Rahmah El Yunusiyyah Pengibar Bendera Merah Putih Pertama di Sumatera Tengah

  • Bagikan

PADANG PANJANG, HARIANINDONESIA.ID – Diniyah Putri, adalah legenda pendidikan di Indonesia. Dari sinilah kemudian lahir tokoh pergerakan perempuan di Padang Panjang. Salah satunya adalah pendiri sekolah Diniyah Putri itu sendiri yakni Rahmah El Yunusiyyah.

Kini, menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke 75, satu lagi kesaksian sejarah tentang sikap heroisme Diniyah Putri dan Rahmah El Yunusiyya terungkap.

Ternyata, pengibaran bendera merah putih pertama kali di Sumatera Tengah adalah di Padang Panjang, tepatnya di Sekolah Diniyah Putri dan dilakonkan sendiri oleh Rahmah El Yunusiyyah. Itu terjadi pada tanggal 19 Agustus 1946. Etek Rahmah tidak merasa takut sedikitpun saat mengibarkan Sang Merah Putih itu.

Masyarakat sekitar hanya bisa melihat dari jauh tindakan heroisme Rahmah yang mengibarkan Bendera Merah Putih dengan bersemangatnya. Tindakan berani Rahmah dengan cepat menyebar dan menjadi buah bibir masyarakat Padang Panjang dan Batipuah X Koto.

Siapa pejuang perempuan dan pemberani bernama Rahmah ini sebenarnya?

Perempuan pemberani ini bernama lengkap Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, lahir di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Hindia Belanda, 26 Oktober 1900 . Dia meninggal di Padang Panjang, Sumatra Barat, 26 Februari 1969 pada umur 68 tahun.

Rahmah adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi.

Sewaktu Revolusi Nasional Indonesia, ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padangpanjang serta menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka.

Rahmah Pendiri Diniyah Putri dan berafiliasi politik ke Partai Masyumi. Ayah Rahmah bernama Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan ibunya bernama Rafia. Rahmah memiliki seorang abang bernama Zainuddin Labay El Yunusy dan seorang sepupu bernama Isnaniah Saleh.

Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya itu, Zainuddin Labay El Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri, Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau.

Selain itu, ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya, ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923 yang tercatat sebagai sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia.

Sewaktu pendudukan Jepang di Sumatra Barat, Rahmah memimpin Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di Padangpanjang dan mengerahkan muridnya ikut serta melawan penjajah walaupun dengan kesanggupan mereka dalam menyediakan makanan dan obat-obatan.

Ia ditangkap oleh Belanda pada 7 Januari 1949 dan ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Keberadaan Diniyah Putri kelak menginspirasi Universitas Al-Azhar membuka Kulliyatul Lil Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Dari Universitas Al-Azhar, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syekhah”—yang belum pernah diberikan sebelumnya—sewaktu ia berkunjung ke Mesir pada 1957, setelah dua tahun sebelumnya Imam Besar Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyah Putri. Di Indonesia, pemerintah menganugerahkannya tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana secara anumerta pada 13 Agustus 2013.

Baca Naskah Proklamasi di Rumah Dr Rasyidin

Seperti ditulis situs berita kenamaan di Padang, Topsatu.com, Rahmah terpicu semangatnya mengibarkan bendera merah putih setelah
Soekarno dan Muhammad Hatta membacakan teks proklamasi di Jl. Penggasaan Timur, Jakarta. Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945.l pukul 10.00 pagi.

Kabar gembira itu kemudian dikirim ke seluruh wilayah nusantara, ada yang melalui radio ada pula melalui telegram. Sumatera yang waktu itu masih terisolasi, baru menerima kabar tersebut habis berbuka puasa di Bukittinggi.

“Kabar itu diterima seseorang di Bukittinggi melalui telegram. Menggigil lututnya saat menerima kabar gembira itu,” kata Khairul Jasmi, pemerhati sejarah asal Supayang, Tanah Datar seperti dikutip Topsatu.com

Kabar itu pun kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Sumatera Tengah, termasuk kota kecil Padang Panjang. Dua hari kemudian, tepatnya 19 Agustus, salah seorang pejuang M. Sjafei membacakan proklamasi di rumah dr. Rasyidin. Sjafei antara percaya dan tidak, pada awalnya. Akhirnya ia yakin. Dibuatlah pertemuan di Padang Panjang. Tokoh ini membacakan teks Proklamasi. Pertama di Sumatera Tengah, bahkan mungkin di Sumatera.

SIMAK JUGA :  Putera Dewan Kehormatan Kadin Sumbar Basril Djabar, Hendri Gunawan Meninggal Dunia

Siapa M Syafei yang membacakan naskah Proklamasi di Padang Panjang itu? Pejuang bernama lengkap Dr. (H.C.) Muhammad Sjafei adalah kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, 21 Januari 1896 dan meninggal 11 November 1966 pada umur 70 tahun.

M Syafei adalah seorang tokoh pendidikan Indonesia. Ia merupakan pendiri INS Kayutanam, sebuah lembaga pendidikan menengah swasta yang bercorak khusus di Kayu Tanam, Padang Pariaman, yang banyak melahirkan tokoh masyarakat di kemudian hari.

Muhammad Sjafei adalah mantan Menteri Pengajaran Republik Indonesia ke-3 dengqn masa jabatan
12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946 menggantikan pendahulunya, Todung Sutan Gunung Mulia. M Syafei kemudian digantikan oleh Soewandi.

M Syafei dibesarkan oleh orangtua angkat bernama Ibrahim Marah Soetan dan Andung Chalijah, alumnis Kweekschool, Fort de Kock

Muhammad Sjafei merupakan tokoh masyarakat di Sumatra Barat meskipun ia berdarah Jawa asal Kediri. Ia diangkat anak dan sangat disayang oleh Ibrahim Marah Soetan, seorang tokoh pendidik pada awal abad ke-20, ketika Ibrahim bertugas sebagai pendidik di Pontianak, Kalimantan Barat.

Ia kemudian disekolahkan ke Kweekschool atau Sekolah Raja di Fort de Kock (Bukit Tinggi) sepanjang tahun 1908 hingga 1914. Lalu pada tahun 1922 ia melanjutkan pendidikan ke Belanda dan kembali ke Tanah Air pada tahun 1926.

M Syafei meraih gelar Doctor Honoris Causa dari IKIP Padang pada tahun 1968.

Sayangnya sampai saat ini tidak ada yang mengetahui dimana persisnya rumah dr. Rasyidin tersebut. Namun, dari berbagai informasi yang dikumpulkan topsatu.com, rumah tersebut berada di pinggir Jalan Sukarno-Hatta, Bukit Surungan Padang Panjang.

Ada yang menyebut rumah tersebut dulunya berada di lokasi Ruko Fajar Harapan (seberang Masjid Jihadu Walidaina) saat ini. Namun ada pula yang menyebut berada di lokasi eks Radio Dian Erata.

“Kalau yang saya dengar dari orangtua saya, rumah dr. Rasyidin itu berada di lokasi Fajar Harapan saat ini. Soal pembacaan teks proklamasi itu, orangtua saya tidak pernah cerita,” kata Maiharman, salah seorang tokoh masyarakat Padang Panjang.

Tiang Sudah Diganti, Tapaknya Tetap Seperti Sekarang

Itulah. Dua hari setelah Engku M. Sjafei membacakan teks proklamasi itu, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, pendiri Perguruan Diniyyah Puteri, Rahmah Elyunusiyyah mengibarkan bendera Merah Putih di depan asrama perguruannya. Ia mengibarkan sendiri bendera itu, sementara warga lain melihat dari kejauhan.

“Nek Amah (Rahmah Elyunusiyyah) sendiri yang mengibarkan. Warga lain tidak berani, mereka menyaksikan dari kejauhan,” cerita Faiz Fauzan Dt. Bagindo Marajo, salah seorang cicit Rahmah Elyunusiyyah.

Faiz mengaku, nenek buyutnya itu mendapat kabar Indonesia merdeka dari sahabatnya bernama Rakena, warga Paninjauan. “Cerita yang saya dengar, Buk Rakena mendapatkan informasi melalui radio. Beliau mengabarkan kepada nek Amah, lalu nek Amah mengibarkan bendera di depan asrama ini,” tuturnya.

Tiang bendera itu kini memang tidak ada lagi. Tiang yang ada sekarang, yang terpasang persis di titik yang sama, sudah beberapa kali berganti.

“Kalau tiangnya memang sudah beberapa kali berganti, namun tapaknya masih sama. Tidak berpindah sama sekali, memang di sini dulunya nek Amah mengibarkan bendera,” ujarnya.

Pengibaran bendera oleh Rahmah Elyunusiyyah itu kabarnya merupakan yang pertama untuk wilayah Sumatera Tengah. Warga kota dan Batipuah, datang membuktikan sendiri.

Benar saja, di Sikolah Etak Amah, berkibar bendera Merah Putih. Hari-hari kemudian rakyat Padang Panjang dan Batipuah X Koto ramai-ramai mengibarkan bendera. Ada yang dari blacu banyak dari kertas minyak. Kisah Etek mengibarkan bendera merah putih telah membangkitkan semangat merdeka.

Sebagai salah satu tokoh perempuan pejuang pendidikan dan tokoh kemerdekaan, dan menjadi orang pertama yang mengibarkan merah putih di wilayah Sumatra Tengah, sudah saatnya Presiden Jokowi memberikan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional kepada Rahmah Elyunusiyyah.

Sebab sampai hari, buah dedikasi dan perjuangannya membangun sekolah bagi kaum hawa, sampai hari ini masih tetap eksis. Jarang juga hasil perjuangan tokoh kemerdekaan bisa bertahan selama Indonesia merdeka 75 tahun.

Ada yang harus dicatat oleh Presiden Jokowi bahwa sebagai komandan TKR perempuan, Rahmah pernah ditahan dan didenda Belanda 100 gulden. Ia usahakan pakaian sendiri untuk pasukannya, ia jadikan Diniyyah Puteri sebagai rumah sakit darurat. 

(Awaluddin Awe, dari berbagai sumber)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *