Laksma TNI Hargianto, Stokar Oplet yang jadi Komandan Kapal Perang

  • Bagikan

PADANG – Rabu, 8 September 2021, tengah malam pukul 23.33 Wib, handphone butut saya berbunyi. Saya hafal itu suara dering jaringan whatapps pribadi saya.

Saya kaget. Ternyata pesan whatsapps itu berasal dari seorang pejabat TNI Angkatan Laut tertinggi di Mako Lantamal II Padang.

Dia adalah Laksamana Pertama Hargianto, SE.,M.M.,MSi, Komandan Lantamal II Padang.

“Salam kenal kanda Awaluddin yang gagah dan tajam tulisannya. Ambo senang dan salut gaya bahasa dan bobot tulisannya. Moga suatu hari uda berkenan ngopi di Lapau ambo di bukit peti peti yaaah,”.

Hargianto

Dt Bagindo Malano Nan Hitam

Buku Otobiografi Laksma TNI Hargianto, SE.,M.M,MSi (Han)

Demikian salam pembuka sang Jenderal kepada saya. Dalam hati saya tersenyum, bahwa sebelum beliau memperkenalkan diri, sebenarnya saya sudah lama kenal beliau dan sudah menyimpan nomor handphonenya dalam daftar nomor telepon di handphone saya.

Tanpa pikir panjang lagi saya balas WA sang Jenderal, dan seperti kebiasaan saya, jika berhadapan dengan narasumber utama jangan pernah mengundur waktu untuk bertemu. Saya langsung katakan, besok saya ke Lapau Jenderal.

Akhirnya kami sepakat bertemu di Markas Komando Lantamal II Padang di Teluk Bayur Padang. Saya sempat menunggu sebentar, sebab ternyata, pada saat saya datang ke markas beliau, rupanya pas Hari Ulang Tahun TNI AL ke 76.

“Tunggu saya sebentar di Mako Uda. Saya masih persiapan akhir HUT TNI AL di Taman Makam Pahlawan Lolong,” tulisnya.

Saya dan Sang Jenderal

Saya bersyukur dengan pengunduran jadual bertemu itu. Sebab setelah diantar penjagaan melapor ke Sespri beliau, waktu sholat zuhur masuk. Dan saya minta waktu untuk melaksanakan sholat zuhur terlebih dahulu.

*****

Tetapi sebenarnya, saya secara fisik baru hari itu kenal dan bertemu dengan Jenderal AL, asal Cingkariang, Banuhampu, Agam ini. Tetapi perkenalan batin saya dengan lelaki kelahiran 22 Oktober 1963 ini adalah sekitar enam bulan lalu, pada saat saya ke Bukittinggi.

Pada sebuah baliho, terpajang foto Laksma Hargianto dengan pakaian dinas lengkap minus pet dan dibagian kanan foto ditulis tajam kalimat : “Stokar Oplet Menjadi Komandan Kapal Perang,”. Dibagian belakang bawah tulisan itu memang dipajang foto sebuah kapal perang milik TNI AL.

Ini dia keramba karya sosial sang Jenderal

Soal foto ini kemudian sempat menjadi diskusi tak langsung saya dengan seorang penduduk kota Bukittinggi, yang menyebutkan tulisan mengenai jatidiri sang Jenderal dinilai tidak tepat. Alasannya mengapa harus menjelaskan betul sosok jerami masa lalu kita kepada publik.

Saya, sebagai wartawan dan sudah kenyang dengan segala bentuk trik, termasuk pencitraan, menganggap sepi pernyataan warga itu. Tetapi dalam kepala saya cuma muncul satu pertanyaan : Siapa Laksma Hargianto ini. Mengapa memasang baliho gaban di Bukittinggi, padahal dinasnya di Teluk Bayur. Dan, lagian namanya nama Jawa.

Nah, satu pertanyaan itu terjawab seketika pada saat saya bertemu Laksma TNI Hargianto di kantornya yang asyik, sebab menghadap ke laut.

“Saya ini sama dengan pak Irwan Prayitno, mantan Gubernur Sumbar. Kami korban PRRI. Demi menjaga keselamatan dan masa depan anak, para orang tua kami terpaksa memberikan nama anak mereka dengan nama Jawa,” papar Hargianto sambil terkekeh.

Entah itu karena terpaksa atau memang sudah jalan takdir juga bagi Hargianto dan Irwan Prayitno, keduanya berhasil mencapai puncak karir dengan menyandang nama Jawa, meski darah dagingnya 100 persen orang Minang.

Tentang nama Jawa ini, sebenarnya Hargianto punya cerita mengharukan juga. Betapa tidak, kelahiran dirinya memang sudah lama diidamkan bapak dan ibunya.

Sejak sang ayah, Kopral Bahar St Baheram si sopir PO Agam di Jambi dan ibu menikah, sudah punya anak empat orang. Keempat empatnya anak perempuan. Sang ibu sudah menjalankan berbagai macam petunjuk supaya bisa dapat anak lelaki, tetapi tetap saja yang lahir anak perempuan.

Nah, di sini kisah itu bermulai. Satu kali sang ayah dan ibu dipertemukan dengan seorang wanita, yang dikenali warga sebagai orang pintar yang bisa mengakali kelahiran anak : sesuai permintaan.

Tanpa basa basi kedua orang tuanya langsung menyetujui semua persyaratan yang diajukan sang orang pintar ini, termasuk jika anak laki laki itu lahir, harus menjadi anak angkatnya.

Benar saja. Pada saat sang ibu melahirkan, yang moncrot memang si kabayan, anak lelaki. Sesuai kesepakatan, si orang Pintar otomatis menjadi ibu angkat si anak dan peran pertamanya adalah memberi nama si jabang bayi : Hargianto.

Belakangan diketahui, ternyata pemberian nama Hargianto bukan sembarang beri, tapi juga punya kisah sendiri. Nama Hargianto itu adalah nama seorang Profesor yang dikenal andal di masa itu. Itu pula yang kemudian mewariskan kecerdasan berpikir sang Jenderal kemudian.

Sejak Hargianto lahir, adik adiknya yang lahir kudian, dua orang, juga berjenis kelamin laki laki, termasuk adik dari satu ibunya yang lain dari Sitanang, juga berjenis kelamin laki laki.

Lahir di Jambi, dan mengisi masa kecil dengan kehidupan berat, sampai menjadi stokar ( kernet) angkutan kota sambil tetap sekolah, dari SD hingga SMP.

Ikhwal lahir di Jambi ini, tidak lepas dari perjalanan sejarah Sumbar. Ayahnya seorang tentara berpangkat Kopral, saat PRRI tiba, harus keluar kesatuan dan merantau di Jambi.

Tetapi setelah SMA, Hargianto pulang ke Sumbar dan menamatkan sekolah menengah atasnya di SMA 3 Bukittinggi dan kemudian masuk Akabri, tamat 18 Juli 1987 dan kemudian menghantarkan dirinya menjadi seorang Jenderal bintang satu.

Itu alasan, mengapa kemudian baliho gadang bergambar dirinya dengan pakaian TNI AL lengkap plus gambar kapal perang berdiri di kota Bukittinggi, dengan satu kalimat lurus Stokar Oplet menjadi Komandan Kapal Perang.

Baliho itu, tak lain adalah cara sederhana Hargianto memompa semangat anak muda Bukittinggi untuk memperjuangkan cita cita meski keadaan tidak sebaik dilihat orang.

Itu sebenarnya.

*****

Dengan menjabat sebagai Komandan Lantamal, sudah dapat dipastikan bahwa perjalanan karir Hargianto di TNI AL sudah dimulai sejak dirinya menjalani pendidikan militer di Akabri dan tamat pada tahun 1987.

SIMAK JUGA :  Laksma TNI Hargianto Dianugerahi Gala Sangsako Sutan Lauik Sati Nan Batuah

Salah satu prestasi Hargianto di masa pendidikan adalah sebagai siswa penembak terbaik dengan nilai paling tinggi.

Pada angkatan itu, Hargianto satu leting dengan mantan Kapolri yang kini menjadi Mendagri, Jenderal (purn) Tito Karnavian.

Tito juga masuk generasi polisi yang cerdas dan cepat masak di usia muda. Makanya pada saat Presiden Jokowi mengangkatnya jadi Kapolri, ada sejumlah level di tubuh Polri tertunda naik pangkatnya hanya karena harus mengimbangi lambatnya masa pensiun, akibat Tito terlalu muda menjadi Kapolri.

Tetapi yang menarik bagi saya dari seorang Hargianto bukanlah perjalanan karirnya, namun pola pikir, pola tindak dan sikap akhirnya terhadap satu masalah.

Pertama, saya tertarik dengan cara berkomunikasinya yang enak dan mengalir. Apapun yang dibahas mengalir dengan cepat. Dan, ini yang saya kagumi, setiap memfinalisasi satu pembicaraan pasti endingnya tepat.

Saya tidak ingin membahas materi apa yang kami bahas. Tetapi dalam kesadaran sebagai seorang wartawan gaek, saya mengagumi cara Hargianto mengurai masalah dan kemudian mengambil kesimpulan.

Saya sempat terkejut pada saat kami membahas satu testimoni, yang usia testimoni itu sudah sangat uzur, tetapi pada saat dihamparkan kondisi faktual dari testimoni itu, ternyata tingkat defiasinya sangat tinggi sekali.

Begitu juga dengan memahami sikap kepemimpinan, menurut Hargianto seorang pemimpin harus mampu menjaga dan menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.

“Titik puncak amanah itu adalah wajib hukumnya mensejahterakan rakyat,” kata Hargianto.

Dan dalam pemahaman kepemimpinan di Minangkabau, Jenderal pemangku gala Datuak Malano Nan Hitam ini, justru melihat status dan posisi seorang pemimpin yang lebih sempit ruang geraknya, dibanding daerah lain.

Itu yang kemudian, menurut Hargianto, sebagai kebutuhan pemimpin yang sangat selektif dan harus lolos dari penilaian yang maksimal.

Tetapi dalam konteks ini, Hargianto, sebagai pucuak dalam kaum dan ninik mamak di Nagari Banuhampu, tetap mempedomani perkembangan daerah berdasarkan keadaan sebenarnya, bukan kata katanya.

Mengapa? Untuk membuktikan secara benar dimana posisi kita saat ini dan kemudian bisa membuat langkah, apa yang dibutukan secara ril saat ini.

Fakta yang diungkapkan Hargianto di atas yang saya sebut sebagai ketajaman pikiran Hargianto dalam meriset satu sikap, pandangan dan kenyataan yang hidup di tengah masyarakat.

Meskipun kemudian Jenderal bintang satu di TNI AL ini kemudian kadang harus berpikir di luar kotak (out of box).

******

Jenderal baik ini, tidak lama lagi akan pensiun. Tetapi sebelum memasuki masa purnabhakti Laksma Hargianto sudah meninggalkan ‘kenangan yang akan lama tinggal’ di memori anak buah dan masyarakat bahari di Sumbar.

Sejak menjabat sebagai Danlantamal II Padang Laksma Hargianto mengubah mindset orang luar terhadap teritorinya. Jika sebelumnya para Komandan Lantamal II Padang, banyak diundang pihak luar, kini Hargianto yang banyak mengundang pihak luar ke kantornya.

Ada keuntungan yang diraih oleh Hargianto dengan mengundang pihak luar ke kantornya. Pertama, sebagai tuan rumah dirinya pasti lebih dihargai, dan kedua, para tamu punya banyak waktu mendengar pikiran dan gagasan Hargianto.

Sejak menjabat Komandan Lantamal II Padang, Hargianto selain menjalankan tugas pengamanan laut juga memiliki tugas khusus yakni membina para nelayan.

Selama menjadi Danlantamal, Hargianto sudah berhasil membangun satu Kampung Bahari di kawasan Sungai Pisang Padang secara mandiri.

Kampung Bahari ini adalah satu kawasan kehidupan nelayan yang dibantu ekonomi masyarakatnya dalam bentuk pertenunan. Untuk ini, Hargianto harus mendatangkan alat tenun dalam jumlah besar.

Alhmadulillah, kini istri para nelayan disana sudah bisa menghasilkan produksi kain tenunan dalam bentuk tradisional Minang. Hasil kreasi para istri nelayan tersebut sudah sempat dipamerkan dalam satu kegiatan pameran yang dibuka langsung oleh istri Panglima TNI, Nanik Istumawati Hadi Tjahjanto.

Hargianto dan anak buahnya kini juga melakukan pembinaan terhadap para nelayan di Sungai Nyalo dalam budi daya Ikan Kerapu.

Pada program ini Hargianto bertekad para nelayan setempat akan berhasil menjadi eksportir ikan kerapu, pada satu masa nantinya. Kini Budidaya ikan kerapu ini masih menjadi konsumsi masyarakat lokal saja.

Apa yang dilakukan Hargianto di Sungai Pisang sesungguhnya bukanlah tugas utamanya sebagai ‘orang laut’. Tetapi dorongan di dalam hatinya yang sangat kuat mengamalkan, apapun yang ada dalam kawasan bahari adalah menjadi tanggungjawab TNI AL dan dapat dimanfaatkan sebagai nilai strategis kesatuan, maka Hargianto dan istri melakukan semua itu secara sadar.

Prinsip hidup Hargianto, yang dipegang teguhnya sampai hari ini adalah *”Kalau mau banyak cara”* tapi *”Kalau tidak mau banyak alasan’.*

Dan atas prinsip itu pula, Hargianto sampai menjelang pensiun masih mengimpikan bisa mewujudkan satu lagi harapan masyarakat dan jika itu bisa diwujudkan maka akan menjadi kebanggaan luar biasa bagi masyarakat tersebut.

Namun Hargianto mengakui bahwa meskipun dirinya adalah seorang Komandan Lantamal. Tetapi dalam tugas sosial dia mengakui banyak kelemahan, karena tidak punya kemampuan maksimal.

Dari situlah kemudian Hargianto banyak bergaul dengan orang luar laut dan akhirnya memiliki kesamaan pandang dalam melihat satu persoalan sosial.

Dan, dari situ pula Hargianto kemudian bisa mewujudkan puisi puisi kehidupannya seperti :

I

//*Satu kali perbuatan lebih baik //dari seribu Nasehat atau janji*//

II

//*Bekerja berbasis kebutuhan masyarakat*// itu pointnya//

III

//Percuma kalau kita diberi amanah oleh masyarakat //lalu kita tidak mampu mensejahterakannya//

*****

Menjelang masa pensiun, Laksma Hargianto juga berhasil menyumbangkan satu Maha Karya bagi masyarakat Sumbar

Maha Karya itu adalah mendedikasikan masakan Rendang sebagai masakan Indonesia asal Sumatera Barat yang diakui oleh Unesco.

Tidak tanggung tanggung. Untuk mewujudkan Maha Karya itu, Hargianto harus sampai melibatkan Ibu Negara Iriana Joko Widodo dalam acara memasak Rendang Bareng tersebut, sekaligus meraih penghargaan MURI sebagai peristiwa memasak Rendang secara masal terbanyak. (*)

Awaluddin Awe

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *