Jalani New Normal, Sebab Corona Belum Pasti Mereda

  • Bagikan

Ilustrasi

Jakarta, Harianindonesia.id — Krisis wabah Corona dipastikan akan membawa perkembangan baru dalam tatanan kehidupan normal manusia atau disebut new normal atau normal baru.

Pada prinsipnya tatanan hidup baru itu adalah bagaimana menjalankan kehidupan ditengah ancaman virus corona yang masih belum ditemukan obatnya.

Sekitar 2,5 bulan sejak kasus positif virus corona (Covid-19) pertama di Indonesia, Jumat, 15 Mei lalu, Presiden Joko Widodo menyinggung persiapan kondisi tatanan hidup baru (The New Normal) di tengah pandemi Covid-19.

Dalam pernyataannya kepada rakyat Indonesia dari Istana, Jokowi mengatakan soal keharusan penyesuaian hidup berdampingan Covid-19 selama vaksin belum ditemukan.

“Kebutuhan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru. Tapi, kehidupan yang berbeda itu bukanlah kehidupan yang penuh pesimisme atau ketakutan. Kita kembalikan produktivitas kita dengan optimisme karena kita tetap menerapkan berbagai mekanisme pencegahan,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, yang disiarkan akun Youtube Sekretariat Presiden, pada Jumat (15/5)

Jokowi pun sempat menyatakan agar rakyat Indonesia mulai beradaptasi–dengan protokol kesehatan–hidup berdampingan dengan Covid-19. Pasalnya, Covid-19 diyakini sulit diatasi selama vaksin belum ditemukan. Menurutnya, cara ini menjadi titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat.

“Berdampingan itu justru kita tidak menyerah, tapi menyesuaikan diri. Kita lawan keberadaan virus Covid tersebut dengan mengedepankan dan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat yang harus kita laksanakan,” katanya.

Di dunia, bukan Indonesia saja yang mempersiapkan kondisi the new normal akibat pandemi virus corona yang berawal dari China pada Desember tahun lalu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun telah memberikan pedoman bagi negara-negara soal penerapan the new normal.

Inti dari pedoman transisi tersebut yakni pemerintah suatu negara harus membuktikan transmisi Covid-19 telah dikendalikan. Kemudian, kapasitas sistem kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit memadai untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengarantina pasien. Selanjutnya risiko penularan wabah telah diminimalkan, terutama pada lokasi dan kondisi masyarakat dengan kerentanan tinggi.

Jika sebuah negara tidak bisa memastikan pedoman transisi tersebut terpenuhi, harus berpikir kembali sebelum memutuskan melonggarkan pembatasan dan memasuki kondisi the new normal. WHO sendiri menentang strategi kekebalan kelompok (herd immunity) yang diterapkan sejumlah negara untuk mengatasi pandemi virus corona. Cara itu dinilai berisiko diterapkan sepanjang belum ada vaksin untuk corona.

Menyikapi wacana the new normal tersebut, Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan kehidupan normal yang baru dapat menjadi sebuah gaya hidup di tengah masa pandemi yang tidak diketahui pasti waktu terselesaikannya. Pada intinya, kata dia, the new normal berkaitan dengan peningkatan kewaspadaan agar tak tertular virus Covid-19 yang diikuti dengan kegiatan produktif selama pandemi.

“Pandemi ini enggak akan pernah selesai, hanya akan mereda. Kita masih harus berhadapan dengan ancaman virus yang kemungkinan menular,” kata Pandu seperti dikutip CNNIndonesiacom, Jumat (15/5).

“Jadi the new responsible behavior, yang selama ini tidak menjadi kebiasaan, itu jadi kebiasaan setiap orang,” lanjutnya.

Pandu mengatakan kebiasaan tersebut bukan berarti masyarakat bisa hidup seperti sediakala sebelum pandemi menyerang. Hanya saja, nantinya, pemerintah tidak terlalu melakukan restriksi atau pembatasan sosial dalam cakupan yang besar seperti yang sudah dilakukan sejak Maret lalu.

SIMAK JUGA :  Sembilan Anggota Dewan Pers 2019-2022 Berhasil Dipilih

Menurut dia, kebiasaan yang dapat mulai dilakukan adalah dengan menerapkan pembatasan sosial berskala lokal atau pada komunitas-komunitas kecil tertentu saja.

“Pembatasan sosialnya harus sifatnya masyarakat, enggak usah lagi diatur pemerintah. Jadi, masyarakat itu sudah harus mulai membuat [protokol masing-masing]…. Pokoknya waspadanya harus lebih tinggi,” kata pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI tersebut.

Sementara di tingkat pemerintah, Pandu meminta agar segera dan harus membenahi sarana prasarana pengujian Covid-19 dengan tujuan memudahkan tes lebih masif, berkala, dan luas. Hal itu diperlukan untuk mendeteksi apabila terjadi penularan virus kembali secara massal hingga Covid-19 bisa ditanggulangi seutuhnya.

“Kayak di luar negeri, dari London ke Paris itu bisa [menghabiskan] 8 jam. Setelah mendarat, para penumpang di bawa ke stadion besar dilakukan testing. Nanti kalau sudah testing-nya negatif baru boleh keluar ke tempat tujuan,” tutur Pandu.

Selain itu, fasilitas-fasilitas kesehatan dan kebersihan masyarakat perlu menjadi perhatian dari pemerintah ataupun pihak-pihak yang akan berkegiatan. Perlu dilakukan juga pengawasan yang ketat terhadap setiap kegiatan-kegiatan di tempat umum untuk meminimalisasi penularan.

“Misalnya, kantor jika sudah bekerja jangan terlalu rapat tempat kerjanya, dilengkapi sarana kebersihan lengkap, ventilasi dan sirkulasi udara lancar dan bersih. Kalau perlu pakai filter-filter virus,” katanya.

Sebenarnya, beberapa negara sudah mulai melakukan transisi menuju the new normal di tengah pandemi saat ini seperti Korea Selatan, China, dan Australia. Mereka, secara bertahap mulai membuka sejumlah fasilitas-fasilitas seperti restoran, bar, sekolah, perkantoran, dan pertokoan.

Tapi ada satu ancaman yang tak boleh diwaspadai yakni gelombang kedua corona, setelah ada laporan kemunculan kasus baru di sejumlah wilayah yang awalnya bisa dikatakan sudah bersih. Contohnya, China dengan cepat memutuskan untuklockdown Kota Jilin setelah menjadi klaster baru penyebaran corona. Sementara Korea Selatan kembali meminta bar dan kelab malam tutup setelah muncul klaster baru penularan virus corona di sebuah kelab malam.

Dalam diskusi panel di CNN pada tengah pekan lalu, Kepala teknis tim tanggap corona WHO, Dr Maria Van Kerkhove mengatakan potensi kemunculan gelombang kedua Covid-19 bisa menjadi pertimbangan bagi negara-negara yang hingga kini tengah berencana mencabut penguncian wilayah (lockdown).

Indonesia sendiri tidak menerapkan lockdown, karena Jokowi lebih memilih penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun, pelaksanaan PSBB itu tak serentak di seluruh wilayah, sebab daerah harus meminta izin dulu ke Menteri Kesehatan.

Terkait kondisi The New Normaldan ancaman gelombang kedua Covid-19, pengamat menilai kebijakan pemerintah RI harus konsekuen demi menjaga kesehatan rakyat secara keseluruhan. Pasalnya, selama penanggulangan corona di Indonesia selama ini publik dibingungkan dengan aturan pemerintah yang terkesan tak konsekuen seperti pelonggaran aturan bepergian.

“Secara kebijakan tidak konsekuen sekarang ini, mudah-mudahan masyarakat kita yang lebih disiplin dan mawas diri. [Kebijakan tak konsekuen] seperti–misalnya–pelarangan mudik, tapi ternyata ada pelonggaran. Ini kan bertolak belakang,” ujar Epidemiolog lain dari Universitas Indonesia (UI) Hermawan Saputra, Jumat.

“Sehingga kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, artinya memang penerapan PSBB dan pembatasan ketat transportasi itu [harus] lebih baik,” imbuhnya.

Lantas, bagaimanakah sosiologi masyarakat Indonesia saat pemerintah mulai menerapkan adaptasi the new normal pandemi virus corona kelak?

(Awe)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *