Melihat Jalan Tol Sumatera (4) : Tol Sigli – Banda Aceh, ‘Kemerdekaan Baru’ atau Pelarian Aset?

  • Bagikan

Oleh : Awaluddin Awe
Wartawan Harianindonesia.id

(Selama dua pekan saya sempat berkeliling di pulau Sumatera melihat langsung pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang dikerjakan oleh PT Hutama Karya (Persero) bersama sejumlah subkontraktornya seperti HK infrasuktur (hki), PT Adhi Karya dan Waskita Karya. Berikut laporannya:)

BANDA ACEH – Posisi Provinsi Aceh yang berada paling ujung Pulau Sumatera memang membuat ketergantungannya terhadap sarana jalan paling tinggi. Apalagi terhadap jalan tol, tentunya jauh lebih tinggi lagi. Sebab selain tidak punya provinsi tetangga di kiri kanannya, jalur laut dan udara pun tidak bisa dimaksimalkan sebagai sarana transportasi. Sebab ada keterbatasan supplay and demand.

Itu pula, yang sepertinya, membuat pemerintah pusat begitu maksimal memerhatikan kebutuhan sarana jalan nasional, propinsi, kabupaten dan kota di Aceh sampai hari ini.

Dan, terakhir Propinsi Aceh memeroleh hadiah besar berupa paket jalan tol sebanyak 6 seksi jalan tol yang menghubungkan bandara, pelabuhan, pusat pemerintahan, pemukiman dan pasar.

Pigura Selamat Datang di Banda Aceh (foto :Awe)

Keenam paket jalan tersebut diberi label oleh PT Hutama Karya sebagai owner jalan tol Sumatera dengan nama Ruas Jalan Tol Sigli – Banda Aceh dengan panjang keseluruhan 74,2 Km, dengan jumlah investasi Rp12, 354 triliun, terdiri dari ekuitas Rp10, 501 triliun (85 persen) dan pinjaman Rp1, 538 triliun (15 persen).

Paket jalan tol Sigli Banda Aceh adalah bagian dari ruas jalan tol Medan Aceh sepanjang 470 Km. Jika ruas jalan tol Langsa – Lhokseumawe dan Lhokseumawe – Sigli disetujui dananya oleh pemerintah, maka dalam waktu tidak terlalu lama, Banda Aceh akan tembus dari Medan dalam waktu 6 – 7 saja.

Itu artinya, perekonomian Banda Aceh dan seluruh kabupaten kotanya akan menggeliat pesat dan menjadikan Aceh sebagai daerah yang semakin terbuka.

Project Director Jalan Tol Sigli – Banda Aceh PT Hutama Karya, Slamet Sudrajat melalui Assistant Implementation Controller Manager, Denny Kusumanegara, menyatakan pembangunan jalan tol di Banda Aceh memang diarahkan untuk mendukung perkuatan aset ekonomi daerah seperti Bandara, Pelabuhan, Pusat perekonomian, pusat pemerintahan dan sinergi kawasan.

“Sebagai contoh, tol Indrapuri – Blangbintang dibangun untuk memudahkan masyarakat menjangkau Bandara Blangbintang, sekaligus membuka kawasan baru di sepanjang jalur tol,” kata Denny kepada wartawan Harianindonesia.id di lokasi jalan tol Indrapuri – Blangbintang, beberapa waktu lalu.

Assistant Implementation Controller Manager, Denny Kusumanegara,di salah satu ruas tol yang sedang dibangun (foto : Awe)

Dan kemudian, satu lagi ruas tol dipersiapkan untuk mendukung transportasi darat ke salah satu pelabuhan laut di Aceh Besar yakni Pelabuhan Malahayati. “Intinya kehadiran jalan tol di Aceh memang untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi daerah dari segala aspek,” ujar Denny.

Meski harus diakui, kondisi saat ini, keberadaan jalan tol Indrapuri – Blangbintang, masih belum maksimal dimanfaatkan oleh pengguna jasa tol.

Terbukti sejak diresmikan hingga Desember 2020 lalu, jumlah lalulintas harian (LHR) tol Indrapuri – Blangbintang baru mencapai 720 kendaraan per hari, atau masih jauh target bisnis plan 3.196 kendaraan per hari.

Namun, jika dilihat dari perencanaan LHR secara keseluruhan yang terdiri dari enam ruas tol, kata Jarot, Kacab Tol Sigli – Banda Aceh, maka pencapaian LHR di tol Indrapuri – Blangbintang sudah mencapai target yang diharapkan.

“Artinya, pencapaian realisasi LHR terhadap rencana masih cukup jauh, belum aple to aple karena yang dioperasikan baru satu seksi dari enam seksi yang ada di Ruas Sigli – Banda Aceh,” jelas Jarot, di Banda Aceh, pekan lalu.


Dua eksekutif muda mewakili Kacab Tol Sigli Banda Aceh, Jarot, bertemu Harianindonedia.id, Ari Wibowo dan Ari (foto : Awe)

Ruas jalan tol yang sudah beroperasi di Banda Aceh memang baru tol Indrapuri – Blangbintang. Tetap dalam waktu dekat akan menyusul beroperasi jalan tol Jantho – Indrapuri sepanjang 16 Km.

Menurut Jarot ruas tol ini sudah diujicoba pemakaiannya pada saat Natal dan Tahun Baru lalu. Hasilnya cukup maksimal. LHR tol Sigli Banda Aceh naik cukup signifikan.

Jalan tol Jantho – Indrapuri ini sampai saat ini masih menunggu turunnya Sertifikat Laik Operasi (SLO) dan Penetapan Tarif Tol dari Kementrian PUPR.

Sementara empat ruas jalan tol lainnya masih dalam pengerjaan konstruksi sekaligus pembebasan lahan. Keempat jalan tol iti adalah, tol Padangtiji – Seulimeum sepanjang 25,68 km, tol Seulimeum – Jantho (6,3 km), Blang Bintabg – Kutabaro (7,7km) dan Kutabaro – Baitussalam (5km).

SIMAK JUGA :  Gaya Baru Penjajahan Sepakbola Indonesia Usai Bebas dari Hukuman FIFA

“Keempat jalan tol ini semuanya masih dalam pekerjaan konstruksi dan pembebasan lahan. Tetapi sesuai jadual, kami menargetkan keempat ruas tol ini sudah selesai dan beroperasi pada tahun 2021 ini,” ujar Denny lagi.

Sampai Desember lalu, kata Denny progres keseluruhan seksi jalan tol Sigli Banda Aceh sudah mencapai 64 persen dan pembebasan lahan sudah mencapai 90 persen.

Namun, kontraktor pelaksana jalan tol Sigli – Banda Aceh PT Adhi Karya, seperti disampaikan General Supervisor Proyek tol Sigli – Banda Aceh PT Adhi Karya, Roni Kusumanegara, kepada Harianindonesia.id, meragukan pekerjaan tol Sigli – Banda Aceh bisa selesai pada tahun 2021 ini.

Alasannya, kata Roni, masih terdapat di sejumlah titik di ruas tol yang dibangun pembebasan lahannya belum selesai. “Tetapi saya juga berikhtiar bersama tim kerja dari Adhi Karya untuk menyelesaikan pekerjaan seluruh tol pada tahun ini,” papar Roni ramah.

Ruas tol Indrapuri – Blangbintang di waktu subuh (foto : Awe)

EKONOMI ACEH PASCA JALAN TOL

Pakar ekonomi dari Universitas Syah Kuala (USK), Dr Abdul Jamal, melihat fenomena jalan tol terhadap perekonomian Aceh dari dua sisi yakni kesiapan dan ketidaksiapan pemerintah daerah di Aceh dalam menyiapkan rakyatnya memanfaatkan jalan tol.

Menurut Pembantu Dekan Fakultas Bisnis dan Ekonomi USK Banda Aceh ini, jika pemda telah mempersiapkan masyarakatnya menerima kehadiran jalan tol secara ekonomi, maka efeknya perekonomian daerah Aceh akan berkembang pesat.

Sebab, paparnya, dengan lancarnya arus transportasi akan sangat memengaruhi segala faktor ekonomi dan harga harga, termasuk harga komoditi yang ada di Aceh, seperti kopi, misalnya.

“Permintaan akan komoditi Aceh dari Medan dipastikan akan melonjak tinggi dengan semakin lancarnya hubungan darat Aceh dan Medan, atau sebaliknya,” jelas Abdul Jamal.

Pakar Ekonomi USK, DR Abdul Jamal (foto : ist)

Namun sebaliknya, kata ekonom ini mengingatkan, jika pemda tidak mempersiapkan rakyatnya dengan kehadiran jalan tol, maka akan terjadi pelarian aset rakyat Aceh ke Medan.

Dan, kondisi yang riskan akan terjadi, rakyat Aceh kemudian membeli lagi komoditinya yang telah diolah oleh perusahaan di Medan, sebagaimana terjadi pada saat ini, dimana masyarakat Aceh terlalu konsumeris dan tergantung dengan produk asal Medan dan daerah lainnya.

Praktisi bisnis di Banda Aceh, Jamaluddin juga mengakui bahwa gaya hidup masyarakat Aceh memang cenderung tergantung dengan produk asal luar, baik itu dalam bentuk barang pangan maupun sandang.

“Untuk satu produk seperti hijab saja, mereka masih membeli produk tersebut dari Medan. Padahal, dengan diberlakukannya hukum Islam di Aceh, seharusnya ada perusahaan atau UMKM yang memproduksi hijab. Tapi sampai saat ini masih belum ada,” kata Jamaluddin kepada Harianindonesia.id

Sikap hidup dan rendahnya kreatifitas ini, dalam pandangan Jamaluddin, akan sangat membahayakan bagi masyarakat Aceh secara ekonomi, dalam artian justru, para pedagang dan perusahaan di Medan yang akan lebih mendapatkan manfaat dari pembukaan jalan tol Medan – Aceh.

Waketum Kadinda Aceh, Ir. H. suwarli (tengah) dan teman teman di Kadinda Aceh (foto: Awe)

Tetapi pandangan ini ditolak oleh Wakil Ketua Umum Kadinda Aceh yang menangani ekonomi kreatif, Ir H Suwarli. Menurut dia, justru dengan dibangunnya jalan tol Medan – Aceh akan memberikan kemerdekaan baru, dalam tanda kutip, kepada rakyat Aceh.

“Mengapa tidak. Jika selama ini rakyat Aceh harus mendaki gunung Seulawah dan menempuh perjalanan panjang untuk bisa sampai ke Medan, sekarang sudah bisa memacu mobil dalam kecepatan maksimal diatas jalan tol yang lurus dan dengan tempo waktu separonya sudah bisa tiba di Medan. Bukankah ini pantas disebut sebagai ‘kemerdekaan baru’ bagi rakyat Aceh,” ujar Suwarli, di kantor Kadinda Aceh, Desember lalu.

Persoalannya sekarang, tambah Suwarli, bagaimana mendorong rakyat Aceh lebih kreatif memanfaatkan momentum pengoperasian jalan tersebut, dengan memunculkan usaha usaha baru yang dibutuhkan oleh konsumen jalan tol yang rata rata berduit.

Jika tidak, maka akan terjadi pelarian aset rakyat Aceh ke luar Aceh, seperti dikemukakan Pakar Ekonomi USK dr Abdul Jamal.

Jadi Aceh mau pilih yang mana? (**)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *