Menilik Ujaran Gubernur Meminta Mundur Direksi Bank Nagari, dalam Perkara Konversi Bank Syariah

  • Bagikan

Oleh : Awaluddin Awe)*

PUBLIK tiba tiba dikejutkan oleh pernyataan Gubernur Sumbar Mahyeldi yang meminta Direksi Bank Nagari yang tidak setuju dengan konversi Bank Nagari menjadi bank syariah, sebaiknya mundur saja.

Pernyataan ini dikutip oleh banyak media lokal dan nasional. Dan, sekarang menimbulkan kehebohan dan kepanikan luar biasa. Seorang pemegang saham pengendali di Bank Nagari dengan total modal disetor senilai Rp550 miliar lebih atau sekitar 31 persen dari total nilai saham di Bank Nagari, tiba tiba mengancam Direksi Bank Nagari untuk mundur saja kalau tak setuju dengan konversi ke syariah.

Saya menilai, sudah terjadi perbedaan pandang yang tajam antara Gubernur dengan Direksi Bank Nagari. Dari bahasa Mahyeldi, dapat ditangkap, pasti ada Direksi yang tidak setuju dengan usulan perubahan Bank Nagari menjadi bank syariah.

Alasannya pasti ada. Pertama, bahwa Bank Nagari saat ini sudah memiliki satu Usaha Unit Syariah yang perkembangannya memang cukup lamban. Pertumbuhan modalnya juga lambat. Sebab apa, para pemegang sahamnya memang gak punya uang cukup untuk menambah modal USS tersebut.

Kedua, pertumbuhan Bank Nagari sendiri cukup bagus. Kabar terakhir bank daerah ini bisa membukukan laba sebesar Rp400 miliar lebih, dengan total modal inti Rp3 triliun.

Ketiga, perkembangan portofolio Bank Nagari secantik ini baru berhasil dicapai setelah 50 tahun lebih bank ini berdiri. Artinya, butuh waktu cukup lama untuk membesarkan Bank Nagari Sumbar ini.

Pertumbuhan pesat ini adalah akibat dedikasi dan loyalitas yang tinggi dari para direksi dan karyawannya. Tidak mungkin, direksi yang ogah ogahan akan mampu membangun citra Bank Nagari menjadi sebaik ini.

Dengan kapasitas 35 persen dari portofolio perbankan di Sumbar yang dikuasai Bank Nagari, saya pikir direksi Bank Nagari sudah sangat andal. Jadi sangat aneh, jika tiba tiba Gubernur mengeluarkan statemen, jika ada direksi yang tak setuju dengan konversi bank syariah silahkan mundur.

Pertanyaan saya, jika semua direksi memang mundur serentak, bersama staf pimpinan lain, apa bisa Gubernur mengatasi problem yang akan terjadi di Bank Nagari setelah itu.

Saya berpandangan, Gubernur harus meralat kembali pernyataan tentang hal ini. Sebab sebuah bank bukan alat politik yang bisa diutak atik sesuka hati dan apalagi untuk kepentingan politik praktis.

Gubernur harus paham bahwa mengelola sebuah bank perlu tindakan yang hati hati (prudent). Tidak bisa sekuati awak. Jika terjadi goncangan, bank bisa rush. Para pemilik dana bank akan menarik uangnya dan Bank Nagari akan kolaps.

Kebijakan perubahan status Bank Nagari menjadi bank syariah tidak bisa mengejar target. Butuh proses waktu dan pemahaman publik, termasuk oleh para debitur dan deposannya.

Apakah Gubernur Sumbar punya dana talangan segar untuk mengganti dana yang keluar dari bank karena panik melihat situasi akibat pernyataannya di media?

Mahyeldi jangan membuat situasi panik di bank. Dia bisa dituntut karena menimbulkan dan kepanikan di bank. Kepanikan di Bank Nagari bisa menjadi kehebohan juga di Bank Daerah lain di Indonesia, yang juga dikejar target selama waktu 15 bulan ke depan untuk memutuskan kebijakan perbankan syariah ini.

Bank Nagari meskipun milik pemerintah propinsi dan kabupaten dan kota tetapi mereka tidak bisa berbuat semena mena dalam mengambil tindakan. Apalagi memprovokasi direksi di media. Ini satu kesalahan fatal yang dilakukan seorang gubernur. Ini menunjukan ketidakpahaman Mahyeldi terhadap kebijakan pengelolaan sebuah bank.

Siapa yang bisa menjamin pemilik dana besar yang konon kabarnya sampai berjumlah Rp8 triliun, akan tenang tenang saja menanggapi pernyataan gubernur terhadap direksi bank tempat dia menyimpan dananya. Mereka pasti membuat ancang ancang, yang bisa bisa membuat Bank Nagari jadi kolaps, karena memindahkan dananya ke bank lain.

Soal investor Arab, siapa bisa menjamin akan masuk 100 persen ke Bank Nagari tanpa melalui proses yang ketat di otoritas perbankan nasional. Emangnya gampang memasukan modal asing tanpa lewat saringan ketat.

Saya ingatkan, kasus masuknya modal tanpa mekanisme yang terukur akan menimbulkan kecurigaan dari otoritas perbankan nasional, baik OJK maupun Bank Indonesia.

Menteri keuangan pun dengan tidak akan serta merta memberikan izin kepada investor Arab itu menumpuk uangnya di bank daerah selama tidak sesuai dengan aturan pengelolaan dana dana asing.

Memangnya gubernur mau menjual Bank Nagari kepada investor dengan mengabaikan potensi dan peluang ceruk pasarnya di Sumbar. Sudah mampu memguasai 35 persen pasar perbankan di Sumbar, Bank Nagari sudah hebat. Apakah Bank Nagari dengan logo Arab itu akan bisa mengambil porsi diatas 60 persen dari perbankan Sumbar?

Itu sebuah mimpi yang musykil menurut saya. Bermimpi pada saat matahari tegak. Pasar perbankan di Sumbar tidak bisa dipaksa lebih besar lagi, sebab daerah ini rendah pertumbuhan sektor usahanya. Kapasitas yang dimiliki Bank Nagari saat ini sudah sangat ideal.

Jika Pemprof Sumbar mau sedikit lagi mengambil tambahan porsi Bank Nagari, maka Pemprof dan kabupaten kota harus tambah modal lagi. Tapi sayangnya, Pemprof ini hanya bisa berlagak saja mau menambah modal. Tapi dana tidak punya.

Sekarang Gubernur seperti memaksa Direksi Bank Nagari untuk menerima konversi menjadi bank Syariah. Padahal masih ada pilihan untuk menjadikan UUS jadi Bank Syariah Nagari.

Artinya, dengan skema ini Pemprof Sumbar memiliki dua bank sekaligus yakni Bank Nagari konvensional dan Bank Syariah Nagari, sama seperti dilakukan Bank BUMN sekarang membentuk Bank Syariah Indonesia (BSI).

Dan, Gubernur Sumbar harus memahami bahwa kebijakan tentang pembentukan perbankan syariah sampai ke daerah, tidak pernah menyebutkan harus membunuh induknya, bank konvensional, tetapi salah satunya itu membentuk bank syariah tersendiri, seperti cikal bakal UUS Bank Nagari sekarang.

Pertanyaannya, mengapa Gubernur Sumbar sampai harus kebakaran jenggot memaksa Direksi Bank Nagari harus menerima bank syariah secara total. Alasannya apa? Alasan riba dan haram?

Menurut hemat saya, persoalan riba dan haram itu bisa dikompalasi pada Bank Syariah Nagari yang bisa dibentuk. Siapa suka riba masuk ke Bank Nagari konvensional dan yang tak mau riba masuk ke Bank Syariah Nagari. Fair menurut saya.

Tetapi jika Gubernur Sumbar memiliki tujuan tertentu dalam propoganda konversi Bank Nagari ini, misalnya untuk tujuan politik praktis dan memberikan kesan partainya menolak praktik riba, sebaiknya saya sarankan pak Gubernur saja yang mundur. Sebab itu ideologi yang berbeda.

Bank bukan ranah politik. Bank adalah institusi bisnis. Gubernur sebagai pemegang saham mayoritas harus menghargai prinsip bisnis itu. Jika Gubernur memaksakan kehendak, sementara sumberdayanya tidak mendukung atas dasar pengetahuan mereka, saya mengkuatirkan Bank Nagari akan anjlok.

Pengalaman di NTB dan Aceh mengajarkan bagaimana mereka jungkir balik mempertahankan prinsip perbankan syariah dan harus menggunakan dana cukup besar untuk menyelamatkan bank mereka. Meski kini mereka berdiri jadi bank syariah, perkembangannya juga tidak bagus bagus amat.

Dan Gubernur Sumbar yang terhormat harus memahami, pasar perbankan Syariah saat ini hanya berkisar 8-9 persen. Jika Gubernur mengartikan semua pasar itu bisa diambil oleh Bank Nagari Syariah, maka saya acungkan dua jempol kepada pak Gubernur.

Tetapi menurut hemat saya, itu hanya sebuah mimpi saja. Bukalah mata pak Gubernur kembali. Lihat persoalan ini dengan jernih, kepentingan Sumbar secara keseluruhan.

Saran saya kepada pak Gubernur : serahkan bank kepada ahlinya.

*) Penulis adalah wartawan dan Pemimpin Umum Harianindonesia.id Jakarta, Pemimpin Redaksi Kabarpolisi.com Jakarta dan pernah menjadi wartawan Bisnis Indonesia Jakarta

SIMAK JUGA :  ANALISIS : Tambal Sulam Penanganan Corona di Indonesia
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *