Verrel Bramasta Kritik Barat Militer, Ditantang Didik 15 Siswa tapi Pilih Nyindir Anak Buah Gubernur

Verrel Bramasta Kritik Barat Militer, Ditantang Didik 15 Siswa tapi Pilih Nyindir Anak Buah Gubernur

Purwakarta – Anggota Komisi X DPR RI, Verrel Bramasta, menjadi pusat kontroversi usai melontarkan kritik tajam terhadap program pendidikan berbasis disiplin militer atau barat militer yang pertama kali diinisiasi oleh Gubernur Jawa Barat. Program ini diterapkan di sejumlah daerah sebagai upaya menumbuhkan kedisiplinan pada siswa-siswa yang dianggap “nakal” atau sulit diatur.

Dalam pernyataannya, Verrel menilai program tersebut hanya menekankan sisi fisik dan mengabaikan pendekatan psikologis serta spiritual. Menurutnya, pendidikan yang sehat seharusnya menyentuh seluruh aspek perkembangan anak. “Anak-anak bukan mesin. Mereka butuh pembinaan jiwa, bukan cuma disuruh baris-berbaris,” tegas Verrel.

Respons keras datang dari Bupati Purwakarta, Saiful Bahri bin Zain—yang akrab disapa Om Zein. Ia menilai kritik Verrel tidak pantas, terlebih berasal dari seorang anggota DPR yang berasal dari Dapil Jawa Barat VII. Om Zein pun menantang Verrel untuk membuktikan gagasannya dengan mendidik 15 siswa tanpa pendekatan barat militer.

“Kalau memang Mas Verrel merasa lebih tahu, silakan buktikan. Didik 15 anak sesuai metode yang dia yakini benar. Jangan cuma ngoceh dari gedung DPR,” ujar Om Zein dalam pernyataan resminya.

Namun, Verrel menolak tantangan tersebut dan justru balik menyindir Om Zein sebagai “anak buah gubernur”. Ia mengatakan bahwa pejabat publik seharusnya terbuka terhadap kritik, bukan malah menyerang balik pihak yang mempertanyakan kebijakan. “Saya akan datang bila ada undangan resmi untuk melihat langsung. Tapi pejabat jangan anti kritik. Itu bagian dari demokrasi,” kata Verrel.

Isu ini semakin ramai dibicarakan karena program barat militer memang menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian pihak mendukung karena dinilai membentuk disiplin dan ketangguhan anak, namun banyak pula yang mengecam karena dianggap terlalu keras dan tidak sesuai dengan prinsip pendidikan modern.

Salah satu tokoh yang mendukung kritik Verrel adalah pemerhati anak nasional, Kak Seto. Ia menyatakan bahwa pendekatan keras dalam pendidikan justru dapat merusak psikologi anak. “Pendidikan harus didasari kasih sayang, bukan intimidasi. Kritik Mas Verrel relevan dan patut diperhatikan,” ujarnya.

Namun kritik juga muncul dari aktivis Jawa Barat, Daddy Palgunadi. Ia menegaskan bahwa Verrel seharusnya lebih banyak turun ke lapangan untuk memahami kondisi sosial para siswa dan orang tua mereka. “Kritik boleh, tapi harus objektif. Jangan cuma dari atas menilai. Lihat langsung realita di lapangan agar tahu kenapa program seperti ini muncul,” tutur Daddy.

Debat publik antara pendekatan keras dan pendekatan humanistik dalam pendidikan anak ini dipastikan akan terus berlanjut. Di tengah pusaran pro-kontra, masyarakat berharap solusi terbaik bisa diambil demi masa depan anak-anak yang lebih baik—tanpa kekerasan, tapi tetap penuh tanggung jawab dan pembinaan karakter.