Minang Memilih

  • Bagikan

PERTENGAHANminggu diakhir Maret 2019 ini saya mendapat tugas dari TKN untuk mengisi training IT saksi di kampung tercinta, ranah minang. Ada perasaan senang bisa kembali ke kampung halaman yang berjasa banyak pada kehidupan saya, sekaligus deg-degan karena saya sebagai tim #01 akan masuk ke lumbung suara #02 yang mana mereka semua adalah saudara-saudara saya. Saya sebenarnya tidak pernah punya masalah dengan perbedaan pilihan, karena perbedaan itu keniscayaan dalam demokrasi. Tapi pilpres dan pileg 2019 ini terasa keras sekali politik identitasnya. Teman bahkan sahabat dengan mudahnya menjudge atas pilihan politik temannya, antar saudara saling mengkafirkan tanpa alasan yang jelas bahkan status kesukuan dipertanyakan akibat perbedaan pilihan politik. Menyedihkan dan mengkhawatirkan. Saya sedikit khawatir akan mengalami dialektika tidak berisi tapi merusak di kampung halaman seperti itu, yang membuat perasaan deg-degan mampir. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar bahkan di luar perkiraan.

Training berjalan sesuai rencana, nothing special. Yang menarik adalah diskusi-diskusi dengan teman-teman TKD provinsi dan kota/kabupaten, tim ahli pendamping dana desa dan masyarakat yang mengajak saya ngobrol gara-gara menggunakan jaket #01 😀 Gimmick jaket ini bekerja dengan sangat baik dalam setiap perjalanan saya, termasuk di Padang kemarin.

Saya sangat memahami kekhawatiran sanak saudara di kampung halaman disaat presiden Jokowi kembali menyalonkan diri menjadi calon presiden. Karena gimmick orang-orang disekitar presiden Jokowi yang entah sengaja atau tidak mengesankan seolah-olah pemerintah yang dipimpin oleh presiden Jokowi anti Islam. Sehingga semua kerja nyata pemerintahan Jokowi yang menunjukkan sikap pro Islam seperti bank wakaf mikro, eksekusi BPKH untuk pengelolaan dana haji yang lebih transparan dan profesional, pendirian KNKS untuk memaksimalkan sektor keuangan syariah, penambahan kuota haji, pelatihan untuk santri, dsb tidak terdengar oleh saudara-saudara di ranah Minang. Sepertinya teori psikologi ketakutan dan kecemasan menimbulkan ketidak percayaan yang sedang terjadi di sini. Tapi ketika cawapres yang diangkat oleh presiden Jokowi adalah seorang ulama besar, harusnya ketakutan berlebihan terhadap isu yang tidak benar itu sirna. Sayangnya ternyata tidak, yang menimbulkan keheranan dibanyak pihak.

Saya juga heran. Karena saya adalah urang awak yang kemudian memutuskan mendukung Jokowi-KMA sebagai pasangan capres-cawapres setelah Kyai Ma’ruf diputuskan sebagai pendamping Presiden Jokowi. Karena setelah menjadi bukan pendukung Jokowi dalam 4 thn terakhir dan menjadi pengamat sekaligus tukang kritik, hanya satu hal yang meragukan saya yaitu tentang isu Jokowi anti Islam. Dengan dipilihnya KMA sebagai pendamping, maka isu yang saya khawatirkan terjawab. Isu Jokowi PKI, boneka partai, tidak bisa kerja, antek asing, sudah tidak laku buat saya, banyak data yang bisa menjawab isu-isu tersebut cuma jualan politikus saja. Tidak sempurna memang, tapi track nya benar. Bahkan hal-hal yang tabu dilakukan pejabat selama ini seperti mencabut kebijakan yang ternyata kurang tepat, berani dilakukan oleh presiden Jokowi. Awal-awal memang terlihat seperti pemimpin yang tidak berkelas, tapi lama-lama apalagi setelah masuk kedalam pusaran politik DKI dimana yang berkuasa adalah partai pendukung #02, saya akui aksi yang dicemooh banyak netizen ini adalah aksi politik luarbiasa untuk menggeser para benalu yang tidak mudah dienyahkan dari sistem. Pemimpin harus berkorban untuk itu, dan tidak banyak yang mau menjadi bulan-bulanan rakyat demi tercapainya tujuan yang ditargetkan.

Saya menyangka akan banyak yang seperti saya, karena saya yakin urang awak ini kritis dan bijak. Tidak ada partai yang selalu berkuasa di ranah Minang. Semua berpeluang menang dan kalah asalkan sesuai dengan karakter masyarakat Minang. Kekritisan masyarakat Minang ini sudah terasah sejak terbentuknya nagari ini, dibawah dua kepemimpinan besar Datuak Katamanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang yang memiliki sistem kepemimpinan berbeda, yang satu kepemimpinan dari atas yang satu lagi kepemimpinan dari bawah, kedua kelompok masyarakat adat ini hidup damai dalam satu nagari yaitu Minangkabau. Perbedaan mendasar ini mengasah kekritisan sekaligus toleransi, itulah urang Minang, selama keyakinan (agama) mereka tidak diacak-acak.

SIMAK JUGA :  Mahkamah Konstitusi Diharapkan Berani Membatalkan Hasil Pilkada di Kota Tangsel

Kenyataannya masih sangat banyak urang awak yang percaya isu Jokowi anti Islam, bikin penasaran yang mendorong saya untuk berkesperimen kecil-kecilan dalam perjalanan tugas ke Padang kemarin. Saya bertanya kenapa tidak suka Jokowi? Semua menjawab, Jokowi anti Islam, orang-orang disekitar Jokowi sudah banyak berkoar-koar seperti itu. Ketika saya katakan bahwa Jokowi memilih KMA kan sudah bukti dia tidak anti Islam, malah menggandeng ulama besar walaupun dihujat banyak orang yang masih belum terima dengan kasus Ahok di DKI Jakarta waktu itu, mereka menjawab tidak yakin KMA akan mampu melawan orang-orang jahat disekitar Jokowi, dia sudah tua dan mungkin umurnya nggak lama lagi. Saya lalu mengingatkan bahwa tidak boleh mendahului Allah, mati bukan tentang umur, tapi tentang takdir. Bagaimana kalau Sandi yang ditakdirkan meninggal duluan, apakah harapan tentang keislaman pemimpin dan peran ibu negara menjadi dipertanyakan juga di pihak #02? Jadi terlihat sekali argumen-argumen mengenai isu anti Islam Jokowi sudah tidak kuat. Hanya sisa-sisa kekhawatiran apakah Jokowi mampu mengatasi orang-orang disekitarnya yang terkesan akan mengacak-ngacak syariat. Saya sampaikan begini pada uni-uni dan uda-uda di kampuang, “Uni, uda, cubo kito liek, apokah sampai sejauh ko ado kebijakan Jokowi yang mengacak-acak syariat? Kalau isu-isu dan gimmick urang-urang sekitarnyo memang ado, tapi kan ndak ado yang berhasil menjadikan isu itu kebijakan do? Artinyo, marilah awak pagari basamo-samo pemimpin nan elok dan ndak punyo takuik ko, agar nan indak elok tu nan menyingkir, bukan awak…”

Setelah itu diskusi mulai cair, mereka mulai bertanya hal-hal yang sifatnya teknis, seperti isu seputar UU dan aturan pergantian wapres jika terjadi sesuatu, mengenai utang negara, mengenai infrastruktur, birokrasi, dsj. Terlihat bahwa sebenarnya untuk hal terkait kinerja, urang awak mengapresiasi kinerja pemerintah Jokowi. Bahkan mereka hapal sudah berapa kali Jokowi ke Sumbar sementara Prabowo baru sekali, padahal Jokowi kalah telak di Sumbar. Mereka juga mengakui pembangunan sampai ke desa-desa dengan tim dana desa yang mendampinginya. Infrastruktur juga lancar, tidak seperti yang dikhawatirkan Sumbar akan dipersulit karena Jokowi kalah di sini. Framing daerah akan dipersulit jika pimpinan daerah tidak mendukung pasangan capres saat pilpres ini pernah dicuitkan salah satu politikus yang memang bukan pendukung Jokowi, dia kayaknya lupa menengok ke Minang dan Jabar, walaupun Jokowi kalah dikedua provinsi ini pembangunan tetap lancar.

Dan isu penutup mengenai takah, tageh dan tokoh. Saya sepakat pemimpin harus seperti itu. Tapi takah, tageh dan tokoh tidak dilihat dari penampilan, tapi dari perbuatan. Semua yang pernah berhubungan langsung dengan presiden Jokowi termasuk gubernur Sumbar Irwan Prayitno sendiri pasti mengakui, Jokowi adalah pemimpin yang sangat tegas, takah dalam mengambil keputusan (berwibawa) dan tokoh yang disegani masyarakat. Jika memang takah, tageh dan tokoh hanya dilihat dari penampilan luar saja, kasihan wanita-wanita yang pasti akan banyak tertipu oleh para Don Juan di luar sana. Beauty attracks the eyes, but personality captures the heart.(***)

*) Penulis Alfati Nova, koordinator Sosial Media direktorat Info publik TKN Jkw-Amin

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *