Diskusi SATUPENA, Airlangga Pribadi Kusman: Tidak Ada Soekarno Muda dan Soekarno Tua yang Berlawanan Pandangan

  • Bagikan
Airlangga Pribadi Kusman. (fisip.unair.ac.id)

HARIANINDONESIA.ID –  Tidak benar, ada Soekarno muda dan Soekarno tua yang dua versi itu memiliki pandangan berlawanan.

Demikian penulis dan pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman selaku pembicara dalam diskusi tentang pemikiran Bung Karno dan kontekstualisasinya dengan situasi Indonesia terkini di Jakarta, Kamis 1 Februari 2024 malam.

Diskusi yang menghadirkan Airlangga Pribadi Kusman itu diselenggarakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA.

Airlangga menyatakan, sudah sangat banyak tulisan dan penelitian tentang Soekarno.

“Tetapi saya tidak puas. Ada pandangan-pandangan mainstream yang tidak pas dalam memosisikan Soekarno,” ujarnya.

Pertama, kata Airlangga, pandangan mainstream yang memandang Soekarno sebagai intelektual kelas dua, di bawah Tan Malaka, di bawah Syahrir, dan di bawah Hatta.

Hanya beberapa yang mengakui Soekarno memiliki kekuatan dalam gagasannya.

“Mereka hanya melihat Soekarno memiliki kemampuan dalam komunikasi dan approach pada publik dengan cara yang memikat,” tutur Airlangga.

“Sebagian besar, jika kita melihat buku John D Legge, itu hanya menganggap Soekarno semata-mata memiliki kekuatan manipulasi terhadap masyarakat. Dan dengan itu memperdaya publik sesuai kepentingannya,” tambahnya.

Bahkan, beberapa kalangan yang respek terhadap Soekarno sekalipun, mereka melihat Soekarno itu dibagi sebagai Soekarno muda dan Soekarno tua, yang antara muda dan tua itu memiliki pandangan berlawanan. Soekarno tua dianggap sudah menjadi diktator.

Airlangga secara tegas menolak cara pandang itu. “Dalam buku saya, saya menunjukkan posisi yang berbeda. Justru konsistensi dari Soekarno sejak muda hingga tua itu bisa kita lihat,” ungkap Airlangga.

Artinya, ujar Airlangga, gagasan dan tesis yang Soekarno keluarkan pada waktu memimpin pergerakan nasional – seperti Marhaenisme, Pancasila, dan sebagainya – justru dia coba selenggarakan melalui langkah politik yang bisa dilihat, terutama sejak Soekarno berkuasa pada 1958.

SIMAK JUGA :  DIRGAHAYU 57 TAHUN PROVINSI LAMPUNG

“Kemudian dari sini, kita berhadapan dengan pandangan mainstream bahwa sejak 1958 dan seterusnya Soekarno menjadi seorang diktator,” tutur Airlangga.

Menurutnya, tidak bisa memberi judgment Soekarno sebagai seorang diktator tanpa melihat kontekstualisasi situasi waktu itu, yang mana Indonesia dalam posisi pertarungan di era Perang Dingin.

Ia mengatakan, pandangan Soekarno tidak bisa dipahami nalarnya atau algoritmanya tanpa memahami pandangan yang berbasis pada critical theory, cara pandang yang pijakannya pada ekonomi politik.

Dan itu bisa dilihat dalam tulisan-tulisan Soekarno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Indonesia Menggugat, Mencapai Indonesia Merdeka, Swadeshi dan Massa Aksi, Marhaen dan Proletar, dan sebagainya. (K) ***

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *