagaman harus disyukuri dan terus dirawat. “Maka keberagaman bangsa Indonesia merupakan fitrah yang harus kita syukuri bersama. Tidak ada pilihan lain bagi negara dengan keberagaman yang sangat kompleks seperti Indonesia persatuan harus dirajut,” ungkapnya.

Zulhas memandang Islam menjadi agama terbesar di Indonesia karena karakternya yang adaptif, akomodatif, mengayomi, melebur, dan tidak membentur-benturkan. Islam di Indonesia bersifat moderat atau tengahan.
Ia mencontohkan Islam datang ke Aceh tidak menghilangkan budaya tetapi memperkaya budaya dan menjadikan Aceh yang Islami. Islam datang ke Tatar Sunda tidak menghilangkan kesundaan tetapi melahirkan budaya Sunda yang Islami.

SIMAK JUGA :  BEM SI Ancam Akan Menggelar Aksi Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja

Islam juga hadir di suku Jawa, Bugis, atau pun Sasak tidak menghancurkan kebudayaan yang ada tetapi memperkayanya dengan khazanah dan nilai-nilai luhur Islam. “Islam datang ke Nusantara tidak bersifat penaklukan tetapi peleburan,” pungkasnya./Rizal

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *