Usulan Pengendalian Kelahiran Bagi Penerima Bansos di Jawa Barat Picu Diskusi Publik

Usulan Pengendalian Kelahiran Bagi Penerima Bansos di Jawa Barat Picu Diskusi Publik

Kdm vasektomi
Kdm vasektomi

Penulis: Daddy Palgunadi – Aktivis Jawa Barat Istimewa

Bandung – Lonjakan angka kelahiran di Jawa Barat kembali menjadi sorotan, seiring pernyataan Gubernur yang mengusulkan kebijakan pengendalian jumlah anak bagi penerima bantuan sosial (bansos). Usulan ini muncul sebagai respons atas kondisi lapangan yang menunjukkan bahwa banyak keluarga miskin memiliki jumlah anak yang tinggi, sementara akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan masih terbatas.

“Jawa Barat punya banyak program bantuan – mulai dari bantuan rumah, listrik gratis, hingga beasiswa untuk siswa, santri, bahkan calon tenaga engineer. Tapi semua itu tak akan efektif kalau jumlah tanggungan keluarga terus bertambah,” ujar Gubernur dalam sebuah pertemuan publik, Selasa (6/5).

Data menunjukkan angka kelahiran di Jawa Barat mencapai sekitar 900.000 kelahiran per tahun. Gubernur menyampaikan keprihatinan karena mayoritas keluarga penerima bantuan memiliki lebih dari tiga anak, bahkan dalam beberapa kasus mencapai sebelas.

“Saya sering menerima keluhan dari warga miskin yang tak mampu membayar biaya persalinan. Ada yang terjebak utang hingga puluhan juta rupiah hanya untuk melahirkan. Ini menyedihkan sekaligus menyadarkan kita akan pentingnya perencanaan keluarga,” katanya.

Pemerintah Provinsi pun tengah mempertimbangkan opsi agar program keluarga berencana (KB) menjadi bagian integral dari syarat penerimaan bantuan, tanpa bermaksud melanggar hak asasi atau nilai keagamaan.

“Anak adalah anugerah dari Tuhan, tapi setiap kelahiran juga membawa tanggung jawab. Jangan sampai anak lahir tanpa jaminan masa depan yang layak,” tegasnya.

Terkait metode pengendalian kelahiran seperti vasektomi, pernyataan Gubernur itu memicu kontroversi. Sebab, Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih menyatakan bahwa vasektomi haram, kecuali dalam kondisi darurat medis. Namun, diskursus publik mulai mempertanyakan apakah kebijakan pengendalian kelahiran demi kesejahteraan rakyat bisa menjadi alasan darurat sosial yang layak dipertimbangkan.

Dalam konteks ini, wacana pengendalian kelahiran tidak hanya berkaitan dengan aspek medis atau moral, tetapi juga menyentuh kebijakan sosial, keadilan distribusi bansos, dan visi pembangunan jangka panjang.

Sejumlah pihak mendukung gagasan tersebut dengan alasan efisiensi anggaran dan peningkatan kualitas hidup keluarga miskin. Sementara kelompok lain mengingatkan pentingnya kehati-hatian agar kebijakan ini tidak menimbulkan diskriminasi atau pelanggaran hak reproduksi.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyatakan akan membuka ruang dialog dengan berbagai pihak, termasuk tokoh agama, akademisi, dan organisasi masyarakat, sebelum menerapkan kebijakan lebih lanjut.

“Tujuan utama kami bukan membatasi, tapi menjamin. Kami ingin setiap warga Jawa Barat bisa hidup sejahtera dengan jumlah anak yang sesuai dengan kemampuan mereka,” pungkas Gubernur.