Mantan Menkes Siti Fadilah Supari : Omicron Tidak Bikin Mati Orang, Kalau Datang Malah Alhamdulillah

  • Bagikan

Siti Fadilah Supari

Jakarta – Pernyataan mengejutkan disampaikan mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah soal Covid-19 varian Omicron.

Siti Fadilah menyebut, varian Omicron tidak berbahaya bagi manusia.

Ia pun meminta, masyarakat Indonesia tidak perlu takut jika Omicron masuk di Indonesia.

Karena menurutnya, virus Omicron justru akan meningkatkan kekebalan tubuh masyarakat.

“Jangan takut sama Omicron. Jangan karena Omicron, kemudian harus vaksin dua kali, itu enggak ada hubungannya. Hubungannya dimana,” kata Siti fadilah Supari dalam kanal Youtube pribadinya, seperti dikutip, Rabu (26/1/2022).

Siti Fadilah Supari mengatakan, bahwa Indonesia ini memang aneh.

Sebab, menurut Siti, tidak menjadi jaminan bahwa seseorang yang sudah divaksin tidak akan terkena Omicron.

“Jadi Indonesia itu memang rada aneh, untuk menunggu Omicron maka harus vaksin booster. Kalau yang belum dua kali enggak boleh masuk mal, itu dasarnya apa.

Kalau Omicron datang, malah alhamdulillah, welcome Omicron. Karena dengan datangnya Omicron, maka terjadi imunitas pada komunitas yang luas. Artinya, Covid hanya akan menjadi flu biasa,” kata Siti Fadilah Supari.

Dia mengatakan, bahwa pemerintah Indonesia ini tidak akan bisa mencegah datangnya Omicron.

Kalau Omicron bisa dicegah, Amerika dan Inggris pasti sudah lebih dahulu.

“Jangan mencegah Omicron, kalau Anda bisa mencegah, Amerika pasti sudah bisa, Inggris juga sudah bisa,” kata Siti.

Yang perlu ditegaskan, bahwa Omicron tidak akan membahayakan masyarakat.

“Tidak bikin mati orang banyak, dan tidak ada hubungannya, kalau Anda sudah divaksin, Anda tidak kena Omicron. Justru yang kena Omicron, yang sudah (vaksin) booster yang ada di Inggris,” katanya.

Kedepan, Siti Fadilah Supari juga berharap agar pemerintah sebelum mengambil kebijakan harus memahami betul kondisi yang ada.

Kemudian, Siti juga meminta agar pemerintah cukup menyiapkan obat-obatan untuk Covid-19 ini.

Sehingga, ketika masyarakat sakit, tinggal minum obat saja.

Kalaupun ada yang bergejala berat, barulah ke rumah sakit.

Kalau hanya gejala ringan, cukup di rumah saja.

“Karena tiga sampai lima hari sembuh sendiri,” terang Siti.

Dia juga menjelaskan, soal vaksinasi ini, tidak mesti semua orang disuntik.

Menurutnya, setiap orang punya antibodi yang berbeda-beda.

Sehingga mereka yang punya antibodi tinggi, memang tidak perlu divaksin.

“Sebetulnya ini sesuatu yang aneh. Tidak semua orang butuh vaksin. Harusnya ada dokter yang mendampingi saat pemerintah membuat kebijakan,” katanya.

Obat Covid-19

Obat antivirus Covid-19 Molnupiravir dan Paxlovid, dikatakan Zullies adalah sebagai pelengkap dari obat sebelumnya yakni Remdesivir serta Favipiravir.

Lantas, benarkah obat antivirus ini bisa menangkal Covid-19 khususnya varian Omicron seperti yang dikatakan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari?

SIMAK JUGA :  KPK Minta Bantuan Kemenpan RB Panggil Istri Nurhadi

Menjawab hal ini, Zullies memaparkan bahwa efektivitas obat antivirus sangat bervariasi.

Misalnya, Remdesivir lebih ditujukan untuk pasien Covid-19 bergejala berat yang sudah dirawat di rumah sakit.

Sebab, obat ini perlu diberikan melalui infus.

Sedangkan, obat Molnupiravir dan Paxlovid ditujukan bagi pasien yang terinfeksi Covid-19 dengan gejala ringan hingga sedang dan menjalani perawatan di rumah.

Mantan Menkes Siti Fadilah mengatakan bahwa obat Covid yang tersedia saat ini, Monupiravir dan Paxlovid, dapat melawan infeksi yang disebabkan oleh Covid varian Omicron.

Dari hasil uji klinik Molnupiravir dan Paxlovid dilaporkan bahwa mereka bisa mengurangi perburukan penyakit yang menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit atau juga kematian. Angkanya berbeda-beda antar obat, berkisar 50 sampai 89 persen,” bebernya.

Kemudian, Prof Zullies juga menyinggung persyaratan penggunaan obat antivirus Covid-19 yang berkaitan dengan usia, kondisi kehamilan, gangguan pada organ hepar dan ginjal.

“Hal ini didasarkan dari hasil uji kliniknya. Misalnya Molnupiravir boleh digunakan pada pasien dengan gangguan liver ringan sampai sedang, sedangkan Paxlovid tidak boleh,” terang Zullies.

“Molnupiravir digunakan pada usia 18 tahun ke atas, sedangkan Paxlovid bisa digunakan pada usia 12 tahun ke atas dengan berat badan minimal 40 kilogram,” sambung dia.

Mengutip laman resmi Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM), Kamis (13/1/2022) pil Molupiravir yang dikembangkan Merck Sharp & Dohme (MSD) saat sudah mendapatkan EUA di Indonesia.

Nantinya obat Covid ini diberikan dua kali sehari sebanyak 4 kapsul dengan dosis masing-masing 200 mg selama lima hari pada orang dewasa bergejala ringan hingga sedang.

Efek samping obat antivirus Covid-19

Prof Zullies menuturkan efek samping dari setiap obat berbeda-beda.

Umumnya, efek samping obat Covid-19 akan menyebabkan diare serta mual.

Sementara itu, khusus bagi Molupiravir Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan berdasarkan hasil evaluasi obat ini relatif aman dan memberikan efek samping yang bisa ditoleransi.

“Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mual, sakit kepala, mengantuk, nyeri abdomen, dan nyeri orofaring. Hasil uji non-klinik dan uji klinik, Molnupiravir tidak menyebabkan gangguan fungsi hati,” kata Penny.

Dilansir dari Tribun Palu, berdasarkan hasil uji klinis fase 3 menunjukkan bahwa obat antivirus Molnupiravir dapat menurunkan risiko hospitalisasi (risiko dirawat di rumah sakit) atau kematian sebesar 30 persen pada pasien Covid-19 gejala ringan hingga sedang dan 24,9 persen pada pasien bergejala ringan /Rif

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *