Krisis Covid-19 di Rusia, Pemerintah Ancam Lansia 60 Tahun yang Tidak Divaksin Tinggal di Rumah 4 Bulan

  • Bagikan

Seorang perempuan menerima dosis vaksin Sputnik V untuk melawan penyakit virus corona (COVID-19) di pusat vaksinasi di pusat perbelanjaan di Omsk, Rusia, 29 Juni 2021. [REUTERS/Alexey Malgavko]

Moskow– Jutaan orang Rusia terancam pembatasan Covid-19 baru yang ketat mulai minggu ini setelah upaya vaksinasi berjalan lambat, sistem perawatan kesehatan yang kewalahan, dan ketidakpercayaan yang meluas pada pemerintah, faktor yang bila digabungkan akan menjerumuskan negara itu ke fase pandemi paling mematikan hingga saat ini.

Pada Selasa (19/10), Walikota Moskow memerintahkan semua penduduk yang tidak divaksinasi berusia di atas 60 tahun, serta orang-orang yang tidak divaksinasi karena menderita penyakit kronis, untuk tetap di rumah selama empat bulan hingga akhir Februari saat kota itu berjuang menghadapi krisis yang berkembang.

Presiden Vladimir Putin, pada Rabu (20/10), menyetujui proposal yang diajukan oleh pemerintah untuk menyatakan hari tidak bekerja dari 30 Oktober hingga 7 November di seluruh Rusia dalam upaya untuk menekan gelombang pandemi terbaru. Tokoh senior di negara itu juga mulai secara terbuka mengakui bahwa situasi saat ini mengerikan, saat orang Rusia menuju musim dingin yang suram.

Rusia telah melaporkan jumlah kasus dan kematian harian tertinggi beberapa kali dalam beberapa hari terakhir, dan mencatat rekor 1.028 kematian resmi pada Rabu (20/10).

Para ahli menunjuk ke arah program vaksinasi yang tertinggal dan kegagalan pemerintah dalam menyampaikan pesan sebagai faktor di balik lonjakan, yang sekarang mengancam membanjiri rumah sakit di seluruh negeri.

“Saya pikir negara ini sekarang jatuh ke dalam bencana,” Vasily Vlassov, seorang ahli epidemiologi Rusia dan mantan penasihat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kepada CNN.

“Saya berharap kita akan segera mencapai batas tertentu yang tidak akan kita lewati, tetapi saat ini tingkat morbiditas dan mortalitas masih sangat tinggi. Rumah sakit kewalahan,” lanjutnya. Dia memperkirakan kematian akan melonjak jauh lebih tinggi sebelum

Dia memperkirakan kematian akan melonjak jauh lebih tinggi sebelum akhir tahun.

Ada pula kekhawatiran jika angka resmi Rusia tidak mencerminkan skala sebenarnya dari kondisi darurat kesehatan di masyarakat.

“(Seseorang) yang meninggal karena gagal napas akibat Covid sering masuk dalam statistik sebagai orang yang meninggal karena gagal napas, tetapi bukan karena Covid-19,” ungkapnya.

“Morbiditas yang tinggi di Rusia dipandang sebagai tanda kegagalan negara dan masyarakat,” lanjutnya.

Sebelumnya, berdasarkan laporan CNN bahwa ada kekhawatiran tentang pejabat Rusia yang tidak melaporkan angka kematian akibat virus corona. Metode penghitungan Rusia tidak memasukkan bagian dari kematian dalam statistik resmi yang menyatakan orang meninggal “dengan Covid” tetapi dinyatakan tidak “karena Covid”, yang tidak sesuai dengan rekomendasi WHO.

Pejabat pemerintah mulai berbicara secara terbuka tentang kedalaman krisis Covid-19. Perdana Menteri (PM) Mikhail Mishustin mengatakan pada pertemuan gugus tugas Covid-19 pada Selasa (19/10) jika beban pada institusi medis meningkat secara serius.

Gubernur wilayah Oryol, Andrey Klychkov, baru-baru ini mengungkapkan bahwa wilayah tersebut tidak memiliki kapasitas untuk merawat pasien di rumah sakit lagi.

SIMAK JUGA :  Sawahlunto Kehabisan Disinfektan, Petugas hanya Cek Suhu Tubuh dan Pencatatan Warga

“Angka yang paling mengerikan adalah kami menyiapkan 1.854 tempat tidur, hari ini tidak ada lagi tempat tidur kosong yang tersedia. Tentu saja, kami akan menyediakan tempat tidur sebanyak yang kami bisa, kami akan mencari opsi. Tetapi saat ini tidak ada tempat tidur yang tersedia, dan ini menimbulkan kekhawatiran serius,” terangnya saat siaran langsung di Instagram.

Upaya Rusia untuk mengurangi penularan telah sangat terhambat oleh program vaksinasi yang tidak disambut antusias. Hanya sekitar 30% dari populasi yang divaksinasi penuh, di negara di mana empat vaksin domestik tersedia.

Menurut beberapa survei, Rusia memiliki tingkat skeptisisme vaksin yang tinggi, Jajak pendapat Ipsos pada Mei lalu menemukan bahwa niat vaksinasi di antara orang-orang yang tidak divaksinasi di 15 negara adalah yang terendah di Rusia (41%) dan Amerika Serikat (46%).

Sebuah penelitian yang diterbitkan pada September lalu oleh Levada-Center menunjukkan 52% orang Rusia tidak siap divaksinasi.

“Alasan utamanya adalah ketidakpercayaan terhadap pihak berwenang dan informasi yang mereka siarkan,” kata Denis Volkov, Direktur Levada-Center – sebuah jajak pendapat non-pemerintah dan organisasi penelitian sosiologis – kepada CNN.

Sejak awal, informasi yang bertentangan disiarkan melalui saluran utama: beberapa mengatakan bahwa Anda perlu divaksinasi, yang lain mengatakan bahwa ini adalah penyakit fiktif,” katanya. “Berbagai teori konspirasi disiarkan di media pemerintah. Tidak ada pesan konsisten yang jelas dari pemerintah sejak awal,” lanjutnya.

Volkov juga menilai kampanye awal Rusia untuk mempromosikan vaksinnya sendiri dan meremehkan vaksin asing menjadi boomerang serta memperkuat kekhawatiran banyak orang Rusia tentang vaksin secara umum.

“Sudah waktunya untuk mengatakannya secara blak-blakan: negara telah kehilangan kampanye informasi untuk memerangi virus corona dan menjelaskan kepada orang-orang perlunya vaksinasi,” ujar Wakil Ketua Duma Pyotr Tolstoy, Sabtu (16/10).

“Ini adalah fakta: orang tidak mempercayai vaksin,” lanjutnya seperti dikutip media pemerintah RIA Novosti.

Pada Selasa (19/10), ketika negara itu mencapai rekor kematian akibat Covid-19 lainnya, Kremlin mengakui sebagian adalah tanggung jawab pihaknya atas rendahnya tingkat vaksinasi.

“Tentu saja, tidak semua yang perlu dilakukan untuk menginformasikan dan menjelaskan keniscayaan dan pentingnya vaksinasi,” kata juru bicara Presiden Vladimir Putin, Dmitry Peskov, kepada wartawan.

“Tetapi pada saat yang sama, warga negara kita perlu mengambil langkah yang lebih bertanggung jawab dan divaksinasi,” tambahnya.

Daerah tertentu terus memberlakukan pembatasan lokal tergantung pada tingkat keparahan situasi Covid-19 setempat. Namun, sejauh ini, pemerintah secara konsisten mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengumumkan penguncian penuh.

“[Pemerintah] berhati-hati membuat orang marah, membiarkan mereka tanpa makanan dengan mematikan ekonomi, yang akan membuat mereka semakin marah,” ungkap Ekaterina Schulmann, ilmuwan politik, kepada CNN.

“Negara ini telah mengalami penurunan pendapatan riil yang terus-menerus sejak 2014. Dukungan dan kepercayaan pada kekuasaan presiden telah turun sejak 2018. Sangat berisiko untuk mendorong orang bertindak lebih jauh,” jelasnyajelasnya seperti dilansir okezone /devara

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *