Membaca Strategi Negara Penghasil Minyak Dunia : Sebab Apa Harga Minyak Naik? (part III)

  • Bagikan

Oleh : Archandra Thahar)*

Harga minyak mentah (Brent) dunia bulan Juni ini sudah naik sekitar 50% dibandingkan dengan harga di awal tahun.

Di bulan Juni ini harga sudah bertengger diangka $75/bbl. Harga ini cukup nyaman bagi sektor hulu maupun hilir migas.

Rumus yang berlaku umum, apabila harga minyak dibawah $45/bbl maka sektor hulu (sumur minyak) yang merugi, sementara sektor hilir (kilang dan petrochemical) yang untung.

Sebaliknya apabila harga minyak diatas $80/bbl maka sektor hilir akan rugi, sedangkan sektor hulu akan untung.

Karena harga minyak selalu naik dan turun, maka strategi perusahaan minyak dunia adalah berbisnis di kedua sektor ini, hulu dan hilir.

Resiko yang timbul karena fluktuasi harga minyak dapat dimitigasi lewat bisnis dari hulu ke hilir.

Batas atas dan bawah harga minyak untuk masing masing perusahaan dalam menentukan apakah bisnis mereka untung atau rugi tentu berbeda-beda. Angka-angka yang dipakai diatas hanya panduan umum.

Mengingat ketergantungan dunia terhadap minyak masih sangat besar, banyak pertanyaan yang muncul. Apakah harga akan naik terus atau malah turun?

Sampai kapan harga ini akan bertahan, faktor apa yang memengaruhi naik turunnya harga minyak dan yang tidak kalah seru adalah kapan sebaiknya berinvestasi di hulu migas?

Tidak ada yang bisa memberikan jawaban singkat dan akurat terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas.

Namun demikian satu hal yang akan kita bahas dalam tulisan berseri ini adalah apa kira-kira penyebab harga minyak naik sampai $75/bbl ditengah situasi pandemi Covid 19 yang masih terus terjadi?

Pertama, banyak negara yang sudah memvaksin warganya, sehingga relaksasi terhadap kegiatan sosial dan ekonomi memberikan harapan akan menggeliatnya kembali roda ekonomi. Pulihnya ekonomi ini secara otomatis akan membuat kebutuhan energi akan naik.

SIMAK JUGA :  Menunggu Deadline Pembebasan Lahan Tol Sicipa Tiba, Proses Ganti Rugi Masih Lamban?

Walaupun energi terbarukan banyak digencarkan penggunaannya, namun kebutuhan terhadap energi fosil belum bisa tergantikan dalan dua dekade kedepan, termasuk kebutuhan akan minyak dan gas.

Kedua, kekhawatiran akan terjadinya kerusakan permanen terhadap kebutuhan minyak dunia, termasuk harga yang tidak mungkin pulih kembali akibat Covid19 terbukti tidak terjadi, paling tidak sampai saat ini.

Justru kebutuhan akan minyak mentah diperkirakan akan kembali pulih seperti sebelum covid19 pada tahun 2022 yaitu sekitar 100 juta bopd. Optimisme ini ikut mendorong naiknya harga minyak mentah pada level bulan Juni ini.

Ketiga, disiplinnya OPEC+ dalam menjaga tingkat produksi. OPEC+ belum terpancing untuk menaikan produksi walaupun kebutuhan naik. Minyak yang disimpan di tangki-tangki penyimpnan baik di negara produsen maupun di negara konsumen digunakan untuk memenuhi kenaikan kebutuhan minyak mentah ini.

Akibatnya, inventory level mengalami penurunan yang signifikan sejak bulan Mei 2021. Dengan tidak bertambahnya suplai sementara kebutuhan naik, maka harga minyak mentah akan naik, apalagi kalau inventory dari cadangan minyak negara-negara maju sudah menipis.

Bagaimana peran Amerika Serikat sebagai produsen sekaligus konsumen minyak terbesar di dunia dalam fluktuasi harga minyak ini? Mohon bersabar dan tunggu lanjutannya di tulisan kami berikutnya. Terima kasih.

Sumber Gambar : oilprice.com

)*Penulis adalah mantan Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia dan Praktisi Bisnis Kilang Minyak Dunia

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *