Jalan Tengah China Mengatasi Isu Perubahan Iklim (Part 1)

Oplus_131072

Oleh : Arcandra Tahar*)

(Redaksi Harianindonesia.id memperoleh kepercayaan dari Arcandra Thahar, mantan Menteri ESDM untuk memuat tulisan beliau terkait dengan isu energi global secara berseri mulai hari ini. Selamat membaca.)

Pada tahun 2007 China mendapat tekanan luar biasa dari negara-negara maju yang tergabung dalam the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk menurunkan emisi gas buang (CO2).

Saat itu total emisi yang dihasilkan oleh China sudah melebihi Amerika Serikat dan bahkan sudah mendekat 60% dari total emisi yang dihasilkan oleh seluruh negara OECD.

Dengan data ini, adalah sangat beralasan bagi negara maju untuk khawatir dengan apa yang dilakukan oleh China dalam mengejar pertumbuhan ekonominya.

Penggunaan batubara yang melimpah di China dijadikan dasar untuk memenuhi kebutuhan kelistrikan dan industri pengolahan mineral dan logam.

Dengan strategi ini, China mampu bersaing untuk memasarkan produk-produk industrinya ke seluruh negara di dunia.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah China dalam menghadapi tekanan ini?

Apakah China takut produk ekspornya kalah bersaing dengan negara maju karena punya emisi carbon yang tinggi?

Dan apakah mereka menyerah dengan mempensiun-dinikan pembangkit batubara mereka?

Simak apa yang mereka lakukan :

Sebelum melakukan rencana aksi untuk mengatasi isu lingkungan ini, China menggunakan jalur diplomasi untuk menjawab tudingan negara-negara OECD terutama AS dan Eropa.

Ada tiga alasan utama yang disampaikan oleh pemerintah China dengan penuh percaya diri.

Pertama, emisi karbon kalau diukur per kapita maka China termasuk yang kecil dibandingkan AS, Jerman dan Jepang.

Pada tahun 2007, emisi karbon per kapita China hanya 5.5 ton/orang, sementara AS, Jerman dan Jepang menghasilkan emisi karbon masing-masing sebanyak 19 ton/orang, 9.5 ton/orang dan 10 ton/orang.

Menurut pemerintah China adalah tidak adil mengukur emisi karbon berdasarkan total emisi di suatu negara tanpa mempertimbangkan jumlah penduduknya.

Dengan ukuran ini terlihat bahwa emisi karbon per kapita China jauh dibawah AS dan Eropa.

Kedua, alasan yang disampaikan oleh pemerintah China dalam menghadapi tekanan negara maju adalah pada 2007 China masih merasa sebagai negara miskin yang sedang berkembang dan mulai bertransisi untuk menuju negara maju seperti Eropa dan AS.

Untuk itu negara maju tidak seharusnya menghalangi usaha China untuk mendapatkan standar hidup yang lebih baik.

Kita semua tentu paham bahwa ada emisi untuk kemewahan (luxury emission) seperti yang terjadi di negara maju dan ada emisi untuk bertahan hidup (survival emission) seperti yang terjadi di negara berkembang.

SIMAK JUGA :  Kabar Baik dari Bogor, Bima Arya Sembuh dari Virus Corona

Pada tahun 2007 China menyampaikan bahwa emisi karbon mereka masih dalam tahap untuk bertahan hidup bukan untuk kemewahan.

Ketiga, alasan yang disampaikan pemerintah China adalah emisi karbon yang meningkat di China bukan semata keinginan didalam negeri tapi juga karena negara maju memindahkan industri pengolahan mineral dan logam (smelter) ke China.

Negara maju sangat sadar bahwa dalam rantai produksi mineral dan logam yang dimulai dari tambang, pengolahan (smelter), produk industri (produk manufaktur) sampai ke high tech dan jasa maka ongkos lingkungan terbesar terletak pada tahap penambangan dan pengolahan. Sementara untuk produk industri, high tech dan jasa, ongkos lingkungannya kecil.

Untuk itu kalau rantai produksi (hilirisasi) ini berhenti pada tahap smelter maka yang didapat oleh negara China hanya beban lingkungan yang besar dan kalaupun ada keuntungan secara keuangan maka keuntungan itu pun sangat tipis.

Bahkan pada saat-saat tertentu smelter itu merugi karena fluktuasi harga logam dan mineral di pasar yang selain bergantung pada supply demand, juga pada unsur spekulasi dari trader.

Disisi lain negara maju membeli produk dari smelter di China untuk dijadikan barang jadi yang punya nilai tambah yang lebih tinggi. Tidak jarang pula barang jadi dari negara maju di ekspor kembali ke China.

Dengan strategi ini, negara maju selain mendapatkan keuntungan lebih besar juga menjadikan emisi karbon di negaranya jadi turun. Dengan kata lain negara maju berhasil mengalihkan emisi karbon lewat investasi membangun smelter di China dan fokus mengembangkan industri berbasis teknologi tinggi dan jasa di negaranya.

Disinilah kesadaran kolektif dari pemimpin China muncul untuk melawan ketidakadilan ini. Pemerintah China pada tahun 2007 mengumumkan rencana aksi untuk mencari win-win solusi bagi China dan negara maju.

Apa saja rencana aksi ini? Simak tulisan kami selanjutnya.


Penulis adalah*) Sept 2023 – Nov 2024 Independent Commissioner
PT PLN Persero, Jakarta, Indonesia

Jan 2020 – Sept 2023 Chairman
PT PGN Tbk, Jakarta, Indonesia

Oct 2016 – Oct 2019 Vice Minister
Ministry of Energy and Mineral Resources the Republic of Indonesia

Nov 2016 – Nov 2019 Vice Chairman
PT Pertamina Persero, Jakarta, Indonesia

July 2016 – Aug 2016 Minister
Ministry of Energy and Mineral Resources the Republic of Indonesia

Oct 2013 – July 2016 President
Petroneering, LLC, Houston, Texas

Catatan
Diskusi ini dapat diikuti pada Instagram @arcandra.tahar
https://www.instagram.com/p/DINRPYNzGjS/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA==