Diskusi SATUPENA, Sukarjo Waluyo: Jawa Itu Mozaik, Tidak Tunggal Seperti Dikira Orang

  • Bagikan
Sukarjo Waluyo.

JAKARTA – Jawa itu sebuah mozaik. Jawa itu tidak tunggal atau satu, seperti yang mungkin diasumsikan orang luar.

Hal itu dinyatakan oleh Dr. Sukarjo Waluyo, M.Hum, Ketua Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang.

Sukarjo Waluyo adalah pembicara dalam diskusi bertema Generasi Muda dan Pemajuan Budaya Lokal Jawa Tengah yang berlangsung di Jakarta, Kamis 2 November 2023 malam.

Diskusi yang menghadirkan Sukarjo Waluyo itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA.

Sukarjo menjelaskan, ada persepsi bahwa Solo dan Yogyakarta adalah pusat kebudayaan Jawa. Tapi pada kenyataannya, dari segi akademik terlihat gambaran budaya yang berbeda.

Sukarjo menuturkan, di Jawa Timur sudah ada peta kebudayaan yang beragam untuk melihat peta politik, misalnya.

“Jadi ada Jawa Arek di Surabaya, Malang. Ada Jawa Mataraman di Jawa Timur bagian barat dan amat besar itu. Juga ada Madura, ada Osing,” ujarnya.

“Kita mengetahui, siapa yang menguasai Jawa Mataraman suaranya akan kuat dan itu terbukti di Jawa Timur. Jawa Tengah pun sama. Ada Jawa Tengah Mataraman, yaitu Yogya dan Solo,” katanya.

“Yogya dan Solo ini termasuk Jawa pedalaman. Ada Jawa Kedu yang berpatron ke situ. Kemudian kalau ke utara, ada Jawa pesisir. Riset saya memberi peta kebudayaan Jawa Tengah,” ujar Sukarjo.

“Seperti Blora, itu awalnya tak jelas masuk mana. Tapi menurut saya, masuk Jawa pesisir. Mengapa? Karena di Blora ada masuk budaya sungai, yang di Jawa tidak begitu muncul. Kalau Muria, Pati, itu masuk kategori budaya pesisir,” tuturnya.

Menurut Sukarjo, fenomena sekarang ini adalah mereka yang di Jawa Tengah sadar bahwa Jawa Tengah itu tidaklah tunggal.

SIMAK JUGA :  Pemuda Ini Dibekuk Polisi, Lantaran Simpan Sabu di Celana

Maka pada era reformasi juga ada sharing power (pembagian kekuasaan) terkait kebudayaan.

“Saya mendapat sebuah perspektif, kebudayaan di luar Yogya dan Solo yang dulu dianggap the others dan pinggiran, sekarang mulai muncul. Contohnya apa? Contohnya, dalam membangun ikon kota,” ujarnya Sukarjo.

“Kalau zaman dulu, era Orde Baru, Indonesia atau Jawa Tengah itu harus satu. Kalau berbeda dianggap haram. Kita sekarang harus berbeda,” tambahnya.

Sukarjo menjelaskan, di Blora dan bahkan Cepu sekarang sedang mengkapitalisasi tokoh yang oleh Jawa mayoritas selama ini dianggap jahat, yaitu Arya Penangsang. Ini membangun local hero sendiri. (K) ***

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *