Markas Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta (foto : kredit/HI)
JAKARTA – Sebuah laporan menyebutkan bahwa pasca ambruknya pasar saham Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi memperbolehkan pembelian kembali saham atau buyback tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Aksi buyback tanpa RUPS awalnya diajukan oleh sejumlah emiten pelat merah dan swasta besar seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA), PT Bank OCBC NISP Tbk. (NISP), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA), PT Matahari Department Store Tbk. (LPPF), PT Avia Avian Tbk. (AVIA), dan PT Nusantara Sejahtera Raya Tbk. (CNMA).
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky menjelaskan latar belakang aksi buy back ini menunjukkan bahwa emiten lebih mengandalkan pendapatan dari fungsi treasury.
Hal ini sekaligus menandakan bahwa laba organik dari sektor usaha bukan menjadi sumber utama keuntungan perusahaan.
“Maka daya dorong ke perekonomian terkonfirmasi tak menjadi pilihan,” ungkap Yanuar seperti dikutip CNBC Indonesia, Senin, (17/3) lalu.
Selain itu, volatilitas tahunan IHSG yang mencapai 34% membuat buyback berpotensi dimanfaatkan untuk merealisasikan keuntungan dari akumulasi saham di portofolio.
Hal ini terutama menguntungkan investor dengan strategi perdagangan berbasis portofolio seperti hedge fund.
“Dengan volatilitas tahunan IHSG saat ini sampai 34%, maka buy back ini juga malah memberi ruang realisasi menjual akumulasi saham portofolio dapat trading gainnya. Artinya, kalau jual banyak ya harga turun, tapi akumulasi trading portofolio yang besar, seperti hedge fund, dia kan untung,” jelasnya.
Sebagai catatan, aksi korporasi tersebut mayoritas masih akan diperbincangkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang rata-rata akan segera berlangsung pada bulan ini maupun April mendatang.
Meski begitu, baru-baru ini regulator sedang mempertimbangkan upaya buyback bisa dilaksanakan tanpa harus menunggu RUPS, setelah sebelumnya menyatakan penundaan short selling.
Hal ini datang setelah sejumlah konglomerat melempar opsi buyback tanpa RUPS menyusul anjloknya IHSG dan turunnya harga saham emiten secara signifikan secara cepat atau memiliki volatilitas tinggi.
“Menunda pelaksanaan atau implementasi short selling dan mengkaji kebijakan relaksasi buyback saham tanpa RUPS,” kata Deputi Komisioner Pengawasan Pengelola Investasi Pasar Modal dan Lembaga Efek OJK Aditya Jayaantara dalam acara Dialog Bersama Pelaku Pasar Modal, Senin (3/3/2025).
Hal ini dilakukan dalam upaya mengurangi tekanan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sebagaimana diketahui, indeks pasar saham kita sempat anjlok ke level 6.200 yang menandai level terpuruk dalam tiga tahun.
Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk hampir 7 persen pada sesi satu perdagangan Selasa (19/3). Buntutnya, BEI harus menghentikan sementara perdagangan saham.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman memperkirakan keruntuhan IHSG Selasa kemarin imbas sentimen global.
Salah satunya, kebijakan ekonomi dan perang tarif yang dijalankan Presiden AS Donald Trump.
Kebijakan membuat investor hati-hati dalam menentukan langkah mereka.
“Kalau kita lihat penurunan indeks ini sudah terjadi sejak minggu lalu. Beberapa isu global memang terjadi jadi mereka (investor) wait and see. Jadi kalau lihat penurunannya hari ini sebagai besar asing melihat update oleh Donald Trump, itu menjadi salah satu dampak penurunan Indeks kita hari ini,” katan Iman Rachman saat ditemui di kantornya, Selasa.
Tetapi analisis berbeda disampaikan Ekonom Wijayanto Samirin. Dia malah menilai pelemahan IHSG lebih dominan disebabkan oleh faktor domestik.
Berdasarkan analisa Wijayanto, ada lima sentimen yang mempengaruhi ambrolnya pasar saham Indonesia.
Pertama, informasi soal perkembangan APBN Februari yang buruk dan fiscal outlook yang berat di 2025. Tercatat hingga akhir bulan lalu Indonesia mengalami defisit Rp31,2 triliun atau 0,13 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Kedua, penurunan diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak realistis dan tanpa teknokrasi yang jelas.
Ketiga, IHSG terpuruk juga disebabkan oleh berbagai isu yang tengah terjadi di Tanah Air, seperti mega korupsi di sejumlah BUMN yang merusak kepercayaan publik dan pasar.
Keempat, anjloknya IHSG juga terjadi akibat isu revisi Undang-Undang TNI yang mendapat kecaman keras dari publik.
“Apa yang terjadi terkait Dwi Fungsi ABRI yang dikhawatirkan menimbulkan protes besar,” jelasnya.
Kelima, adanya kekhawatiran rating kredit Indonesia dari Fitch dan Moody’s yang akan umumkan pada Maret-April , dan S&P; pada Juni-Juli.
Dalam kesempatan terpisah, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan kondisi yang terjadi di pasar saham Indonesia tidak bisa dipungkiri menandakan bahwa perekonomian sedang tidak baik-baik saja.
Hal ini pun katanya, sudah diakui oleh banyak ekonom dalam negeri.
Menurutnya, banyak investor di pasar saham yang tidak yakin dengan aset yang dipegang di Indonesia. Alhasil, mereka memilih melakukan aksi jual besar-besaran ketimbang buntung.
Dari data historis, terbanyak pelepasan aset berasal dari investor domestik.
“Ya, seperti biasa, kenapa orang tidak yakin dengan aset dan dia ingin melepaskan, berarti kan ada masalah dan benar ekonomi sedang tidak baik-baik saja, terutama ada hasil survei dari UI (Universitas Indonesia) tentang konsensus para ekonom yang mayoritas mengatakan ekonomi Indonesia tidak baik-baik saja,” ujarnya seperti ditulis CNNIndonesia.com.
Perekonomian yang sedang suram ini, kata Ronny, bisa dilihat dari berbagai indikator seperti daya beli yang lesu hingga penerimaan negara yang anjlok.
Untuk penerimaan negara saja misalnya, berdasarkan data Kementerian Keuangan mencatat dari sektor setoran pajak dua bulan pertama tahun ini baru mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target.
Capaian penerimaan pajak ini anjlok sebesar 30,19 persen secara year on year (yoy). Sebab, pada dua bulan awal 2024, penerimaan pajak Rp269,02 triliun.
Sementara terkait defisit, sudah 0,13 persen atau Rp31,2 triliun per 28 Februari 2025. Belanja negara sudah mencapai Rp348,1 triliun, sedangkan pendapatan baru di angka Rp316,9 triliun.
“Itu bisa terlihat dari beberapa indikator, mulai dari daya beli sampai penjualan retail yang turun, secara fiskal penerimaan negara menurun,” imbuhnya.
Masalah tersebut membuat investor merasa Indonesia bukan lagi tempat menguntungkan untuk berinvestasi. Alhasil, mereka lebih memilih lari daripada merugi.
Pelarian modal otomatis akan membuat perputaran uang yang digunakan untuk menggerakkan ekonomi, menciptakan lapangan kerja di RI makin berkurang.
Kalau terus dibiarkan, ini bisa berdampak ke banyak hal, salah satunya peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan.
Tak hanya masalah itu, Ronny juga melihat, mundurnya investor domestik dari pasar saham juga terjadi buntut kekecewaan publik terhadap kondisi yang terjadi di dalam negeri.
Kekecewaan itu mulai dari pembentukan Danantara yang dinilai akan merugikan rakyat dan menjadi celah jalur korupsi baru hingga terbaru revisi undang-undang (RUU) TNI yang membuka peluang prajurit bukan hanya masuk ke jabatan publik, tapi juga masuk ke sektor bisnis.
“Jadi kalau Danantara itu cukup menurunkan IHSG karena negara mulai menggunakan kapital negara untuk ikut terlibat di dalam pasar, itu mengkhawatirkan pelaku pasar. Sekarang ada lagi isu militer mau masuk ke dalam sektor bisnis. Ini juga menakutkan karena secara bisnis militer itu tidak sehat,” terangnya.
Apabila TNI masuk ke sektor bisnis, Ronny melihat akan terjadi distorsi karena tidak ada yang akan berani bersaing dengan ‘pemegang senjata’.
“Mereka bahkan untuk memonopoli satu sektor pun mereka bisa dengan backup senjata. Jadi ini yang membuat banyak pihak khawatir juga,” imbuhnya.
Hal yang paling dikhawatirkan investor saham adalah masuknya TNI ke dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tak lain karena pemilik seragam corak loreng tersebut dikenal ‘memaksa’ dalam melakukan tugasnya.
“Apalagi kalau seandainya militer-militer ini masuk ke BUMN-BUMN, masuk ke Danantara dan sebagainya. Ini mengkhawatirkan pelaku usaha, terutama di pasar modal karena akan muncul entitas bisnis yang mewakili negara untuk melakukan apapun yang mereka mau di dalam pasar,” kata Ronny.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga melihat bahwa IHSG anjlok karena perekonomian betul-betul berada di masa suram. Kondisi ini tercermin dari pengelolaan fiskal yang sudah defisit di awal tahun.
“Penerimaan negara yang mengalami penurunan yang relatif drastis kemudian potensi penambahan belanja yang hadir dalam beberapa program baru pemerintah diproyeksikan akan meningkatkan defisit anggaran yang relatif lebih tinggi dari target yang disampaikan oleh pemerintah sebelumnya,” kata Rendy.
Belum lagi, masalah daya beli yang sudah berlangsung lama dan tak kunjung pulih, justru makin memburuk. Kemudian, indikator lain yang berkaitan dengan perekonomian yakni indeks penjualan riil juga turun di awal tahun ini.
“Peta indikator seperti Mandiri spending indeks yang juga menunjukkan ada anomali dari konsumsi masyarakat terutama ketika memasuki bulan Ramadan,” imbuhnya.
Rendy juga menilai pembentukan Danantara hingga RUU TNI menjadi penyebab lainnya IHSG anjlok. Tindakan ini sebagai bentuk protes masyarakat terhadap langkah yang ditempuh DPR bersama pemerintah.
Seperti dilaporkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok pada Selasa (18/3) siang. Tercatat, per pukul 11.49 WIB, indeks terperosok 420,97 poin atau minus 6,58 persen ke level 6.046.
Hal ini menjadikannya indeks dengan pelemahan terdalam dibandingkan indeks lainnya di kawasan Asia. Bahkan, IHSG sempat merosot lebih dari 3,4 persen sebelum sedikit mereda.
Kondisi ini sangat kontras dengan pergerakan indeks saham lainnya di Asia yang justru mengalami penguatan signifikan.
Indeks Nikkei 225 di Jepang, misalnya, melesat 1,44 persen, sementara indeks saham di Malaysia (KLSE) dan Singapura (STI) juga mencatatkan kenaikan masing-masing sebesar 1,04 persen dan 1 persen. (*)
Sumber : CNBC dan CNNIndonesia
Editor : Awaluddin Awe
awal.batam@gmail.com