Moeldoko, SBY, Yusril dan Karma Politik

  • Bagikan

Moeldoko, SBY dan Yusril. Foto: Ilustrasi

“TERMASUK rasa malu dan rasa bersalah saya yang dulu beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya, Saya mohon ampun atas kesalahan saya itu,” ujar SBY saat jumpa pers.

Peristiwa dan gejolak di Partai Demokrat itu sangat mengejutkan. Secara umum mengundang kontroversi dan dilihat dari etika tidak patut dijadikan tauladan bagi pelaku politik. Sejak semula tanggapan Moeldoko di media tidak mau terlibat dan tidak tahu menahu konflik internal Partai Demokrat tapi diakhir KLB Partai Demokrat itu menerima amanah dari KLB sebagai Ketua Umum dan ternyata hadir.

Besar kemungkinan dualisme kepemimpinan Partai Demokrat itu akan berakhir di meja pengadilan, apakah itu pengadilan umum atau pengadilan tata usaha, boleh jadi akan berujung sampai tingkat kasasi MA.

Ungkapan SBY itu (di atas) menunjukkan rasa sesal dan boleh jadi Moeldoko dianggap tak berterima kasih sebagai orang yang pernah diangkat sebagai Kasad dan Panglima TNI pada waktu jaman SBY.

Ini juga mengingatkan pada waktu Pemilihan Presiden tahun 2004. Kala itu SBY menjadi capres berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai cawapres yang dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang dan PKPI. Pasangan lain Wiranto – Solahuddin Wahid (Golkar-PKB), Megawati – Hasyim Muzadi (PDI-P), Amien Rais – Siswono Yudohusodo (PAN – PKS) dan Hamzah Haz – Agum Gumelar (PPP).

Sebenarnya SBY tidak bisa mencalonkan karena perolehan suara Pemilu 2004 Partai Demokrat hanya 7,45%, ketentuan UU Pilpres saat itu ambang batasnya menimal 10% perolehan suara dari suara sah nasional. Partai Bulan Bintang saat itu memperoleh 2,62% dan PKPI hanya 1 koma sekian.

Jadi SBY waktu itu jangankan jadi Presiden mencalonkan saja tak bisa, kecuali harus mendapat “keikhlasan” dari PBB.

Setelah menang dan dinyatakan sebagai Presiden, pembagian kursi kabinet dilakukan secara proporsional termasuk parta-partai yang bergabung pada putaran kedua. PBB mendapatkan 3 kursi Menteri, Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra (ini karena kesepakatan sejak awal pada masa-masa pencalonan), Menteri Kehutanan, MS. Kaban (Sekjen PBB) dan Jaksa Agung, Abdurrahman Saleh, mantan Hakim Agung yang sebelumnya adalah pendiri dan pengurus Partai Bulan Bintang dan aktivis LBH.

Pertengahan periode, tahun 2007 Yusril Ihza Mahendra dan Abdurrahman Saleh diberhentikan dari jabatannya tanpa menunjuk alasan apapun dan tidak digantikan dari Partai Bulan Bintang.

Yusril Ihza Mahendra diganti oleh Hatta Rajasa dan Abdurrahman Saleh diganti oleh anak emas SBY, Hendarman Supanji seorang jaksa karir.

Maka praktis PBB hanya tinggal satu kursi di kabinet yakni Menteri Kehutanan, MS. Kaban. Sekjen PBB) dan Jaksa Agung, Abdurrahman Saleh, mantan Hakim Agung yang sebelumnya adalah pendiri dan pengurus Partai Bulan Bintang dan aktivis LBH.

Dikesempatan pertemuan dengan DPW PBB se Indonesia untuk menentukan sikap partai pasca pemberhentian 2 (dua) kader partai itu Yusril hanya bisa menjawab itu adalah hak preogratif Presiden. Memang demikian menurut UUD. Sebagai Ketua Majelis Syuro dan pribadi Yusril menasehatkan

SIMAK JUGA :  Akademisi NU Sebut SBY Maling Duit Negara

Syuro dan pribadi Yusril menasehatkan kepada aparat partai dengan mengutip pendapat seorang ahlul-hikmah “Barang siapa dapat memahami hakekat dari Al-Awwal dan Al-Akhir maka tentram hidupnya” begitu pula soal jabatan

Setelah itu Yusril ditawari sebagai Dubes RI untuk Malaysia tapi jabatan itu ditolaknya dan selang beberapa bulan melalui Wapres Jusuf Kalla menawari jabatan Menteri Dalam Negeri yang saat itu Muhammad Ma’ruf (Mandagri) sakit keras tapi tawaran itu ditolaknya, belakangan diganti oleh Mardianto, Gubernur Jawa Tengah.

Dikesempatan lain SBY secara langsung juga menawari Yusril menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi itupun ditolaknya, karena juga menyadari menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi bukan kewenangan Presiden dan akan meninggalkan keanggotan partai.

Tapi jika SBY memerlukan pendapat hukum dari Yusril ditanggapinya secara positif dengan mengemukakan pendapat yang obyektif dalam perpektif hukum.

Dibeberapa kesempatan Yusril menyampaikan bahwa pencalonan SBY-JK itu tidak semata-mata soal koalisi antar partai tapi lebih dari itu Koalisi SBY-JK-YIM, karena mereka bertiga merasa ada chemestry, kerja sama yang baik dalam memecahkan masalah nasional selama dalam kabinet, masing-masing sebagai Menkopolkam, Menko kesra dan Menteri Hukum & Perundang-undangan.

Anehnya pada periode kedua SBY, SBY sempat memperkarakan Yusril dalam kasus korupsi Sisminbakum melalui Kejaksaan Agung, padahal sebelumnya menurut audit BPK tidak unsur kerugian negara dan menurut KPK tidak ada unsur korupsi. Konon tuduhan korupsi itu sengaja dilakukan oleh lingkungan sekitar SBY.

Tuduhan korupsi kontroversial itu berakhir dengan dipaksannya SBY oleh Yusril sebagai saksi meringankan bersama Megawati, Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie di Kejaksaan Agung meskipun SBY dan Megawati tidak sempat datang ke kejaksaan, dan diturunkannya Hendarman Supanji sang anak emas dari Jaksa Agung oleh Mahkamah Konstitusi setelah Yusril melakukan uji tafsir terhadap UU kejaksaan ke MK. Sisminbakum bukan kemauan Yusril sendiri sebagai Menkumdang tapi merupakan kebijakan dan keputusan rapat kabinet jaman Gus Dur yang dihadiri oleh Megawati (Wapres), SBY, Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie yang masing-masing sebagai menteri.

Konon ada juga upaya-upaya intervensi di rumah tangga partai-partai sehingga terjadi disharmoni dan kericuhan dalam tubuh partai non Partai demokrat.

Belum lagi manuver SBY terhadap Yusril menjelang Pilkada DKI yang lalu. SBY memberikan angin segar untuk mencalonkan Yusril sebagai Gubernur DKI dengan akan memberi Partai Demokrat dan pengaruhnya kepada partai lain tapi akhirnya Yusril ditinggalkan, itu tercermin dari pernyataan pimpinan partai-partai selain Partai Demokrat saat mencalonkan AHY sebagai Cagub DKI bahwa pencalonan AHY adalah kemauan SBY.

Sesungguhnya peristiwa “Pembajakan Kepemimpinan” itu mengundang rasa prihatin tapi karena “korbannya” itu adalah SBY-AHY-Partai Demokrat maka RASA PRIHATIN MENJADI TIDAK BERARTI.

Apakah ini KARMA POLITIK ?

Alhasil budaya politik kita masih dilingkupi budaya politik yang tak beretika dan adagium “Tidak ada kawan abadi, yang ada kepentingan yang abadi” akan selalu mengiringi setiap perilaku politik

Wa Allahu a’lam

Oleh: Rizal Aminuddin

Sumber :Abadikini.com

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *