Keterlibatan Lembaga Kian Terkuak, Golkar di Ambang Penghakiman?

  • Bagikan

JAKARTA, harianindonesia.id – Mantan Menteri Sosial Idrus Marham menjawab pertanyaan wartawan seusai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat (7/9). Mantan Sekjen Partai Golkar itu diperiksa sebagai saksi dalam kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 dengan tersangka Eni Saragih dan Johannes Budiarso Kotjo.

Keterlibatan Partai Golkar secara kelembagaan dalam skandal korupsi proyek PLTU-1 Riau kian terkuak. Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (15/11/2018), terungkap bukti bahwa partai berlambang pohon beringin ini memakai dana suap untuk membiayai kegiatan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) mereka.
Jika nanti keterlibatan ini terbukti, bukan tidak mungkin partai penguasa Orde Baru ini bisa dijerat sebagai tersangka pidana korporasi karena menikmati uang hasil korupsi.

Akankah kasus ini menjadi hari penghakiman bagi Golkar, parpol yang selama ini juga menjadi penyumbang koruptor terbanyak kedua setelah PDI Perjuangan?

Dalam sidang kemarin itu, jaksa KPK membeberkan bukti percakapan via WhatsApp (WA) mantan anggota DPR yang juga politikus Golkar, Eni Maulani Saragih, dengan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.

Pada percakapan itu, terungkap Eni diperintah oleh mantan Menteri Sosial, yang juga mantan Sekjen Golkar, Idrus Marham, untuk meminta uang suap guna membiayai rapat pleno Golkar. Menurut Eni, uang tersebut untuk rapat pleno persiapan munaslub penggantian ketua umum Golkar. Saat itu Setya Novanto yang menjabat sebagai ketum sudah ditangkap KPK, sehingga partai berlambang pohon beringin itu mencari penggantinya.

Eni meminta uang sebanyak 400 ribu dolar Singapura, yang katanya akan dibagikan masing-masing SGD 10 ribu kepada setiap DPD 1 Golkar. Kotjo menyanggupi dan kemudian memberikan uang Rp 2 miliar kepada Eni.

“Bukti percakapan ini semakin menguatkan kesaksian Eni akan adanya uang haram yang mengalir untuk membiayai kegiatan partainya. Memang, usai diciduk KPK, mantan wakil ketua Komisi VII DPR itu terus bernyanyi. Senandungnya terdengar sumbang.
Mulanya, Eni mengakui segala kesalahannya. Ia menerima uang suap hasil kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. Namun, ia berdalih, duit haram itu tidak dimakan sendiri. Tetapi ia berbagi dengan partai politiknya.

SIMAK JUGA :  PT Gamindra Teken Kontrak Sewa Pelabuhan Teluk Tapang, Mahyeldi : Dongkrak Ekonomi Pasaman Barat

“Ini yang membuat Golkar panas dingin. Menurut Eni, hampir separuh uang suap yang ia terima, yakni Rp 4,8 miliar, ia gunakan untuk musyawarah nasional luar biasa (munaslub) Golkar pada tahun 2017.

Pengakuan itu ia sampaikan lagi baru-baru ini. Saat Eni untuk ketiga kalinya mengembalikan uang korupsi ke KPK. duit sekitar Rp 2 miliar harus ditagih ke Golkar. Karena itu uang haram yang ia nikmati hanya Rp 2,25 miliar, sesuai jumlah yang sudah ia kembalikan ke KPK.” katanya

KPK tampaknya percaya dengan pengakuan Eni ini. Lembaga anti-rasuah itu mulai menelusuri kemana saja aliran dana suap PLTU Riau-1 tersebut. Idrus Marham yang pertama kali kena imbas. Akibatnya, ia terpaksa mundur dari kursi menteri jelang ditangkap KPK untuk menghuni jeruji besi.

KPK tak ingin berhenti di situ saja. Mereka mengindikasikan untuk membidik Golkar secara kelembagaan. Apalagi, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, Golkar bisa dijerat menjadi tersangka korupsi bila terbukti ikut menerima uang korupsi.

“Memang, masih terjadi perdebatan untuk menjerat sebuah organisasi di luar korporasi menjadi tersangka korupsi. Muncul pertanyaan apakah penetapan tersangka korupsi berlaku pada organisasi publik, seperti partai politik. Banyak pendapat yang mengatakan bisa, jika nantinya KPK bisa membuktikannya.
Kini Golkar memang tengah menghadapi ujian berat. Skandal korupsi ini tentu kian melunturkan kepercayaan publik. Apalagi, selama tiga tahun terakhir ini, Golkar juga tak sedikit menyumbangkan kader kepala daerah korup ke KPK, yakni 12 orang. Jumlah itu hanya diungguli PDIP dengan menyumbang 13 kepala daerah yang terlibat kasus korupsi sejak 2016 hingga saat ini.
Jika sudah begini, masihkah kita akan memberikan suara kepada parpol yang selama ini menjadi sarang bagi para koruptor?

(M.R)
Sumber : Politiktoday.com

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *