SOTO-Preneurship (Social Tourism Enterpreneurship) Ala Ridwan Tulus

  • Bagikan

Ridwan Tulus diapit dua turis muda yang menjadi siswi SOTO ala Ridwan Tulus (foto : dok/awe)

By: Mulyandri Ramadhan Bachtiar

Ridwan Tulus!!! Mengetahui nama tersebut menjadi salah satu tokoh yang berprestasi di kancah
kepemudaan Asia Tenggara dan Dunia merupakan kebanggaan bagi kami alumni maupun mahasiswa
STBA/ABA Prayoga Padang. Termasuk saya pribadi yang mengikuti dan menyelami perkembangan keunikan
pemikirannya yang instingtif dan intuitif bahkan irasional.

Ketika tahun 2010 memutuskan untuk memulai usaha di bidang pariwisata setelah bergelut lama
disalah satu NGO internasional, orang eksentrik Inilah yang saya temui untuk mendapatkan masukan dan
berbagi pemikiran.

Imajinasi terhadap dunia pariwisata bertemu di sini, karena sebelumnya pernah mendata
lebih dari 1.000-an perusahaan biro perjalanan wisata dari berbagai propinsi di Indonesia saya melihat suatu
kecenderungan kesamaan program (copy paste dalam istilah IT).

Tidak ada kreativitas, sehingga bingung
menentukan siapa yang harus dipelajari karena tidak jelas siapa yang memulai program tersebut, takut belajar
bukan dari sumber yang tepat.

Saya menyadari sepenuhnya dunia pariwisata tersebut merupakan suatu usaha yang sangat banyak
variasinya karena secara logika setiap orang akan mempunyai minat yang berbeda. Akhirnya perbedaan yang
dicari tersebut berujung pada program yang diusung Sumatra and Beyond, warna-warni pelangi yang saya
sukai terlihat di sini.

Ternyata tidak warna saja yang ditemui, tetapi juga cara memandang warna tersebut yang sangat unik
yang akhirnya menghasilkan kombinasi warna warni yang mengagumkan dan Bahkan warna pandang
tersendiri akan muncul.

Saya masih dan akan selalu mengingat ketika beliau mengajarkan dan memotivasi
saya untuk berusaha dan berkarya dengan harus memperhatikan rasa syukur dan apa adanya, serta harus juga
memberikannya bagi siapa saja.
“Modal tidak perlu dan ijazah tidak laku” kalau ingin berwiraswasta.

Bagaimana mungkin? Memang,
untuk mendirikan perusahaan tentu akan memerlukan biaya, begitu juga peralatan kantor dan pendukung
lainnya.

Begitu juga dengan gelar , bukankah negara ini memerlukannya. Ternyata untuk meraih biaya itu
perlu kreativitas, ilmu, kemauan dan keberanian itulah bagian paling menentukan. “If you want to bee seen by
any people, you must be red in a plenty of white”. Kutipan umum Yang sangat membantu dalam menemukan
warna sendiri, karakter dan eksistensi.

“Seorang Tour Operator Yang Hebat adalah Sutradara Yang
Handal”.Seharusnya ini tidak hanya bagi Tour Operator saja, tetapi bagi wiraswastawan, “mulai dan tentukan
warna sendiri.

Tiga sudut pandang unik yang sangat memotivasi kreatifitas. Bisa dikatakan jika warna, karakter dan
eksistensi itu telah ada jalanilah. InshaAllah kendala-kendala akan menjadi pendukung dan turut
membesarkannya.

Contohnya, ketika beliau dikenal sebagai salah seorang pioneer Paperless Office di
Indonesia, tidak lain karena kekurangan biaya untuk beli kertas.

Ketika program terkendala dengan akses
masuk suatu tempat wisata, atau terkendala dengan akomodasinya, kendala tersebut ditutupi dengan ide
sederhana yang menarik, intuititf.

Semua hal di atas dilengkapi dengan sudut pandang instingtif dan irasional
ketika beliau memodifikasi falsafah Minangkabau: “Alam Takambang Jadi Kantua”, dan sudah didengungkan semenjak 2000an.

Sementara suatu komentar atau tulisan yang sangat menyiratkan hal tersebut baru terbaca tahun
2016. “The Future Of Travel Is Working From Anywhere, Says NACTA Chapter Co-Chair, Camille Sperrazza”
(pemilik World Awaits Travel), yang dimuat di www.travelmarketreport.com; NACTA = National Association of
Career Travel Agents.

Suatu sisi pandang instingtif dari Ridwan Tulus. Dia sudah memulai sebelum orang
hebat memikirkannya!

Salah satu warna dalam dunia pariwisata adalah social tourism, yang dalam sejarahnya disebutkan
pertama kali oleh ILO dan dikemukanan tahun 1948 melalui “The Universal Declaration of the Human Rights
states that “Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and
periodic holidays with pay”;

kemudian didefenisikan pertama kali tahun 1959 pada Congress of Social Tourism
di Austria oleh Walter Hunziker sebagai berikut “ “Social tourism is a type of tourism practiced by low income
groups, and which is rendered possible and facilitated by entirely separate and therefore easily recognizable
services“;

SIMAK JUGA :  AIM Zein : Kadin Indonesia Memang tak Menekan, Tapi 'Dimanfaatkan' Ramal Saleh

Lalu tahun 1999 the World Tourism Organization adopts the “Global Code of Ethics for Tourism” that
stresses tourism potential as regard to socialization and friendship among different people and cultures,
universal tolerance and mutual respect.

Keseluruhannya bisa kita simpulkan secara sederhana kalau social tourism tersebut bagaimana
memfasilitasi orang yang berpendapatan rendah pun berhak untuk liburan dan kemudian berkenaan dengan
kemasyarakatan dan persahabatan antar budaya, toleransi universal dan saling menghargai.

Oleh Ridwan Tulus Social Tourism ini pada tahun 2002-an dikembangkan dan di modifikasi melalui sisi
lain dengan memberikan pancingan (dalam program liburan yang dirancang) pada orang yang berpendapatan
lebih yang sedang dalam liburan untuk berbuat, bukan untuk Kemanusiaan saja tetapi juga bagi lingkungan.

Semacam Community Social Response yang dimasukkan ke dalam program wisata dan dilakukan bersama
oleh Tour Operator, Peserta dan Masyarakat.

Kemudian melalui Social Tourism ini dikembangkan Social Tourism Entrepreneurship yang diringkas
menjadi SOTOPRENEURSHIP yang istilah tersebut diilhami karena salah satu makanan kegemarannya “Soto”.
SOTOPRENEURSHIP ini merupakan ajakan berusaha dan berkarya dengan saling berbagi dan membantu
sesama tanpa merendahkan yang dibantu dan berbasiskan masyarakat serta lingkungan.

Dimata penulis ini
merupakan suatu konsep social tourism yang inshaAllah akan mengembangkan pengusaha-pengusaha dan
program-program SOTOPRENEURSHIP yang menajadi panutan bagi masyarakat banyak.

Ketika tragedi Bom Bali terjadi pada tahun 2002 yang mengakibatkan wisatawan takut datang ke Bali
beliau melakukan promosi wisata di Jepang dengan cara yang unik. Beliau bersama Japan Walking Association
(JWA) mengelilingi Pulau Kyusu berjalan kaki sepanjang 400 KM dengan membawa bendera Merah Putih.

Aksi heroik tersebut akhirnya menjadi perhatian warga Jepang dan menjadi liputan dimedia-media Jepang bahkan
artis Japan Idol pada saat itu yaitu Ayumi Hamasaki turut berjalan kaki menemani beliau.

Bahkan yang lebih
luar biasa lagi perjalan beliau ditulis dalam sebuah buku “Kyusu Romance Walking” dalam bahasa Jepang. Dan JWA
memberi kehormatan khusus pada beliau untuk membuka iven jalan kaki terbesar didunia dibawah naungan
International Marching Leaque (IML) dan International Federation of Popular Sport (IVV) yang diadakan di
Tokyo.

Sebelum beliau mendirikan Indonesia Walking Association (IWA) yang akhirnya bergabung pada IVV
dan IML, yang tujuannya untuk mengenalkan Indonesia sebagai salah satu International “Walking
Destination”.

Eksistensi beliau justru dimulai dari dunia internasional barulah setelah itu media-media nasional
mengangkat profil beliau yang dimulai dari Kompas, Bisnis Indonesia, Media Indonesia dll. Bahkan di Kompas
sosok beliau sampai diangkat 3 kali dan bahkan tahun 2003 Kompas memberi penghargaan khusus kepada beliau ” Manusia dibalik Pariwisata Indonesia” dan bahkan foto beliau dijadikan Kalendar Kompas 2004 dan
dibayar mahal.

Selama perjalanan beliau dia telah banyak menginspirasi pemuda- pemuda Indonesia untuk turut
mengembangkan pariwisata didaerahnya masing-masing. Beliau telah banyak membuka destinasi-destinasi
baru yang akhirnya menjadi trend sebagai Green Tourism Destination.

Karena menurut beliau Indonesia
belum mempunyai konsep pariwisata yang ideal. Makanya dengan www.greentourisminstitute.org beliau
berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai Green Tourism Destination.

Sebagaimana “jejak-jejak Tulus”
yang pernah penulis lihat, ikuti, laksanakan dan bekerjasama langsung dibawah ini:
PROTECT THE CULTURE bagaimana tour operator, wisatawan serta masyarakat setempat turut berpartisipasi
dalam memproteksi budaya setempat
PROTECT THE NATURE bagaimana tour operator, wisatawan serta masyarakat setempat turut aktif dalam
memproteksi lingkungan.

Lingkungan bukan makin rusak malah lebih baik
EMPOWER AND BRING BENEFIT TO LOCAL PEOPLE bagaimana tour operator melibatkan masyarakat
setempat dan mengajarkan bagaimana ikut aktif dalam setiap program wisata didaerahnya dan membawa
keuntungan langsung kepada masyarakat setempat.

SUPPORT CONSERVATION bagaimana sebagian dari profitnya digunakan untuk mensupport program
konservasi!

)*Director of Malala Tour Indonesia
General Secretary of Green Tourism Institute.
Sekjen International Green Tour Operator (IGTO)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *