Tindakan Ajudan Gubernur Sumbar Melawan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik

  • Bagikan

Ajudan Gubernur Sumbar, Dedi, saat bersama Gubernur Mahyeldi di lapangan. (Foto : kiriman)

PADANG – Ketua Forum Wartawan Parlemen (FWP) Sumbar Novrianto mengingatkan ajudan Gubernur Sumbar yang menghalangi wartawan menjalankan tugas konfirmasi berita kepada Gubernur Mahyeldi. Tindakan itu melanggar UU Pokok Pers No 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia.

Ajudan Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi diketahui sengaja menghalangi-halangi wartawan melakukan tugas jurnalistik untuk konfirmasi berita soal surat sumbangan bertandatangan gubernur yang lagi viral.

Selasa (31/8/2021), sejumlah wartawan di DPRD Sumbar sedang menunggu Gubernur Sumbar Mahyeldi untuk melakukan konfirmasi berita. Momen ini biasa dipakai wartawan umtuk mengkonfirmasi berita kepada Mahyeldi.

Namun, tiba tiba datang ajudan Gubernur Sumbar yang bernama Dedi dan melarang wartawan bertanya soal surat sumbangan dan mobil dinas.

“Kalau Kawan-kawan pertanyakan soal mobil dinas dan sama surat gubernur, maka wawancara akan saya hentikan. Sebab Bapak tidak mau ditanya soal itu,” kata Dedi dihadapan sejumlah wartawan yang mau konfirmasi ke Mahyeldi.

Melanggar UU PERS dan KEJ

Ketua Forum Wartawan Parlemen (FWP) Sumbar Novrianto mendapat laporan tersebut, langsung bereaksi keras terhadap aksi ajudan yang coba menghalang-halangi dan intervensi pada wartawan melakukan konfirmasi.

“Ini sudah melanggar Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Ajudan sudah menghalang-halangi wartawan melakukan tugas jurnalistiknya,” kata Novrianto kepada wartawan di gedung DPRD Sumbar, Selasa.

Novrianto yang biasa disapa Ucok itu menyebutkan, ajudan tidak pantas melakukan tindak tersebut karena wartawan bekerja dilindungi UU Pers.

“Tidak ada haknya ajudan menghalang-halangi atau intervensi pada wartawan dalam melakukan tugasnya. Ini dia tidak mengerti dengan Undang-undang Pers,” kata Novrianto.

Tindakan ajudan tersebut bukan hanya membuat gusar ketua FWP-SB, tetapi wartawan senior lainnya juga merasa tersinggung, karena ini tugas jurnalis, yang harus dilakukan agar masyarakat dapat mengetahui perkembangan sebuah peristiwa.

“Ajudan tidak memiliki posisi secara hukum membatasi hak wartawan dalam menjalankan tugas konfirmasi. Dia bisa dituntut dengan tuduhan mengangkangi hak hak dasar wartawan dalam menjalankan tugas mendapatkan informasi,” timpal Awaluddin Awe, Pemimpin Umum Harianindonesia.id dan Pemimpin Redaksi Kabarpolisi.com Jakarta.

Menurut Awe, panggilan akrab wartawan Senior Sumbar ini, Ajudan seharusnya memberikan fasilitasi kepada wartawan dalam menjalankan tugas konfirmasi kepada pimpinannya.

“Bukan malah balik mau mang-cut wawancara wartawan. Siapa ajudan. Ajudan tidak punya hak secara hukum membatasi wawancara wartawan,” kata Awe tegas.

Dia berharap Gubernur dapat menjelaskan sejelas jelasnya perkara yang sedang disorot media Sumbar. Menjadi kewajiban Gubernur untuk menjelaskan kepada publik tentang apa yang sudah dilakukan gubernur dari sejumlah kasus yang mengemuka selama ini.

“Gubernur tidak perlu bersembunyi dari wartawan. Itu penakut namanya. Sebagai pemimpin, Gubernur harus bertanggungjawab atas segala persoalan yang dimunculkannya. Berani berbuat, berani bertanggungjawab,” papar Awe lagi.

SIMAK JUGA :  Ikatan Keluarga"Koto Nan Gadang" Gelar Halal bi Halal se Jabodetabek

Novrianto juga berharap, hal seperti ini jangan terulang kembali, bukan hanya untuk ajudan gubernur, tapi pada semua pihak, kecuali dalam melakukan tugas jurnalistik seorang wartawan tidak memakai etika sesuai UU berlaku.

Sebelumnya, Kapolresta Padang AKBP Imran Amir menyebutkan bahwa kasus pelaporan permintaan sumbangan dengan menggunakan surat resmi Gubernur Sumbar Mahyeldi oleh lima tersangka, tidak ditemukan unsur penipuannya.

Oleh sebab itu Mapolresta Padang mengarahkan pemeriksaan surat Gubernur Sumbar kepada tindak pidana korupsi.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Andalas Prof Elwi Danil menyebut, surat kontroversial Gubernur Sumbar Mahyeldi untuk pembiayaan penerbitan buku profil Sumbar, adalah termasuk praktik korupsi.

“Tentu saja ini punya implikasi hukum tentang korupsi. Dalam hukum tindak pidana, ini sering disebut sebagai permintaan memaksa oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara,” kata Elwi Danil kepada wartawan, Senin (23/8/2021) di Padang.

Menurut Elwi Danil, tindak pidana korupsi dalam bentuk permintaan memaksa ini dijelaskan dalam Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia menilai surat tersebut termasuk paksaan.

“Keterpaksaan yang dimaksud dalam pasal ini bukan berupa memaksa secara fisik, tapi adalah keterpaduan psikis. Dalam KUHP asli dikenal dengan sebutan ‘knavelarji’ dan tadinya diatur dalam pasal 423 KUHP yang kemudian diambil alih pengaturannya oleh UU Korupsi, sehingga menjadi terkategori sebagai tindak pidana korupsi,” jelas Elwi.

“Tanpa bermaksud mendahului proses yang dilakukan polisi, saya melihat, ketentuan dalam pasal 12 huruf e itu seyogianya bisa diarahkan,” sambungnya.

Berikut ini bunyi pasal 12 huruf e:

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Dia mengatakan si pemberi bantuan harus terbukti memberi terpaksa secara psikis memenuhi keinginan atau permintaan sesuai dengan surat yang ditandatangani Gubernur Sumbar. Dia menilai ada unsur paksaan dalam surat itu meski disebut sebagai permintaan sumbangan.

Ditambahkan Novrianto, dia bangga pada teman-teman jurnalis, meskipun sudah mendapat “ancaman” ajudan akan men-cut pertanyaan, namun hal tersebut tetap ditanyakan, karena berkaitan dengan hak angket atau interplasi anggota DPRD Sumbar.

Gubernur Sumbar saat ditanya wartawan soal isu tak disukainya itu menjawab dengan ringan dan ringkas saja.

“Kita tunggu saja nanti, sudah ya,” jawab Mahyeldi sambil berlalu. (*)

Relis Forum Wartawan Parlemen Sumbar

(Donny Magek Piliang)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *