Penangkapan Palti Hutabarat Tunjukkan Ketidaknetralan Aparat dalam Pilpres Semakin Jelas

  • Bagikan

FOTO dari kiri ke kanan
Heru Muzaki, Wadir Hukum Dithukkan TPN, Ifdhal Kasim, Direktur Gakkum & Advokasi TPN Karaniya Dharmasaputra, Deputi Kanal Media TPN, Todung Mulya Lubis, Deputi Hukum TPN Firman Jaya Daeli, Wakil Deputi Hukum TPN Tama S. Langkun, Wadir Kajian Dithukkan TPN. (Foto : TPN)

 

Jakarta – HARIANINDONESIA.ID :

Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo – Mahfud MD menyesalkan penangkapan aktivis media sosial Palti Hutabarat karena menyebarkan rekaman pembicaraan yang diduga mencatut nama Forkopimda di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.

Paltiwest saat akrab bersama Presiden Jokowi sebagai anggota Projo. Kini Palti bergabung sebagai Relawan Ganjar Mahfud (foto : dok)

Deputi Hukum TPN Ganjar – Mahfud, Todung Mulya Lubis menyayangkan mengapa Palti ditangkap, padahal Bawaslu menyatakan kasus ini sudah selesai.

Apalagi, penangkapan Palti di Jakarta Selatan dilakukan pada pukul 03.00 WIB dini hari, seolah tak ada waktu lain bagi polisi untuk melakukan tindakan hukum.

Ini mengingatkan publik dengan kejadian saat polisi mengantar surat panggilan kepada Aiman Witjaksono ke rumahnya pada tengah malam.

Todung menekankan, langkah-langkah represif itu memunculkan ‘culture of fear’ di masyarakat. “Kalau benar budaya takut ini yang diinginkan, maka kita membunuh kritik dan membunuh kebebasan berpendapat.

Padahal, demokrasi yang diwarnai budaya takut akan mati pada waktunya. Dalam demokrasi, bersuara dan berpendapat dijamin hukum,” kata Todung dalam konferensi pers di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jumat, 19 Januari 2024.

“Semua ini menunjukkan fenomena ketidaknetralan aparat dalam Pilpres 2024. Kami terus meminta agar aparat bersikap netral dan tidak memihak, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo, yang sayangnya tidak terimplikasi di lapangan,” kata Todung dengan menggarisbawahi bahwa contoh ketidaknetralan aparat tak hanya di Batu Bara, tapi juga di Medan, Takalar, dan lain-lain

Pengacara senior ini melanjutkan, pihaknya sudah meminta kepada Tim Pemenangan Daerah untuk melakukan investigasi, serta memberikan bantuan hukum kepada Palti Hutabarat. “Tim kami ada di Bareskrim Polri saat ini, dan kami meminta agar Palti tidak ditahan,” ungkapnya,

Jika Palti diproses secara hukum, Todung menambahkan, seharusnya bukan dalam proses pidana, tapi proses perdata. “Di banyak negara lain, kriminalisasi terhadap perpendapat dan pernyataan kritis sudah ditinggalkan karena demokrasi hanya ada kalau perbedaan pendapat atau kritikan itu diperbolehkan,” terangnya.

Direktur Penegakan Hukum dan Advokasi TPN Ganjar-Mahfud, Ifdhal Kasim menyatakan, sedikitnya ada enam pengacara saat ini mendampingi Palti dalam proses hukum pembuatan Berita Acara Perkara (BAP) yang tengah berlangsung.

“Dari sudut pandang hukum harusnya tidak hanya Palti yang dimintai pertanggungjawabannya. Kalau mengikuti UU ITE dan UU No. 1/1946, tidak cukup alasan polisi melakukan penangkapan. Palti ini bukan yang memproduksi kontennya, tapi sebagai pihak yang meneruskan,” kata Ifdhal.

Pada kesempatan ini, Deputi Kanal Media TPN Ganjar-Mahfud, Karaniya Dharmasaputra, menjelaskan Palti saat ini tergabung sebagai pendukung Ganjar-Mahfud, meski sebelumnya ada di barisan relawan Projo.

Menurut UU ITE baru, kasus ini merupakan delik aduan dan yang membuat aduan harus pihak-pihak yang dirugikan secara langsung dalam video itu.

“Pertanyaannya, apakah mereka yang di dalam video dan perekam yang melaporkan Palti Hutabarat? Kami melihat langkah hukum ini mengarah pada kriminalisasi,” kata Karaniya.

Wakil Deputi Hukum TPN Firman Jaya Daeli menekankan, Palti merupakan bagian dari warga Indonesia yang berhak menyampaikan pendapat konstitusional, apalagi soal Pilpres.

SIMAK JUGA :  Pilwako Makassar : Munafri Menang, Dhany Pomanto Ditegur Pj. Gubernur Sulsel

“Yang dikedepankan sesungguhnya adalah rezim kebebasan berpendapat atau berekspresi apalagi yang disuarakan adalah soal adanya penyalahgunaan kekuasaan. Di sini seharusnya pendekatan hukum harus diminimalkan,” urainya.

TPN, lanjut Firman juga menyayangkan mengapa polisi harus melakukan intervensi, sementara Bawaslu menyatakan kasus ini sudah selesai.

“Kami pun mengkoreksi agar Bawaslu jangan menjadi lembaga yang mengumpan bola kepada lembaga lain sehingga menjadi cara untuk mengkriminalisasi rakyat sebagai pemilik hak konstitusional,” ujar Firman.

Wakil Direktur Kajian Dithukkan TPN Ganjar-Mahfud, Tama S. Langkun, berharap agar yang menjadi prioritas adalah penanganan perkara atau isu penyelenggaraan pemilu. “Bukan masuk kepada UU ITE yang mengancam siapapun yang ingin berpartisipasi dalam penanganan pemilu,” tegasnya.

Bukti Polri Arogan dan tidak Netral

Sebelumnya, Seorang Pengamat Kepolisian menilai Kepolisian RI bersikap arogan dan tidak netral pada Pilpres 2024, dengan menangkap aktivis medsos Palti Hutabarat.

Palti ditangkap Polri setelah mengunggah rekaman suara yang diduga berisi percakapan yang mengarahkan Kepala Desa di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara (Sumut) menggunakan Dana Desa untuk memenangkan salah satu pasangan calon (Paslon) yang berkontestasi pada Pilpres 2024.

Informasi penangkapan diketahui setelah Surat Penangkapan aktivis medsos Palti Hutabarat dikeluarkan Direktorat Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri dan beredar di berbagai media sosial.

Pengamat Kepolisian pada Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut pihak Polri arogan dan tidak netral pada Pilpres 2024.

Alasannya, pihak kepolisian hanya menangkap Patil tanpa terlebih dahulu mengusut subtansi masalah yang merupakan pelanggaran Pemilu.

“Alih-alih melakukan penyelidikan terkait substansi masalah pelanggaran aturan Pemilu tentang netralitas aparat. Polri malah melakukan penangkapan anggota masyarakat yang menyampaikan informasi terkait indikasi pelanggaran Pemilu,” kata Bambang melalui keterangan keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/1/2024).

Palti ditangkap setelah mengunggah rekaman suara yang diduga berisi percakapan yang mengarahkan Kepala Desa di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara (Sumut) menggunakan Dana Desa untuk memenangkan salah satu pasangan calon (Paslon) yang berkontestasi pada Pilpres 2024.

Disebutkan, menilik surat penangkapan yang beredar, proses pelaporan, penyelidikan, dan penyidikan sampai penangkapan yang berlangsung hanya 3 hari dari laporan dan sangat instan, akan memunculkan persepsi negatif, yang semakin menggerus kepercayaan publik pada netralitas kepolisian, dalam Pemilu 2024.

“Informasi yang ditersangkakan kepada Palti adalah bentuk pengawasan masyarakat pada perilaku penyelenggara negara, yang harusnya justru dilindungi undang-undang, bukan malah dibungkam oleh undang-undang,” jelas Bambang.

Pembungkaman upaya partisipasi masyarakat yang sedang melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah dengan UU ITE, kata Bambang, mencederai semangat demokrasi dan menunjukkan aparat negara masih alergi terhadap peran masyarakat yang mengawasinya.

“Pertunjukan arogansi aparat dan potensi abuse of power di ruang-ruang tertutup yang jauh dari pantauan publik ini, adalah puncak gunung es dari problema yang terjadi dalam penegakan hukum,” lanjutnya.

Lebih lanjut dikatakan, masyarakat bisa membandingkan tindakan aparat yang tidak sama pada kasus surat pakta integritas yang diduga dikeluarkan mantan Kabinda Papua Barat untuk mendukung salah satu paslon.

Buntut dari pakta integritas itu, mantan Kabinda Papua Barat dimutasi menjadi Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). (*)

Awaluddin Awe

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *