Dari Diskusi Jalan Tol JPS: Kontradiksi Peluang Ekonomi dan Derita Lahan

  • Bagikan

PADANG – Diskusi jalan tol yang digelar Jaringan Pempred Sumbar (JPS) di Hotel Grandzuri, Kamis (25/2/2021) memunculkan realitas kontradiktif antara peluang konektifitas jalan tol secara ekonomi, dengan keprihatinan terhadap manajemen pembebasan lahan yang malah menyudutkan posisi pemilik lahan.

Secara prinsip masyarakat tidak pernah menolak pembangunan jalan tol, tetapi keterlambatan pembangunan sering dituduh oleh tidak bersedianya masyarakat membebaskan lahan mereka. Padahal sesungguhnya masyarakat hanya butuh kepastian tentang pembebasan lahan dengan nilai harga yang berpihak kepada mereka.

Diskusi yang bertemakan Konektifitas Ekonomi Lewat Tol Sumbar-Riau menampilkan HM Nurnas, Sekretaris Komisi III DPRD Sumbar, Kepala Proyek Tol Padang-Pekanbaru Defi Adrian, Akademisi Unand Werry Darta Taifur, Pengamat Kebijakan Publik Unand Asrinaldi, dan Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Sumbar Budi Syukur.

Secara umum narasumber sepakat menyebut bahwa pembangunan jalan tol membawa dampak ekonomi terhadap daerah Sumbar, sebagai efek konektifitas tol Sumbar – Riau.

Bahkan, efek ekonomi tersebut, tegas Kepala Proyek Tol Padang Sicincin, Defi Adrian sudah dinikmati pengusaha dan suplayer lokal sejak awal.

Hal itu bisa dilihat dari kebutuhan material badan jalan tol sebanyak 8 juta kubik, pasir dan batu 1 juta kubik, beton 1,2 juta kubik, dan bahan lainnya, diambil dari masyarakat lokal. Kebutuhan material ini melibatkan pengusaha angkutan lokal.

“Saat ini lebih dari 55 perusahaan suplaier dan subkontrak yang bergabung. Begitu juga dengan tenaga kerja. Lebih 700 orang bekerja mulai dari engineer hingga pekerja paling bawah sebagian besar dari masyarakat lokal,” ujar Defi.

Dengan realita efek ekonomi itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Unand, Profesor Werry Darta Taifur, menyebut bahwa keberadaan Jalan Tol Padang – Pekanbaru sebagai ‘Roh Perekonomian Sumbar’, sebab dapat memberikan ‘penghidupan’ terhadap masyarakat Sumbar dalam segala aspek penghidupan.

Secara spesifik mantan Rektor Unand ini menyatakan jalan tol Padang Pekanbaru akan membantu sektor pertanian dan perkebunan yang mulai lesu, dengan masuknya barang dan produk tertentu yang memiliki daya saing tinggi secara bisnis, dan itu menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat Sumbar yang kuat di masa datang.

Ketua Organda Sumbar, Sengaja Budi Syukur, mengakui bahwa dilema angkutan dari dan ke Padang yang mengakibatkan jumlah suplai barang terbatas dan membuat harga menjadi mahal, adalah disebabkan lamanya waktu perjalanan truk.

“Waktu tempuh angkutan truk dari Padang ke Pekanbaru saat ini adalah 20 jam. Tetapi dengan adanya jalan tol kami bisa tempuh dengan waktu hanya tiga jam, berarti akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah suplai barang dan penurunan harga barang logistik,” kata Budi Syukur yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Kadinda Sumbar.

Pada diskusi yang dimoderatori Akademisi Unand Ilham Adelano Azre, Budi mengatakan Riau adalah peluang pasar besar bagi Sumbar.

Gubernur Sumbar, H. Mahyeldi yang mengirim pokok pemikirannya secara tertulis juga mengakui bahwa jalan Tol Padang – Pekan Baru memiliki peran sangat penting terhadap perekonomian Sumbar.

“Jalan Tol Padang – Pekan Baru merupakan salah satu segmen dari jaringan terintegrasi Tol Sumatera. Ini akan meningkatkan sektor industrialisasi di berbagai sektor di Sumbar” tulisnya.

TETAPI MENGAPA LAMBAT?

Selain membahas prospek, diskusi juga membahas sejumlah faktor dan alasan, mengapa pembangunan jalan tol Padang – Pekanbaru. Bayangkan, selama tiga tahun, PT Hutama Karya baru berhasil membangun badan jalan tol sepanjang 6 Km dari total panjang jalan tol Padang Sicincin 36 Km.

SIMAK JUGA :  KPU PekalonganTetapkan Nomor Urut Paslon Walikota

Dimanakah persoalannya, benarkah masyarakat tidak mau melepas lahannya untuk dibuat jalan tol?

“Jawabannya, tidak. Masyarakat malah mendukung pembangunan jalan Tol, mereka hanya butuh kepastian dari tim pembebasan lahan. Itu saja,” kata DR. Asrinaldi, Ketua Prodi S3 Study Kebijakan FISIP Unand.

Pernyataan ini dibuktikan Asrinaldi berdasarkan survey yang dia lakukan bersama sama temannya.
Menurut hasil survey itu, kendala terjadi karena sosialisasi tidak sampai pada masyarakat pemilik lahan, sehingga timbul keraguan, akhirnya menimbulkan polemik.

“Masyarakat merasa mereka menjadi alat pihak tertentu dalam proyek ini, karena sosialisasi tidak sampai langsung pada mereka,” tegas Asrinaldi.

Pandangan sama juga dikemukakan Sekretaris Komisi I DPRD Sumbar HM Nurnas, yang menyebut keterlambatan pengerjaan tol karena masalah komunikasi.

“Kunci mengentaskan mangkraknya pembangunan jalan tol di Sumbar, terutama pembebasan lahan masyarakat, adalah komunikasi. Selagi komunikasi tidak timbal balik maka mangkrak tol Sumbar bisa menahun,” ujar HM Nurnas.

Nurnas mengutip pola komunikasi orang Sumbar, tentang hal ini yakni baiyo batido, diajak sato, bamusyawarah dan mufakat.

“Indak ado kusuik indak salasai, kalau orang minang itu diajak baiyo batido dan diikuikan dalam prosesnya. Jangan orang minang didikte atau disuruh mancawan, bisa menimbulkan perlawanan dan antisipasi. Dari pantauan saya hampir tidak ada masyarakat di Sumbar yang tidak setuju jalan tol. Tapi komunikasi terbuka tentang manfaat dan berapa besaran ganti rugi serta tegas dalam pengerjaanya sesuai aturan,” ujar HM Nurnas.

USULKAN POSKO BERSAMA

Mengamini masukan dari kalangan tadi, Kapro Jalan Tol Padang Sicincin, Defi Adrian, mengusulkan dibentuknya Posko Bersama yang akan menangani masalah pembebasan lahan.

Posko bersama ini terdiri dari BPN, Dinas PU, Pemerintah Nagari dan Jorong/Korong.

“Ini untuk percepatan pembangunan tol ini. Dengan adanya posko bersama tersebut masyarakat punya tempat bertanya dan mendapat informasi yang jelas. Persoalannya selama ini, masyarakat tidak dapat informasi yang jelas dan diping-pong ke instansi A, B dan seterusnya. Tentu ini membuat masyarakat geram, sehingga muncul gejolak,” ungkap Defi.

Defi juga mengakui bahwa masyarakat tidak masalah dengan pembangunan tol ini. Hanya saja informasi yang mereka dapatkan tidak jelas dan simpang siur.

Asrinaldi juga menekankan, bahwa tokoh informal seperti wali nagari, wali jorong, ninik-mamak, dan lain sebagainya, memang harus dilibatkan untuk melakukan komunikasi langsung kepada masyarakat pemilik lahan, dengan menjelaskan besaran ganti rugi yang akan diterima, serta usaha apa nantinya akan diberikan pada mereka karena lahan pertanian sudah tidak ada.

“Saya pastikan masyarakat tidak akan pernah menghambat proyek ini, mereka tetap mendukung asal mereka mendapat kepastian dan kejelasan,” tutup Asrinaldi.

Sementara itu, sebuah sumber kepada Harianindonesia.id, mengungkapkan bahwa kendala pembangunan jalan tol Padang Sicincin, memang terletak kepada ketidaklihaian tim pengadaan lahan dalam berkomunikasi dengan masyarakat.

Mereka, sebut sumber itu, mengandalkan dukungan aparat semata dalam melaksanakan pembebasan lahan, tanpa melibatkan peranan tokoh masyarakat dan adat setempat.

Kita tunggu makan tangan duet Mahyeldi – Audy Joinaldy menggesa pembebasan lahan tol ini. (*)

Awaluddin Awe

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *