Diskusi SATUPENA, Jodhi Yudono: Masih Ada Jarak Antara Puisi dan Masyarakat

  • Bagikan
Jodhi Yudono.

JAKARTA – Masih ada jarak antara puisi dan masyarakat, saat puisi itu dimusikalisasikan. Fenomena itu dinyatakan oleh musisi, penyair dan wartawan Jodhi Yudono.

Jodhi Yudono adalah pembicara dalam diskusi bertema Menghayati Nyanyian Puisi. Diskusi itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 12 Oktober 2023.

Diskusi yang menghadirkan Jodhi Yudono itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA.

Jodhi menjelaskan, ketika orang awam mendengar tentang musikalisasi puisi, mereka tenggelam, masuk ke dalam ketidaktahuan atas puisi-puisi yang dimusikalisasikan.

“Sebab musik memang menjadi unsur utama, sementara puisi itu sudah melebur menjadi karya atau komposisi musik. Bahkan biasanya puisi-puisi itu tidak dinyanyikan,” tambahnya.

Jodhi juga menuturkan pemakaian istilah “nyanyian puisi” dan bukan “musikalisasi puisi.” Belajar musik secara otodidak, ia adalah penulis puisi dan musisi dengan ilmu sangat terbatas.

“Saya kemudian tahu diri, setelah sekian lama menyanyikan banyak puisi, baik puisi karya sendiri maupun orang lain. Betapa saya malu menggunakan istilah musikalisasi puisi,” ujarnya.

“Karena bekal ilmu saya yang cetek ini belum cukup mampu menginterpretasikan puisi ke dalam komposisi musik,” kata Jodhi.

Menurut Jodhi, ketika seorang musisi menggubah puisi ke karya baru dalam bentuk komposisi musik, itu betul-betul membutuhkan kepiawaian atau keluasan ilmu pengetahuan tentang musik.

Jodhi menyebutkan contoh tiga nama musisi terkemuka, yang dianggapnya layak melakukan musikalisasi puisi. Yakni: pianis Ananda Sukarlan, komposer Slamet Abdul Sjukur, dan Tony Prabowo.

Pianis Ananda Sukarlan, yang namanya besar di Eropa, menginterpretasikan puisi-puisi karya Goenawan Mohamad ke dalam komposisi musiknya. Hal semacam itu juga yang dilakukan komposer Slamet Abdul Sjukur.

Sedangkan komposer Tony Prabowo menginterpretasikan puisi Goenawan Mohamad yang berjudul “Dongeng Sebelum Tidur” untuk soprano dan ensembel campuran. Karya ini pada 1996 dipentaskan di Jakarta dan Belanda. Karya ini juga pernah dipentaskan di New York, Amerika.

SIMAK JUGA :  Kasus Positif Menurun, Sebaran Meluas, Ini Hasil Evaluasi PSBB di Bodebek

Jodhi mengakui, yang ia lakukan ini bukanlah hal yang baru. Orang sudah mengerjakan apa yang ia kerjakan hari ini.

“Kita tentu mengenal nama Ismail Marzuki, dengan lagu-lagunya yang sangat puitis. Sebutlah Selendang Sutra, Halo Halo Bandung, Rayuan Pulau Kelapa, Rindu Lukisan, Juwita Malam,” ujarnya.

“Sesudah itu ada komposer Mochtar Embut, yang juga luar biasa karya-karya dari puisi yang ia ciptakan sendiri. Seperti Di Wajahmu Kulihat Bulan, Kasih Ibu,” tambahnya.

“Saya rasa, kita tak bisa mengelak bahwa lagu-lagu Ismail Marzuki dan Mochtar Embut itu adalah karya puisi yang kemudian dinyanyikan,” kata Jodhi. (K) ***

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *