Oleh : Aswadi Munir*)
Hand phone saya tiba bergetar, di laman Face Book tiba-tiba bermunculan deretan foto dan video yang dikirim oleh grup Sahabat Dedy Mulyadi (SDM), mantan Bupati Purwakarta, yang kini menjadi Gubernur Jawa Barat.
Konten sepertinya memang sengaja dibuat untuk public yang ingin melihat keseharian sang gubernur dalam berkegiatan
Didalam konten tersebut tampil foto-foto dan video, sang gubernur sedang dilapangan, ada yang sedang masuk kali, mengangkat sampah, ada yang sedang menginspeksi Kawasan wisata di Puncak, Bogor, dan banyak lagi postingan lainnya.
Ia memanfaatkan platform ini untuk memperlihatkan kedekatannya dengan masyarakat melalui unggahan kegiatan lapangan.
Namun, di balik strategi komunikasi yang terlihat cerdas ini, terdapat sejumlah tantangan dan potensi risiko yang patut dicermati.
Komunikasi yang Responsif dan Partisipatif
Deddy Mulyadi mengadopsi pendekatan komunikasi yang bersifat partisipatif.
Ia aktif berinteraksi dengan masyarakat, memberikan informasi tentang program-program pemerintah, dan merespons keluhan publik.
Dalam konteks teori komunikasi, ini menciptakan ruang dialog yang memungkinkan masyarakat merasa terlibat.
Namun, keberhasilan ini tidak lepas dari risiko bahwa komunikasi yang terlalu masif dapat menimbulkan kesan superficial atau dangkal.
Narasi yang Terbangun: Citra Pemimpin atau Keterasingan?
Setiap unggahan yang berisi foto dan video kegiatan Deddy bertujuan untuk membangun citra positif sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.
Namun, ada pertanyaan mendasar: seberapa dalam pemahaman Deddy terhadap isu-isu yang dihadapi masyarakat?
Dalam upayanya untuk membangun narasi, ada kekhawatiran bahwa ia mungkin lebih fokus pada pencitraan daripada substansi.
Kritikus menyebutkan bahwa terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk berpromosi di media sosial dapat mengalihkan perhatian dari tanggung jawab utama sebagai gubernur.
Risiko Overexposure dan Distraksi
Salah satu tantangan besar dari komunikasi masif adalah risiko overexposure. Jika masyarakat terlalu sering disuguhkan dengan konten yang sama, ada kemungkinan bahwa perhatian mereka mulai berkurang.
Dalam konteks ini, Deddy Mulyadi harus mengingat bahwa komunikasi bukan hanya soal kuantitas, tetapi juga kualitas.
Terlalu banyak postingan yang tidak memberikan nilai tambah dapat membuat publik merasa jenuh, bahkan skeptis terhadap niat baik yang ingin ditunjukkan.
Pengaruh Terhadap Kebijakan dan Tindakan Nyata
Sementara Deddy Mulyadi menciptakan citra positif di dunia maya, penting untuk mengevaluasi apakah kegiatan di media sosial tersebut diikuti oleh tindakan nyata yang berdampak pada masyarakat.
Ada risiko bahwa fokus pada komunikasi digital dapat mengalihkan perhatian dari implementasi kebijakan yang seharusnya menjadi prioritas.
Masyarakat membutuhkan lebih dari sekadar janji dan citra; mereka ingin melihat hasil nyata dari kebijakan yang diusung.
Kesimpulan: Antara Strategi dan Realitas
Strategi komunikasi yang masif dan interaktif yang diterapkan oleh Deddy Mulyadi memang memiliki kelebihan dalam menciptakan citra positif dan kedekatan dengan masyarakat.
Namun, di balik kesuksesan itu terdapat tantangan yang tidak bisa diabaikan. Keseimbangan antara komunikasi yang efektif dan tindakan nyata menjadi kunci untuk mempertahankan kepercayaan publik.
Deddy harus memastikan bahwa langkah-langkah yang diambilnya tidak hanya terlihat baik di media sosial, tetapi juga tercermin dalam kebijakan yang berdampak langsung bagi masyarakat.
Dalam dunia politik yang semakin kompleks, komunikasi yang efektif harus disertai dengan komitmen terhadap aksi nyata, agar tidak terjebak dalam ilusi pencitraan semata.
Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik, berdomisili di Jakarta