Trump Di Ujung Tanduk, Biden Sementara Unggul

  • Bagikan

Pada akhir debat Donald Trump dan Joe Biden disambut masing-masing istri.( AFP/Pool)

WASHINGTON – Calon petahana dari Partai Republik, Donald Trump berada di ujung tanduk. Tampaknya kemenangan hampir pasti akan menjadi milik sang penantang dari Partai Demokrat, Joe Biden.

Ini setelah beberapa daerah yang sebelumnya dikuasai Partai Republik kini berubah menjadi wilayah yang dimenangkan Partai Demokrat.

Joe Biden calon presiden Amarika Serikat dari Partai Demokrat memenang suara di Wisconsin.

Diketahui Wisconsin merupakan salah satu negara bagian kunci dalam penentu kemenangan calon presiden dalam Pilpres Amerika Serikat 2020.

Hal ini dikonfirmasi CNN dan Associated Press.

Biden telah mengamankan 10 electoral votes di negara bagian itu dan merebut kembali bagian penting dari Partai Demokrat, setelah lepas empat tahun lalu pada Pemilu 2016.

Seperti dilansir dari the Associated Press, pejabat pemilihan di negara bagian itu mengatakan hampir semua surat suara telah selesai dihitung.

Namun, masih ada beberapa ratus surat suara di kota kecil yang belum dihitung, tapi jumlahnya tidak signifikan untuk mengubah hasil penghitungan.

Tim Kampanye Donald Trump telah meminta penghitungan ulang di Wisconsin.

Namun, penghitungan ulang di seluruh negara bagian di Wisconsin, secara historis hanya akan mengubah penghitungan sebanyak beberapa ratus suara.

Sedangkan saat ini Joe Biden telah unggul dengan 0,624 poin persentase dari hampir 3,3 juta surat suara yang dihitung.

Kemenangan untuk Biden di Wisconsin menambah keunggulannya menjadi 248 electoral votes, sementara Trump sementara ini memiliki 214 electoral votes.

Dibutuhkan minimal 270 electoral votes untuk memenangkan kursi kepresidenan.

Pada 2016, Trump unggul di Wisconsin dengan hanya kurang dari 23.000 suara.

Kemenangan saat itu merupakan terobosan bagi Republik, bersama dengan kemenangan di Michigan dan Pennsylvania.

Kemenangan Trump di tiga negara bagian kunci ini, kemudian mengantarkannya ke kursi kepresidenan.

Demokrat bertekad untuk merebut kembali Wisconsin, sebuah negara bagian yang sebelumnya tidak pernah dimenangkan Republik, kecuali pada pemilu tahun 1984 dan 2016.

Nasib kursi Presiden Amerika Serikat masih bergantung pada beberapa negara bagian lain yang hingga kini belum selesai menghitung suara. Negara bagian yang belum selesai melakukan penghitungan suara di antaranya adalah Pennsylvania, Michigan dan North Carolina.

Ditentukan Electoral Collage

Pemilihan presiden Amerika Serikat ( pilpres AS) berlangsung pada 3 November 2020.

Sebagaimana pilpres-pilpres sebelumnya kemenangan bukan ditentukan oleh suara publik ( popular vote) tapi Electoral College (Dewan Elektoral).

Setiap empat tahun, orang-orang yang duduk di Dewan Elektoral adalah yang sebenarnya menentukan siapa presiden dan wakil presiden baru AS.

Berikut adalah penjelasan apa itu Electoral College dan mengapa jadi kunci kemenangan di pilpres AS.

SIMAK JUGA :  Biden: Pilihan di Afghanistan, Pergi atau Terus Berperang

Ketika orang-orang Amerika pergi ke TPS, mereka sebenarnya memilih sekelompok pejabat yang akan menduduki Electoral College.

Kata “college” di sini bermakna sekelompok orang dengan tugas bersama. Orang-orang ini disebut electors, dan tugasnya adalah memilih presiden serta wakil presiden.

Pertemuan Dewan Elektoral dilakukan 4 tahun sekali, beberapa minggu setelah hari pemilihan.

Bagaimana cara kerja Electoral College?

Dilansir dari BBC pada Rabu (28/10/2020), setiap negara bagian secara kasar punya jumlah electors sesuai jumlah penduduknya. Semakin banyak penduduknya, maka elector-nya semakin banyak.

Masing-masing dari 50 negara bagian AS ditambah Washington DC memiliki jumlah electoral votes yang sama dengan jumlah anggotanya di DPR ditambah dua Senator mereka.

California memiliki jumlah electors terbanyak yaitu 55, sedangkan negara-negara bagian yang berpenduduk sedikit seperti Wyoming, Alaska, dan North Dakota (serta Washington DC sebagai ibu kota) minimal punya 3, sehingga total ada 538 electors.

Setiap elector mewakili jatah satu electoral vote, dan capres harus meraup minimal 270 electoral votes untuk melenggang ke Gedung Putih.

Biasanya negara bagian memberikan semua suara Dewan Elektoral untuk capres yang memenangkan suara dari popular votes.

Misalnya jika seorang capres menang 50,1 persen suara di Texas, dia akan mendapat semua dari 38 electoral votes di negara bagian itu.

Oleh karena itu capres bisa menjadi presiden AS dengan memenangkan sejumlah negara bagian krusial, meski memiliki suara publik yang lebih sedikit dari seluruh negeri.

Hanya negara bagian Maine dan Nebraska yang menggunakan metode “distrik kongresional”.

Artinya, satu elector dipilih di setiap distrik kongresional berdasarkan pilihan rakyat, sedangkan dua electors lainnya dipilih berdasarkan pilihan terbanyak rakyat di seluruh negara bagian.

Inilah sebabnya mengapa para capres menargetkan negara bagian tertentu, daripada mencoba memenangkan sebanyak mungkin suara publik di seluruh penjuru negeri.

Adakah capres yang kalah popular vote tapi menang pilpres?

Ada dua dari lima pilpres terakhir yang dimenangkan oleh capres dengan suara publik lebih rendah dibandingkan lawannya.

Terbaru, pada 2016 Donald Trump kalah hampir 3 juta suara publik dari Hillary Clinton tapi berhak menduduki kursi nomor 1 di Gedung Putih karena menang mayoritas di Electoral College.

Sebelumnya pada 2000 George W Bush juga menang di Electoral College dengan 271 suara, meski Al Gore dari Partai Demokrat unggul lebih dari 500.000 suara di popular votes.

Mundur lebih jauh ke belakang, ada tiga presiden lain yang menang pilpres walau kalah di popular votes yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes, dan Benjamin Harrison. Semuanya pada abad ke-19 (CNN)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *