Bantah Terima Rp 96 Miliar dari KPK, Kurnia Ramadhana : Hanya Rp 1,4 Miliar

  • Bagikan

ilustrasi : ICW

JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan klarifikasi atas beredar informasi hoaks yang menuduh ICW tidak dapat mempertanggungjawabkan dana sebesar Rp 96 miliar dari UNODC yang mengalir lewat KPK selama periode pimpinan Abraham Samad.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyampaikan bahwa isu ini kembali berhembus seiring dengan gencarnya ICW dan koalisi masyarakat sipil lainnya melakukan advokasi terhadap Test Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK yang membuat 51 pegawai KPK harus dipecat.

” Pada periode sebelum isu TWK KPK panas, kabar hoaks mengenai tuduhan diatas tidak beredar sama sekali,” ungkap Kurnia melalui keterangannya, Selasa (22/6/2021).

Maka itu, Kurnia, akan menyampaikan sejumlah klarifikasi atas tuduhan tersebut.

Pertama, dalam tuduhan terbaru disebutkan ICW menerima dana Rp 96 miliar yang diterima dari UNODC dan mengalir lewat KPK.

“Kami perlu sampaikan bahwa informasi itu tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak berdasar sama sekali alias palsu,” ucap Kurnia.

Kurnia menambahkan merujuk pada laporan audit keuangan ICW periode 2010-2014 dan dokumen kontrak kerjasama program penguatan KPK antara ICW dengan UNODC, selama kurun waktu lima tahun pelaksanaan program.

Menurut dia, ICW mendapatkan dukungan dana sebagaimana yang akan diuraikan.

2010 = Rp 400.554.392
2. 2011= Rp 172.499.500
3. 2012= Rp 91.397.413
4. 2013= Rp 551.534.056
5. 2014= Rp 258.989.434
Total= Rp 1.474.974.795 (Lima tahun program).

Kurnia menyebut dana tersebut sebagian besarnya untuk membiayai kegiatan pelatihan bagi pegawai KPK dalam penguatan kapasitas, penelitian terkait ketentuan konvensi PBB Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sejak 2006 dan kampanye serta advokasi penguatan kebijakan antikorupsi di Indonesia.

“Perlu kami jelaskan bahwa kontrak kerjasama antara UNODC dengan ICW sejak awal ditujukan untuk penguatan kelembagaan KPK, dan oleh karena itu membutuhkan persetujuan formal dari Pimpinan KPK sebagai pengambil keputusan tertinggi di KPK,” ujarnya.

Kurnia menambahkan program yang didanai dari Uni Eropa ini juga telah diketahui dan disetujui untuk dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sebagaimana prosedur hibah internasional yang berlaku.

“Kami tambahkan bahwa diluar program ICW-UNODC, ICW juga menjalin kerjasama dengan pihak donor lain, seperti USAID, Ford Foundation, atau kantor kedutaan negara sahabat yang mana persetujuan prinsipil atas program hibah maupun pelaksanaannya harus terlebih dahulu didapatkan dari perwakilan Pemerintah Indonesia,” papar Kurnia.

SIMAK JUGA :  Soal Suramadu, Ketua Hanura sebut SBY ingin jadi pahlawan & sudutkan Megawati

Kedua, ICW sudah menyampaikan klarifikasi di berbagai kesempatan bahwa ICW tidak pernah menerima dana sama sekali dari KPK terkait dengan program apapun sejak KPK berdiri hingga saat ini.

Kurnia menyebut jikapun ada tuduhan demikian, sebagaimana pernah disampaikan Prof Romli Atmasasmita sebagaimana kajiannya atas Laporan Audit Keuangan ICW, kami sudah sampaikan bahwa hal itu merupakan kekeliruan dari Prof Romli dan timnya dalam membaca dokumen laporan audit.

” Dalam dokumen audit memang disebutkan adanya dana saweran KPK yang nilainya lebih kurang Rp 400 juta. Namun dana itu sebenarnya adalah uang masyarakat Indonesia yang oleh ICW telah dikumpulkan untuk membantu KPK dalam membangun gedung baru karena usulan KPK untuk membangun gedung baru pernah ditolak DPR RI,” ujar Kurnia.

Menurut Kurnia uang itu juga sudah diberikan kepada KPK, dan diterima langsung oleh Johan Budi saat yang bersangkutan menjadi Plt Pimpinan KPK. Bukan sebaliknya sebagaimana tuduhan Profersor Romli, ada aliran dana dari KPK ke ICW.

Ketika, kata Kurnia, banyak yang bertanya jika tidak benar dan hanya tuduhan, mengapa ICW tidak mengambil langkah hukum dengan melaporkan yang bersangkutan ?.

“Kami tidak mengambil jalur hukum atas berbagai tuduhan yang menyesatkan tersebut karena pasal pencemaran nama baik merupakan salah satu pasal yang dapat mengekang demokrasi di Indonesia,” ujar Ali

Kurnia menyebut sedari awal kami menentang penggunaan pasal tersebut karena dalam prakteknya mudah sekali disalahgunakan untuk membungkam suara kritis warga masyarakat.

“Kami lebih memilih untuk menggunakan jalur dialog dan beradu argumentasi serta bukti sebagai jalan keluar untuk mencari kebenaran dalam berbagai hal. Dengan cara demikian, kami yakin demokrasi Indonesia dapat diselamatkan dan dipertahankan dari ancaman berbagai hal yang merusak,” ujqr Kurnia

Kurnia mengimbau kepada masyarakat luas untuk tidak cepat mudah menyebarluaskan informasi yang sumir, tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Masing-masing dari kita sebagai individu memiliki tanggung-jawab untuk mencari kebenaran atas informasi yang kita dapatkan.

“Alih-alih segera menyebarluaskan informasi dimaksud tanpa terlebih dahulu melakukan uji silang atas kebenarannya,” imbuh Kurnia.

Source : Suara.com

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *